Sinergi BUMN lewat ATM
A
A
A
Nasabah bank pelat merah cukup mengantongi satu kartu ATM saja. Melalui sinergi ATM perbankan milik negara yang berlabel ATM Link, nasabah tidak hanya dipermudah akan ketersediaan ATM, juga bisa menikmati biaya transaksi yang murah.
Memang belum ditetapkan besaran biaya transaksi, namun para pengelola bank negara sepakat untuk menekan biaya yang harus ditanggung nasabah. Melalui penggabungan ATM tersebut, masing-masing bank tidak perlu melakukan investasi baru, bahkan akan lebih efisien karena pengoperasiannya terpusat.
Selama ini pengadaan ATM salah satu alokasi investasi perbankan yang lumayan besar nilainya. Sebagai contoh, Bank BRI menghadirkan ATM kurang lebih 2.000 unit dalam setahun. Bayangkan, berapa besar biaya investasi bisa dihemat bank yang fokus pada nasabah ritel itu pascapenggabungan ATM sesama bank milik negara.
Apalagi, proses penggabungan tersebut tidak perlu menunggu kartu ATM terintegrasi dengan chip sehingga nasabah bisa langsung bertransaksi. Sebenarnya, penggunaan satu kartu untuk sejumlah bank bahkan milik bank swasta sudah terealisasi, hanya di luar kendali bank badan usaha milik negara (BUMN).
Sinergi ATM antarbank BUMN sepertinya membuka mata kita bahwa betapa banyak cara bagi perusahaan negara untuk melakukan efisiensi dan saling menguatkan satu sama lain. Penggabungan ATM hanya contoh kecil dan masih banyak aktivitas lainnya yang bisa disinergikan. Bayangkan dari 119 BUMN, tak sedikit di antara perusahaan itu memiliki kesamaan bisnis, bahkan untuk saling melengkapi.
Faktanya, selama ini jauh api dari panggang misalnya anak perusahaan Pertamina yang memproduksi pelumas mesin kesulitan menyalurkan produk ke perusahaan transportasi milik negara. Dengan berpatokan pada jumlah BUMN yang mencapai ratusan itu—belum terhitung anak dan cucu perusahaan, sumbangsihnya terhadap negara baik dalam bentuk pajak apalagi dividen termasuk kecil sekali.
Masalahnya cukupjelas, sebagai lembaga bisnis yang berorientasi pada keuntungan, banyak sekali rambu-rambu birokrasi yang harus dilalui. Padahal, di balik rambu-rambu itu menjadikan nakhoda sulit berimprovisasi dalam melayarkan perusahaan. Jadi, jangan heran kalau Menteri BUMN Rini Soemarno mengeluhkan bahwa para profesional bisnis kurang berminat bila ditawari untuk mengelola BUMN.
Sementara itu, kinerja BUMN tahun lalu mengalami penurunan dibandingkan pada tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang dipublikasi Kementerian BUMN, dari 119 perusahaan pelat merah yang ada tercatat perolehan laba bersih sebesar Rp148,17 triliun, terjadi penurunan sekitar 1,9% dibandingkan total laba bersih sebesar Rp151,85 triliun yang dibukukan pada 2013.
Kabarnya, penurunan laba bersih tersebut dipengaruhi oleh kinerja Pertamina yang anjlok. Dan, sebanyak 27 BUMN yang membukukan kerugian sebesar Rp11,87 triliun. Meski demikian, perolehan rugi pada 2014 lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp34,68 triliun, di mana dicetak oleh 30 BUMN.
Adapun kontribusi BUMN terhadap negara dalam bentuk pajak sebesar Rp171 triliun atau naik 6,8% dari sebesar Rp160 triliun pada 2013 dan dividen sebesar Rp40,16 triliun atau naik 18% dari sebesar Rp34,02 triliun pada 2013. Jadi, total pajak dan dividen yang disetor ke negara sebesar Rp211 triliun. Saat ini total aset BUMN sebesar Rp4.579 triliun yang didominasi oleh BUMN perbankan.
Mengurai persoalan BUMN memang tidak gampang, tetapi bukan berarti tanpa solusi. Hanya, setiap penggantian petinggi Kementerian BUMN arah dan kebijakan berubah. Jadi, tidak ada kesinambungan program, bahkan memunculkan masalah baru karena program yang sudah berjalan setengah ditimpa lagi program baru yang berbeda arah.
Ketika Kementerian BUMN dipimpin Tanri Abeng program unggulannya adalah pembentukan holding perusahaan, namun program itu tidak pernah tuntas karena berbagai kendala aturan pemerintah.
Meski pembentukan holding belum sesuai harapan, setidaknya sinergi di antara perusahaan negara semakin diintensifkan. Langka menyinergikan ATM perbankan adalah sebuah contoh sederhana mengurai benang kusut di BUMN.
Memang belum ditetapkan besaran biaya transaksi, namun para pengelola bank negara sepakat untuk menekan biaya yang harus ditanggung nasabah. Melalui penggabungan ATM tersebut, masing-masing bank tidak perlu melakukan investasi baru, bahkan akan lebih efisien karena pengoperasiannya terpusat.
Selama ini pengadaan ATM salah satu alokasi investasi perbankan yang lumayan besar nilainya. Sebagai contoh, Bank BRI menghadirkan ATM kurang lebih 2.000 unit dalam setahun. Bayangkan, berapa besar biaya investasi bisa dihemat bank yang fokus pada nasabah ritel itu pascapenggabungan ATM sesama bank milik negara.
Apalagi, proses penggabungan tersebut tidak perlu menunggu kartu ATM terintegrasi dengan chip sehingga nasabah bisa langsung bertransaksi. Sebenarnya, penggunaan satu kartu untuk sejumlah bank bahkan milik bank swasta sudah terealisasi, hanya di luar kendali bank badan usaha milik negara (BUMN).
Sinergi ATM antarbank BUMN sepertinya membuka mata kita bahwa betapa banyak cara bagi perusahaan negara untuk melakukan efisiensi dan saling menguatkan satu sama lain. Penggabungan ATM hanya contoh kecil dan masih banyak aktivitas lainnya yang bisa disinergikan. Bayangkan dari 119 BUMN, tak sedikit di antara perusahaan itu memiliki kesamaan bisnis, bahkan untuk saling melengkapi.
Faktanya, selama ini jauh api dari panggang misalnya anak perusahaan Pertamina yang memproduksi pelumas mesin kesulitan menyalurkan produk ke perusahaan transportasi milik negara. Dengan berpatokan pada jumlah BUMN yang mencapai ratusan itu—belum terhitung anak dan cucu perusahaan, sumbangsihnya terhadap negara baik dalam bentuk pajak apalagi dividen termasuk kecil sekali.
Masalahnya cukupjelas, sebagai lembaga bisnis yang berorientasi pada keuntungan, banyak sekali rambu-rambu birokrasi yang harus dilalui. Padahal, di balik rambu-rambu itu menjadikan nakhoda sulit berimprovisasi dalam melayarkan perusahaan. Jadi, jangan heran kalau Menteri BUMN Rini Soemarno mengeluhkan bahwa para profesional bisnis kurang berminat bila ditawari untuk mengelola BUMN.
Sementara itu, kinerja BUMN tahun lalu mengalami penurunan dibandingkan pada tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang dipublikasi Kementerian BUMN, dari 119 perusahaan pelat merah yang ada tercatat perolehan laba bersih sebesar Rp148,17 triliun, terjadi penurunan sekitar 1,9% dibandingkan total laba bersih sebesar Rp151,85 triliun yang dibukukan pada 2013.
Kabarnya, penurunan laba bersih tersebut dipengaruhi oleh kinerja Pertamina yang anjlok. Dan, sebanyak 27 BUMN yang membukukan kerugian sebesar Rp11,87 triliun. Meski demikian, perolehan rugi pada 2014 lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai sebesar Rp34,68 triliun, di mana dicetak oleh 30 BUMN.
Adapun kontribusi BUMN terhadap negara dalam bentuk pajak sebesar Rp171 triliun atau naik 6,8% dari sebesar Rp160 triliun pada 2013 dan dividen sebesar Rp40,16 triliun atau naik 18% dari sebesar Rp34,02 triliun pada 2013. Jadi, total pajak dan dividen yang disetor ke negara sebesar Rp211 triliun. Saat ini total aset BUMN sebesar Rp4.579 triliun yang didominasi oleh BUMN perbankan.
Mengurai persoalan BUMN memang tidak gampang, tetapi bukan berarti tanpa solusi. Hanya, setiap penggantian petinggi Kementerian BUMN arah dan kebijakan berubah. Jadi, tidak ada kesinambungan program, bahkan memunculkan masalah baru karena program yang sudah berjalan setengah ditimpa lagi program baru yang berbeda arah.
Ketika Kementerian BUMN dipimpin Tanri Abeng program unggulannya adalah pembentukan holding perusahaan, namun program itu tidak pernah tuntas karena berbagai kendala aturan pemerintah.
Meski pembentukan holding belum sesuai harapan, setidaknya sinergi di antara perusahaan negara semakin diintensifkan. Langka menyinergikan ATM perbankan adalah sebuah contoh sederhana mengurai benang kusut di BUMN.
(bhr)