Bung Karno, NU dan Kokohnya NKRI
A
A
A
M HANIF DHAKIRI
Aktivis NU,
Menteri Ketenagakerjaan RI
Ketika memberikan sambutan pada Muktamar Ke-23 Nahdlatul Ulama, 28 Desember 1952 di Solo, Jawa Tengah, Presiden Sukarno (Bung Karno/BK) menyatakan: ”Saya cinta sekali kepada Nahdlatul Ulama (NU)”.
Dan BK menyatakan sangat gelisah jika ada yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Mengapa BK begitu cinta dan dekat dengan NU? Menurut BK, karena antara NU dan dirinya memiliki kesamaan visi, ideologi dan cita-cita yang fundamental. Menurut BK, NU adalah organisasi keagamaan yang terbuka dan dinamis.
Di dalamnya ada berbagai pendapat yang berkembang dan terus dilestarikan, sehingga NU memperkokoh fakta dan kultur kebinekaan masyarakat. Kedua, sebagaimana BK, NU juga organisasi keagamaan yang berwatak nasionalis. Menurut BK, NU ikut dalam revolusi kemerdekaan. NU ikut berkorban, berjuang, membanting tulang dan mengucurkan darah untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankannya dan mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Sementara, ada organisasi lain yang tidak membantu terbentuknya negara Indonesia yang kuat, tapi justru menggerogotinya. Ketiga, menurut BK, NU adalah organisasi yang bervisi sosialis, yaitu suatu visi yang menentang sistem yang menghisap manusia kepada manusia lain. Bahkan BK menilai, dalam pandangan NU, sosialisme merupakan cita-cita sejati dari ajaran Islam.
BK dan NU memang ibarat dua sisi mata uang. NU berangkat dari pemikiran dan tradisi keagamaannya yang terbuka dan dinamis, secara terus-menerus memperkokoh bangunan negara-bangsa melalui pribumisasi Islam; di mana Islam diposisikan sebagai etika sosial yang memberi warna dan makna pada budaya masyarakat yang ada, yang pada akhirnya menjadi kokohlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang majemuk dari segi agama, keyakinan dan budaya.
Sementara BK, berangkat dari nasionalisme dan mimpi revolusinya, bersama masyarakat yang disebut marhaen atau ”abangan” dalam terminologi Clifford Geertz secara terusmenerus berusaha memperkuat NKRI menjadi negara yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat santri yang menjadi cikal bakal NU dan masyarakat marhaen-abangan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat selama berabadabad. Masyarakat santri atau Islam tradisional berkembang bersama dan menyatu dengan kultur masyarakat marhaenabangan yang sudah ada.
Kultur masyarakat yang ada sendiri menjadi semakin kuat dan bermakna karena ada suntikan nilai-nilai Islam rahmatan lil Islam rahmatan lil alamin. Hubungan saling menguatkan ini pada akhirnya membentuk Islam Nusantara yang kokoh yang mampu bertahan dari gempuran nilai-nilai Barat yang dibawa kaum penjajah, serangan kaum Islam puritan, atau terjangan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi, sampai saat ini.
Bersatunya kaum tradisionalis Islam dan masyarakat marhaen-abangan merupakan fondasi paling kokoh atas peradaban Nusantara dan tegaknya NKRI sampai saat ini. Kedekatan kaum tradisionalis Islam dengan masyarakat marhaenabangan bukanlah ”koalisi karena kebutuhan sementara” (marriage of inconvenience), bukan juga sekadar hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), tetapi menyatu dalam berbagai manifestasi kebudayaan, di mana keduanya saling mengisi, memberi dan menerima (take and give ) dan pada akhirnya saling menguatkan.
Itulah genealogi historisideologi yang bisa menjelaskan kedekatan antara Islam tradisional dan masyarakat marhaenabangan, yang kemudian dibuktikan juga dengan kedekatan kiai-kiai NU dengan BK. Simak misalnya ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara pada Sidang BPUPKI tahun 1945. BK dan NU bisa dikatakan dalam posisi yang sama, setidaknya NU-lah yang selalu menjembatani perdebatan antara BK dengan kelompok yang menentang pemikiran-pemikirannya.
Suatu ketika pernah Presiden Sukarno bertanya kepada Kiai Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri NU: ”Pak kiai, apakah nasionalisme itu termasuk ajaran Islam?”. Kiai Wahab menjawab, ”Nasionalisme ditambah bismillaah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis.”
Kemudian, pada 21-22 Oktober 1945, untuk merespons mendaratnya pasukan sekutu di Surabaya dan beberapa pelabuhan lain di Indonesia, ulama NU berkumpul di Surabaya untuk membicarakan langkah-langkah yang diperlukan. Dalam pertemuan itu, hal paling penting yang dibahas adalah status hukum NKRI berdasarkan Pancasila yang diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Setelah melalui pembahasan selama dua hari, akhirnya diputuskan bahwa NKRI berdasarkan Pancasila adalah sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib mempertahankan kemerdekaan dan mengusir tentara sekutu. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan hukumnya fardu fardu ain bagi mereka yang tinggal dalam radius 90 km dari keberadaan tentara sekutu.
Keputusan NU yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad itu sangat melegakan BK sebagai presiden yang baru di negara yang juga baru berdiri. Ini sekaligus membuktikan bahwa visi nasionalisme NU sangat kuat dan nyata, seperti diakui oleh BK sendiri.
Puncaknya, ketika terjadi pemberontakan terhadap NKRI yang dilakukan oleh golongan Islam ”modernis”, terjadi pembangkangan terhadap kepemimpinan BK, maka NU berada di garis depan memberi jaminan kepada BK bahwa ”semua gerakan yang melawan pemerintahan yang sah adalah makar (bughat ).
Karena statusnya menurut hukum agama (fikih) adalah makar, maka pemerintah wajib menumpas.” Bahkan, NU kemudian memberi gelar kepada BK sebagai ”penguasa sementara dengan kekuasaan penuh” (waliyyul amri ad-dharuri bis-syaukah), sebagai legitimasi kepada BK selaku kepala negara yang sah dan, oleh karenanya, ipso facto harus dipatuhi dan ditaati oleh semua golongan, termasuk umat Islam.
Begitu dekat dan cintanya kepada NU, sampai BK saat memberikan sambutan pada Muktamar Ke-23 NU di Solo tersebut menyatakan: ”Meski harus merayap, saya akan datang ke Muktamar ini. Agar orang tidak meragukan kecintaan dan kedekatan saya dengan NU”. Telah puluhan tahun NUmarhaen bersatu dalam jiwa dan berbagai manifestasi budaya.
Orang seperti BK dianggap sebagai pemimpin bagi warga NU. Sementara para tokoh dan ulama NU juga dianggap sebagai pengayom oleh kaum marhaen. Persatuan keduanya telah menjadi inti kekuatan Nusantara di masa lalu dan NKRI di masa kini. Meminjam kalimat Snouck Hurgronje, ”Islam tradisional dan kaum marhaen di Indonesia yang kelihatannya demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran masa lalu, sebenarnya telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental.
Tetapi perubahan- perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, demikian rumit dan demikian dalam tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola pikiran Nusantara, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama ”. Selamat memperingati hari lahir BK, 6 Juni 1901-6 Juni 2015.
Aktivis NU,
Menteri Ketenagakerjaan RI
Ketika memberikan sambutan pada Muktamar Ke-23 Nahdlatul Ulama, 28 Desember 1952 di Solo, Jawa Tengah, Presiden Sukarno (Bung Karno/BK) menyatakan: ”Saya cinta sekali kepada Nahdlatul Ulama (NU)”.
Dan BK menyatakan sangat gelisah jika ada yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Mengapa BK begitu cinta dan dekat dengan NU? Menurut BK, karena antara NU dan dirinya memiliki kesamaan visi, ideologi dan cita-cita yang fundamental. Menurut BK, NU adalah organisasi keagamaan yang terbuka dan dinamis.
Di dalamnya ada berbagai pendapat yang berkembang dan terus dilestarikan, sehingga NU memperkokoh fakta dan kultur kebinekaan masyarakat. Kedua, sebagaimana BK, NU juga organisasi keagamaan yang berwatak nasionalis. Menurut BK, NU ikut dalam revolusi kemerdekaan. NU ikut berkorban, berjuang, membanting tulang dan mengucurkan darah untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, mempertahankannya dan mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Sementara, ada organisasi lain yang tidak membantu terbentuknya negara Indonesia yang kuat, tapi justru menggerogotinya. Ketiga, menurut BK, NU adalah organisasi yang bervisi sosialis, yaitu suatu visi yang menentang sistem yang menghisap manusia kepada manusia lain. Bahkan BK menilai, dalam pandangan NU, sosialisme merupakan cita-cita sejati dari ajaran Islam.
BK dan NU memang ibarat dua sisi mata uang. NU berangkat dari pemikiran dan tradisi keagamaannya yang terbuka dan dinamis, secara terus-menerus memperkokoh bangunan negara-bangsa melalui pribumisasi Islam; di mana Islam diposisikan sebagai etika sosial yang memberi warna dan makna pada budaya masyarakat yang ada, yang pada akhirnya menjadi kokohlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang majemuk dari segi agama, keyakinan dan budaya.
Sementara BK, berangkat dari nasionalisme dan mimpi revolusinya, bersama masyarakat yang disebut marhaen atau ”abangan” dalam terminologi Clifford Geertz secara terusmenerus berusaha memperkuat NKRI menjadi negara yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat santri yang menjadi cikal bakal NU dan masyarakat marhaen-abangan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat selama berabadabad. Masyarakat santri atau Islam tradisional berkembang bersama dan menyatu dengan kultur masyarakat marhaenabangan yang sudah ada.
Kultur masyarakat yang ada sendiri menjadi semakin kuat dan bermakna karena ada suntikan nilai-nilai Islam rahmatan lil Islam rahmatan lil alamin. Hubungan saling menguatkan ini pada akhirnya membentuk Islam Nusantara yang kokoh yang mampu bertahan dari gempuran nilai-nilai Barat yang dibawa kaum penjajah, serangan kaum Islam puritan, atau terjangan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi, sampai saat ini.
Bersatunya kaum tradisionalis Islam dan masyarakat marhaen-abangan merupakan fondasi paling kokoh atas peradaban Nusantara dan tegaknya NKRI sampai saat ini. Kedekatan kaum tradisionalis Islam dengan masyarakat marhaenabangan bukanlah ”koalisi karena kebutuhan sementara” (marriage of inconvenience), bukan juga sekadar hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), tetapi menyatu dalam berbagai manifestasi kebudayaan, di mana keduanya saling mengisi, memberi dan menerima (take and give ) dan pada akhirnya saling menguatkan.
Itulah genealogi historisideologi yang bisa menjelaskan kedekatan antara Islam tradisional dan masyarakat marhaenabangan, yang kemudian dibuktikan juga dengan kedekatan kiai-kiai NU dengan BK. Simak misalnya ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara pada Sidang BPUPKI tahun 1945. BK dan NU bisa dikatakan dalam posisi yang sama, setidaknya NU-lah yang selalu menjembatani perdebatan antara BK dengan kelompok yang menentang pemikiran-pemikirannya.
Suatu ketika pernah Presiden Sukarno bertanya kepada Kiai Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri NU: ”Pak kiai, apakah nasionalisme itu termasuk ajaran Islam?”. Kiai Wahab menjawab, ”Nasionalisme ditambah bismillaah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis.”
Kemudian, pada 21-22 Oktober 1945, untuk merespons mendaratnya pasukan sekutu di Surabaya dan beberapa pelabuhan lain di Indonesia, ulama NU berkumpul di Surabaya untuk membicarakan langkah-langkah yang diperlukan. Dalam pertemuan itu, hal paling penting yang dibahas adalah status hukum NKRI berdasarkan Pancasila yang diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Setelah melalui pembahasan selama dua hari, akhirnya diputuskan bahwa NKRI berdasarkan Pancasila adalah sah secara fikih. Karena itu, umat Islam wajib mempertahankan kemerdekaan dan mengusir tentara sekutu. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan hukumnya fardu fardu ain bagi mereka yang tinggal dalam radius 90 km dari keberadaan tentara sekutu.
Keputusan NU yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad itu sangat melegakan BK sebagai presiden yang baru di negara yang juga baru berdiri. Ini sekaligus membuktikan bahwa visi nasionalisme NU sangat kuat dan nyata, seperti diakui oleh BK sendiri.
Puncaknya, ketika terjadi pemberontakan terhadap NKRI yang dilakukan oleh golongan Islam ”modernis”, terjadi pembangkangan terhadap kepemimpinan BK, maka NU berada di garis depan memberi jaminan kepada BK bahwa ”semua gerakan yang melawan pemerintahan yang sah adalah makar (bughat ).
Karena statusnya menurut hukum agama (fikih) adalah makar, maka pemerintah wajib menumpas.” Bahkan, NU kemudian memberi gelar kepada BK sebagai ”penguasa sementara dengan kekuasaan penuh” (waliyyul amri ad-dharuri bis-syaukah), sebagai legitimasi kepada BK selaku kepala negara yang sah dan, oleh karenanya, ipso facto harus dipatuhi dan ditaati oleh semua golongan, termasuk umat Islam.
Begitu dekat dan cintanya kepada NU, sampai BK saat memberikan sambutan pada Muktamar Ke-23 NU di Solo tersebut menyatakan: ”Meski harus merayap, saya akan datang ke Muktamar ini. Agar orang tidak meragukan kecintaan dan kedekatan saya dengan NU”. Telah puluhan tahun NUmarhaen bersatu dalam jiwa dan berbagai manifestasi budaya.
Orang seperti BK dianggap sebagai pemimpin bagi warga NU. Sementara para tokoh dan ulama NU juga dianggap sebagai pengayom oleh kaum marhaen. Persatuan keduanya telah menjadi inti kekuatan Nusantara di masa lalu dan NKRI di masa kini. Meminjam kalimat Snouck Hurgronje, ”Islam tradisional dan kaum marhaen di Indonesia yang kelihatannya demikian statis dan demikian kuat terbelenggu oleh pikiran-pikiran masa lalu, sebenarnya telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental.
Tetapi perubahan- perubahan tersebut demikian bertahap-tahap, demikian rumit dan demikian dalam tersimpan. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal dengan pola pikiran Nusantara, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama ”. Selamat memperingati hari lahir BK, 6 Juni 1901-6 Juni 2015.
(bbg)