Lampu Kuning KPK
A
A
A
Sudah tiga kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelan kekalahan dalam pengadilan praperadilan penetapan tersangka.
Selasa (26/5/2015), Haswandi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengabulkan permohonan praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Hakim menilai penetapan tersangka terhadap pemohon tidak sah dan penyelidikan dan penyidikan batal demi hukum.
Hakim Haswandi menegaskan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan oleh KPK tidak sah karena penyelidik dan penyidik komisi antirasuah itu ilegal, diangkat tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hanya, yang patut dipertanyakan, saat hakim Haswandi sebagai ketua majelis hakim dalam kasus Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng.
Saat itu dia tidak mempersoalkan keberadaan penyelidik dan penyidik KPK yang bukan dari unsur kepolisian. Tetapi, dalam kasus praperadilan Hadi Poernomo, Haswandi menyatakan, penyidikan dan penyelidikan tidak sah dan harus dihentikan. Apakah karena pemohon meminta itu diputuskan, sedangkan terdakwa Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng tidak mempersoalkan.
Tetapi, putusan hakim harus tetap dihargai dan itulah wujud kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan. Kekalahan pertama KPK sudah diketahui publik secara luas, bahkan menjadi sejarah mengejutkan dalam pemberantasan korupsi, ketika praperadilan Komjen Budi Gunawan dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi.
Begitu pula putusan hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati terhadap praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Dua praperadilan terakhir yang dikabulkan hakim karena mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 28 April 2015 yang memperluas objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP.
MK memutuskan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, termasuk pula objek praperadilan. Putusan MK wajar diapresiasi lantaran mengakomodasi perjuangan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan. Itu bahkan merupakan ”kontrol progresif” bagi penegak hukum dalam melaksanakan penyidikan dan penuntutan.
Tetapi, pada aspek lain, putusan MK mengabaikan substansi KUHAP yang sebetulnya telah memberikan kesempatan bagi tersangka memperjuangkan haknya karena ditetapkan tersangka. Itu dilakukan dalam ”eksepsi” terdakwa atau pengacaranya setelah dakwaan dibacakan, ”saat pembuktian” dan saat mengajukan ”pembelaan”.
Jaga Profesionalitas
Dapat dipastikan tiga kekalahan tersebut merupakan ”lampu kuning” bagi KPK, baik dalam mengefektifkan penyelidikan dan penyidikan maupun dalam upaya mengembalikan kepercayaan publik. Tetapi, KPK tidak boleh goyah sebab putusan MK dan kebiasaan selama ini yang juga diatur dalam KUHAP, putusan praperadilan tidak berarti tindak pidana dalam perkara itu tidak ada.
MK dalam putusannya menyebut penyidik dapat melakukan penyidikan ulang. KPK dapat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan penyidikan baru untuk mencari atau melengkapi alat bukti minimal seperti dimaksud dalam putusan hakim. Praperadilan merupakan pra-ajudikasi atau proses untuk menguji keabsahan prosedur penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, atau penyitaan agar penyidik tidak melakukan tindakan sewenang-wenang.
Bukan membebaskan tersangka secara penuh seperti pada putusan pemeriksaan pokok perkara. Apalagi, KPK dilarang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Ini peringatan penting bagi KPK agar tidak serampangan, apalagi terlalu percaya diri saat mengikuti sidang praperadilan.
Tampaknya KPK tidak sepenuhnya mengantisipasi putusan MK misalnya tidak menunjukkan kepada hakim dua alat bukti minimal sehingga seseorang ditetapkan tersangka. Konsekuensi bagi KPK adalah meningkatkan profesionalitasnya, lebih teliti, dan tidak merasa benar sendiri dalam memperoleh dan menilai alat bukti.
Peringatan bagi KPK bukan sekadar mengantisipasi kemungkinan ada gelombang gugatan praperadilan, melainkan bagaimana menjaga agar proses penetapan tersangka tidak dijadikan sarana bagi tersangka untuk mengulur-ulur proses hukum. Kepercayaan publik bisa runtuh jika KPK tidak melakukan koreksi diri.
KPK harus menjaga keahliannya (profesionalitas) dengan melanjutkan kasus itu sampai ke pengadilan. Jika pun hakim menyatakan tidak sah tindakan ”upaya paksa” lantaran melanggar hak-hak tersangka, tidak berarti dugaan tindak pidananya atau statusnya sebagai tersangka sudah bebas sepenuhnya.
Revisi SOP
Dalam pembuktian perkara pidana, ada adagium hukum yang selalu dijadikan acuan yaitu ”bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya”. Artinya, alat bukti dan barang bukti harus dicari dan diperoleh secara prosedur agar betul-betul bisa dijadikan dasar untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tentu kita tidak sedang memojokkan KPK terkait dengan tiga kekalahan dalam praperadilan.
Tulisan ini semata-mata memberi masukan sekaligus memotivasi KPK agar bekerja profesional, teliti, tetapi tetap berani tanpa pandang status. Untuk mendukung semua itu, KPK sebaiknya merevisi prosedur standar operasional (SOP) penyelidikan dan penyidikan.
Revisi dan perbaikan SOP diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan penegakan hukum setelah MK memperluas objek praperadilan. Misalnya, harus efektif dan selektif menentukan dua alat bukti minimal dalam penyelidikan, barulah ditingkatkan ke tahap penyidikan sekaligus menetapkan tersangka.
Tidak kalah pentingnya, alat bukti minimal dan sah itu diperoleh sesuai prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang. Untukmemperolehalat bukti minimal, sebaiknya dilakukan dan dimantapkan pada tahap ”penyelidikan” sehingga bisa langsung menetapkan tersangka. Memang substansi ”penyidikan” dalam Pasal 1 butir-2 KUHAP menyebut, untuk ”mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.
Ini yang dimaksudkan dalam putusan hakim Haswandi, penetapan tersangka setelah melakukan penyidikan. Bagaimanapun KPK harus memerhatikan putusan MK, terutama pada bukti minimal yang harus diperoleh secara sah saat penyelidikan.
Kendati begitu, KPK tidak perlu gentar menghadapi gugatan praperadilan penetapan tersangka. KPK harus siap menunjukkan alat bukti minimal itu kepada hakim praperadilan, bagaimana prosedur memperolehnya yang dibuktikan dengan ”berita acara”, serta menunjukkan keaslian berita acara pemeriksaan saksi dan ahli.
Bagi hakim praperadilan, tentu tidak akan memeriksa dan menguji keterangan saksi dan ahli seperti pada pembuktian dalam pemeriksaan pokok perkara.
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
Selasa (26/5/2015), Haswandi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengabulkan permohonan praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Hakim menilai penetapan tersangka terhadap pemohon tidak sah dan penyelidikan dan penyidikan batal demi hukum.
Hakim Haswandi menegaskan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan oleh KPK tidak sah karena penyelidik dan penyidik komisi antirasuah itu ilegal, diangkat tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hanya, yang patut dipertanyakan, saat hakim Haswandi sebagai ketua majelis hakim dalam kasus Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng.
Saat itu dia tidak mempersoalkan keberadaan penyelidik dan penyidik KPK yang bukan dari unsur kepolisian. Tetapi, dalam kasus praperadilan Hadi Poernomo, Haswandi menyatakan, penyidikan dan penyelidikan tidak sah dan harus dihentikan. Apakah karena pemohon meminta itu diputuskan, sedangkan terdakwa Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng tidak mempersoalkan.
Tetapi, putusan hakim harus tetap dihargai dan itulah wujud kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan. Kekalahan pertama KPK sudah diketahui publik secara luas, bahkan menjadi sejarah mengejutkan dalam pemberantasan korupsi, ketika praperadilan Komjen Budi Gunawan dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi.
Begitu pula putusan hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati terhadap praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Dua praperadilan terakhir yang dikabulkan hakim karena mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 28 April 2015 yang memperluas objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP.
MK memutuskan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, termasuk pula objek praperadilan. Putusan MK wajar diapresiasi lantaran mengakomodasi perjuangan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan. Itu bahkan merupakan ”kontrol progresif” bagi penegak hukum dalam melaksanakan penyidikan dan penuntutan.
Tetapi, pada aspek lain, putusan MK mengabaikan substansi KUHAP yang sebetulnya telah memberikan kesempatan bagi tersangka memperjuangkan haknya karena ditetapkan tersangka. Itu dilakukan dalam ”eksepsi” terdakwa atau pengacaranya setelah dakwaan dibacakan, ”saat pembuktian” dan saat mengajukan ”pembelaan”.
Jaga Profesionalitas
Dapat dipastikan tiga kekalahan tersebut merupakan ”lampu kuning” bagi KPK, baik dalam mengefektifkan penyelidikan dan penyidikan maupun dalam upaya mengembalikan kepercayaan publik. Tetapi, KPK tidak boleh goyah sebab putusan MK dan kebiasaan selama ini yang juga diatur dalam KUHAP, putusan praperadilan tidak berarti tindak pidana dalam perkara itu tidak ada.
MK dalam putusannya menyebut penyidik dapat melakukan penyidikan ulang. KPK dapat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan penyidikan baru untuk mencari atau melengkapi alat bukti minimal seperti dimaksud dalam putusan hakim. Praperadilan merupakan pra-ajudikasi atau proses untuk menguji keabsahan prosedur penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, atau penyitaan agar penyidik tidak melakukan tindakan sewenang-wenang.
Bukan membebaskan tersangka secara penuh seperti pada putusan pemeriksaan pokok perkara. Apalagi, KPK dilarang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Ini peringatan penting bagi KPK agar tidak serampangan, apalagi terlalu percaya diri saat mengikuti sidang praperadilan.
Tampaknya KPK tidak sepenuhnya mengantisipasi putusan MK misalnya tidak menunjukkan kepada hakim dua alat bukti minimal sehingga seseorang ditetapkan tersangka. Konsekuensi bagi KPK adalah meningkatkan profesionalitasnya, lebih teliti, dan tidak merasa benar sendiri dalam memperoleh dan menilai alat bukti.
Peringatan bagi KPK bukan sekadar mengantisipasi kemungkinan ada gelombang gugatan praperadilan, melainkan bagaimana menjaga agar proses penetapan tersangka tidak dijadikan sarana bagi tersangka untuk mengulur-ulur proses hukum. Kepercayaan publik bisa runtuh jika KPK tidak melakukan koreksi diri.
KPK harus menjaga keahliannya (profesionalitas) dengan melanjutkan kasus itu sampai ke pengadilan. Jika pun hakim menyatakan tidak sah tindakan ”upaya paksa” lantaran melanggar hak-hak tersangka, tidak berarti dugaan tindak pidananya atau statusnya sebagai tersangka sudah bebas sepenuhnya.
Revisi SOP
Dalam pembuktian perkara pidana, ada adagium hukum yang selalu dijadikan acuan yaitu ”bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya”. Artinya, alat bukti dan barang bukti harus dicari dan diperoleh secara prosedur agar betul-betul bisa dijadikan dasar untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tentu kita tidak sedang memojokkan KPK terkait dengan tiga kekalahan dalam praperadilan.
Tulisan ini semata-mata memberi masukan sekaligus memotivasi KPK agar bekerja profesional, teliti, tetapi tetap berani tanpa pandang status. Untuk mendukung semua itu, KPK sebaiknya merevisi prosedur standar operasional (SOP) penyelidikan dan penyidikan.
Revisi dan perbaikan SOP diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan penegakan hukum setelah MK memperluas objek praperadilan. Misalnya, harus efektif dan selektif menentukan dua alat bukti minimal dalam penyelidikan, barulah ditingkatkan ke tahap penyidikan sekaligus menetapkan tersangka.
Tidak kalah pentingnya, alat bukti minimal dan sah itu diperoleh sesuai prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang. Untukmemperolehalat bukti minimal, sebaiknya dilakukan dan dimantapkan pada tahap ”penyelidikan” sehingga bisa langsung menetapkan tersangka. Memang substansi ”penyidikan” dalam Pasal 1 butir-2 KUHAP menyebut, untuk ”mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”.
Ini yang dimaksudkan dalam putusan hakim Haswandi, penetapan tersangka setelah melakukan penyidikan. Bagaimanapun KPK harus memerhatikan putusan MK, terutama pada bukti minimal yang harus diperoleh secara sah saat penyelidikan.
Kendati begitu, KPK tidak perlu gentar menghadapi gugatan praperadilan penetapan tersangka. KPK harus siap menunjukkan alat bukti minimal itu kepada hakim praperadilan, bagaimana prosedur memperolehnya yang dibuktikan dengan ”berita acara”, serta menunjukkan keaslian berita acara pemeriksaan saksi dan ahli.
Bagi hakim praperadilan, tentu tidak akan memeriksa dan menguji keterangan saksi dan ahli seperti pada pembuktian dalam pemeriksaan pokok perkara.
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
(ftr)