Presiden Ibarat Presenter Berita

Selasa, 09 Juni 2015 - 10:21 WIB
Presiden Ibarat Presenter...
Presiden Ibarat Presenter Berita
A A A
Sudah lebih dari satu pekan sejak terjadi kesalahan pidato Presiden Jokowi soal kota kelahiran Presiden Soekarno. Namun, hingga tulisan ini dibuat, polemik tentang itu masih berlanjut, terutama di media sosial.

Permohonan maaf Sukardi Rinakit selaku penulis teks pidato Presiden tidak sertamerta menyurutkan polemik. Awalnya saya tidak berniat untuk membahas soal ini. Namun, saya menjadi tertarik untuk menulis karena sedikit-banyak peristiwa ini mengingatkan pada pengalaman saya sebagai seorang jurnalis di media televisi nasional selama belasan tahun.

Menurut saya, dalam pidato, seorang pejabat negara tak ubahnya presenter berita yakni (seharusnya) tidak boleh salah karena kesalahan satu kata saja dapat berakibat fatal. Tentu saja, kesalahan seorang Presiden akan memiliki magnitude yang lebih besar. Presenter berita yang saya bahas dalam tulisan ini adalah mereka yang murni bertugas sebagai presenter.

Bukan mereka yang juga merangkap menjadi produser program dan sebagainya. Dalam dunia televisi, apa yang tampil di layar akan sangat menentukan kredibilitas sebuah tayangan. Untuk sebuah program berita, kesalahan pencantuman/ penyebutan nama atau jabatan seseorang yang diwawancara, baik itu kesalahan teknis (tertukar dengan narasumber lain) maupun nonteknis (salah informasi nama/jabatan), dapat berakibat fatal.

Ada tiga jenis kesalahan yang dapat terjadi. Pertama, slip of the tongue atau kita biasa menyebutnya ”keseleo lidah”. Ini kesalahan yang paling umum terjadi dan kadar kesalahannya paling ringan (selama kata-kata yang salah sebut masih dalam batas yang wajar). Kedua, kesalahan dalam penyebutan istilah atau singkatan dalam bahasa asing. Ketiga, kesalahan data.

Kesalahan ini kadarnya adalah yang paling berat. Seandainya penyebutan kota kelahiran Presiden Soekarno di Blitar tersebut ke luar dari mulut seorang presenter berita, itu adalah kesalahan fatal karena masuk ke dalam kategori kesalahan akibat data yang tidak akurat. ***

Naskah yang dibaca oleh seorang presenter sudah melalui proses editing, baik itu oleh produser segmen, asisten produser, produser program, maupun oleh si presenter itu sendiri (sebelum onair). Namun, human error bisa saja terjadi. Kadang ada kesalahan fatal yang baru disadari oleh si presenter saat on air.

Karena itu, seorang presenter memiliki peran penting dalam sebuah program berita, apalagi kalau program tersebut ditayangkan secara live. Presenter dituntut agar mampu berfungsi sebagai editor terakhir. Seorang presenter harus bisa memfilter agar tidak terjadi kesalahan. Jika kesalahan telanjur terjadi, koreksi seharusnya dilakukan saat itu juga, seketika setelah terjadi kesalahan.

Hal itu hanya dapat dilakukan apabila yang bersangkutan mengetahui dengan pasti fakta yang sebenarnya. Kalau seorang presenter dapat melakukan hal tersebut, yang bersangkutan akan mendapat credit dari pemirsa dan tim redaksi karena dianggap sudah menyelamatkan kredibilitas tayangan.

Sebaliknya, kalau kesalahan fatal dibiarkan berlalu begitu saja, si presenter berpotensi di-bully pemirsa karena dianggap tidak cerdas dan tidak memahami yang dibacanya. Ada dua kemungkinan ketika seorang presenter tidak langsung meralat kesalahan: Pertama, yang bersangkutan tidak paham fakta/data yang sebenarnya (sehingga tidak mengetahui ada kesalahan).

Kedua, yang bersangkutan tahu, namun tidak menyadari telah terjadi kesalahan pada naskah yang dibacanya. Apa pun alasannya, keduanya akan berdampak sama yakni: berpotensi mengurangi kredibilitas si presenter dan program berita itu sendiri. ***

Kalau seorang presenter harus bertanggung jawab atas naskah yang dibawakannya, bagaimana dengan seorang pejabat negara, dalam hal ini seorang Presiden? Padahal, dari sisi naskah yang dibacakan, ada perbedaan mendasar antara naskah berita seorang presenter dan naskah pidato seorang pejabat negara.

Ketika membawakan berita, seorang presenter menjadi ujung tombak dari tim redaksi dan berfungsi sebagai pembawa pesan dari redaksi pemberitaan. Dengan kata lain, apa yang dibaca seorang presenter adalah hasil pemikiran dari produser atau orang-orang di belakang layar.

Sedangkan ketika seorang pejabat negara berpidato, (seharusnya) ia sedang menyampaikan pemikiran-pemikirannya sendiri dan bukan sedang menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh orang lain (si pembuat naskah). Di situlah bedanya pejabat negara yang berpidato dengan seorang presenter. Namun, keduanya memiliki persamaan yakni mereka adalah editor terakhir.

Apabila terjadi kesalahan fatal, seorang presenter dan seorang pejabat negara tidak bisa berdalih dan mengatakan: ”Saya hanya membacakan apa yang tertulis”. Kesalahan seharusnya langsung diralat on the spot oleh yang bersangkutan.

Jika seorang presenter yang notabene adalah seorang ”penyampai pesan”, harus meralat dan meminta maaf atas kesalahan naskah dari sebuah berita yang disampaikannya, apalagi seorang pejabat negara yang berpidato dan menyampaikan pemikirannya sendiri. Soal pertanggungjawaban, seharusnya murni ada pada pejabat negara tersebut.

Dalam kasus pidato Presiden Jokowi, tidaklah tepat apabila kesalahan dan tanggung jawab diambil alih oleh pembuat teks pidato. Seharusnya seorang pembuat teks pidato hanya menulis dan menjabarkan apa yang menjadi pemikiran dasar seorang pejabat negara yang akan berpidato.

Naskah pidato dibuat semata-mata sebagai alat bantu agar seorang pejabat negara dapat menyampaikan pidatonya secara lebih terstruktur dan kontekstual. Dalam keterangannya kepada media, Sukardi Rinakit menjelaskan bahwa sesungguhnya Presiden Jokowi sempat ragu soal kota kelahiran Presiden Soekarno dan menyebutkan di Surabaya.

Namun, Presiden menerima keterangan sang pembuat naskah yang mengatakan bahwa kota kelahiran Presiden RI pertama tersebut adalah di Blitar. Dari keterangan Sukardi Rinakit tersebut tertangkap kesan bahwa diskusi soal materi pidato hanya terjadi antara (tim) penulis naskah dan Presiden.

Padahal, seharusnya adapihakketigayang dilibatkan yakni tim editor naskah. Kalau naskah berita TV saja dapat melalui beberapa tahap editing (apabila diperlukan), mengapa untuk naskah pidato seorang Presiden seolah-olah prosedurnya amat sederhana? Selayaknya, untuk naskah sepenting pidato Presiden, ada tim khusus yang terdiri atas para pakar di berbagai bidang yang bertugas mengedit/supervisi naskah.

Publik tidak akan mau tahu siapa yang menulis naskah pidato. Mereka akan beranggapan bahwa seseorang yang berpidato sedang menyampaikan pemikirannya sendiri (dan seharusnya memang demikian adanya). Sehingga, orang yang berpidato harus bertanggung jawab penuh atas apa yang disampaikannya.

Karena itu, jika ada data yang kurang valid sehingga meragukan, harus dicari terlebih dahulu fakta yang sebenarnya. Jika masih juga meragukan, sebaiknya tidak dicantumkan sama sekali (asalkan tidak mengurangi substansi). Setelah melalui proses editing yang ketat dan melibatkan banyak pakar, seharusnya kesalahan materi pidato Presiden dapat dieliminasi sedemikian rupa.

Jika upaya untuk mencegah kesalahan sudah sedemikian maksimal, filter dan pertanggungjawaban akhir ada di tangan Presiden sendiri. Meski Presiden adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, mari kita berharap kejadian serupa tak lagi terjadi pada masa yang akan datang.

Yasmin muntaz
Praktisi dan Pengamat Media
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0671 seconds (0.1#10.140)