Menyelamatkan Rohingya
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Dalam satu minggu terakhir kita dapat melihat perubahan politik yang positif dalam penanganan kasus pengungsi yang terapung di tengah lautan.
Perubahan ini signifikan terutama dalam meredanya polemik antara apakah para pengungsi tersebut adalah pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar atau kelompok masyarakat dari Bangladesh yang mencari pekerjaan secara ilegal. Rasa khawatir tentang kemungkinan aliran pengungsi yang menyusul datang apabila mereka diterima mendarat untuk sementara dapat dikurangi seiring dengan tanggapan positif dari Pemerintah Myanmar yang berjanji untuk lebih serius menangani masalah pengungsi ini.
Negara-negara lain di Asia Tenggara yang telah menandatangani Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 seperti Timor Leste, Filipina, dan Thailand juga telah membuka tangan untuk menerima para pengungsi tersebut. Di tingkat internasional, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menyerukan juga kepada Pemerintah Myanmar untuk mengambil tindakan segera dalam menghentikan arus keluar etnis Rohingya dari Myanmar.
Beberapa angkatan perang seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Amerika Serikat telah membantu mencari para pengungsi lain yang masih berada di tengah laut dan menunggu pertolongan. Walaupun terlambat karena ratusan pengungsi banyak yang meninggal baik karena kondisi fisik yang lemah atau konflik antara pengungsi itu sendiri, bantuan tersebut perlu diapresiasi. Perubahan atmosfer politik tersebut mungkin juga terkait dengan upaya diplomasi yang dilakukan beberapa negara, termasuk Indonesia, kepada Pemerintah Myanmar.
Pertemuan antara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan mitranya Menteri Luar Negeri Myanmar Maung Lwin pada beberapa hari lalu telah menyepakati empat hal penting yang dapat dianggap sebagai sebuah langkah besar mengingat masalah ini telah berpuluhpuluh tahun usianya. Pertama, Pemerintah Myanmar telah menyepakati upaya untuk mencegah arus irregular migrants dari wilayah mereka.
Kedua , Pemerintah Myanmar juga siap bergabung dengan negara-negara lain di kawasan untuk memberantas kejahatan human trafficking . Ketiga , Pemerintah Myanmar segera memerintahkan kedutaan besarnya untuk melakukan kunjungan kekonsuleran ke tempat-tempat penampungan sementara para irregular migrants yang saat ini berada di Aceh.
Keempat , Pemerintah Myanmar juga telah menyambut baik tawaran kerja sama Indonesia untuk pembangunan Rakhine State secara inklusif dan nondiskriminatif . Kesepakatan yang baik dan pendekatan diplomasi ”Asia” yang mengedepankan kesantunan oleh Kementerian Luar Negeri RI terhadap Myanmar mungkin adalah salah satu variabel yang menentukan penyelesaian pengungsi Rohingya lebih lanjut.
Kita dapat bandingkan misalnya pendekatan Wakil Menteri Luar Negeri AS Antony J Blinken yang bicara pada hari yang sama dengan pihak RI di mana AS justru mengedepankan isu hak-hak sipil politik, demokrasi, dan HAM lebih dulu ketimbang bicara tentang kerja sama yang mungkin dapat dilakukan oleh kedua negara.
Saya tidak mengatakan bahwa isu tersebut tidak relevan, tetapi dalam konteks negara-negara Asia Tenggara, hal tersebut sangat sensitif terutama apabila prioritas utama kita adalah menyelamatkan para pengungsi yang masih ada di laut dan mereka yang mungkin masih akan keluar dari wilayah Myanmar. Sebagian besar pendekatan untuk masalah Rohingya yang muncul dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa terlebih dahulu menilai bahwa Pemerintah Myanmar gagal atau tidak memiliki niat baik dalam menangani masalah pengungsi.
Hal ini membuat Pemerintah Myanmar merasa terpojok, tidak dihargai, dan kemudian berlaku defensif terhadap segala tekanan. Pendekatan dan penyelesaian yang dapat diterima dengan baik oleh Pemerintah Myanmar adalah kunci dari penyelesaian masalah pengungsi Rohingya. Masalah tersebut tidak dapat diselesaikan apabila Pemerintah Myanmar menganggap solusi atau jalan keluar yang ditawarkan oleh negara-negara di kawasan sebagai sebuah campur tangan atau intervensi terhadap politik di dalam negerinya.
Salah satu contoh adalah menghindarkan penggunaan kata Rohingya dalam diplomasi seperti yang dilakukan Indonesia. Pemilihan kata tersebut akan menimbulkan reaksi negatif yang keras dari Pemerintah Myanmar dan justru tidak akan produktif dalam diplomasi terutama ketika prioritas kita adalah menyelamatkan nyawa pengungsi di lautan. Hal ini terjadi ketika Pemerintah Malaysia mengundang Pemerintah Myanmar ke pertemuan tiga negara (Malaysia, Indonesia, dan Thailand) dan secara spesifik menyatakan akan membahas masalah pengungsi Rohingya.
Pemerintah Myanmar menolak datang karena penggunaan kata Rohingya dalam pertemuan internasional akan menimbulkan gelombang protes di dalam negeri yang mungkin akan membuat pemerintahan tidak stabil. Hal teknis dan detail seperti itu menjadi pelajaran untuk Pemerintah Thailand yang juga akan menggelar pertemuan dan membahas masalah Rohingya pada tanggal 29 Mei nanti di Bangkok.
Pertemuan itu akan diselenggarakan di bawah judul ”Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean ”. Contoh di atas menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi tidak dapat selalu sama dalam setiap keadaan. Kita perlu melihat apa yang menjadi prioritas. Walaupun niat kita baik, apabila dijalankan tidak dengan pengetahuan yang mendalam tentang negara yang menjadi mitra, usaha itu tidak akan berjalan baik. Tekanan kepada pemerintahan Myanmar memang harus terus dilakukan terutama dari masyarakat dan organisasi sipil yang tidak terikat oleh protokol.
Tekanan tersebut dapat melengkapi pendekatan-pendekatan lain yang tengah dilakukan. Namun kita juga mesti mengukur sejauh mana tekanan itu akan merugikan atau menguntungkan subjek yang menjadi perhatian.
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Dalam satu minggu terakhir kita dapat melihat perubahan politik yang positif dalam penanganan kasus pengungsi yang terapung di tengah lautan.
Perubahan ini signifikan terutama dalam meredanya polemik antara apakah para pengungsi tersebut adalah pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar atau kelompok masyarakat dari Bangladesh yang mencari pekerjaan secara ilegal. Rasa khawatir tentang kemungkinan aliran pengungsi yang menyusul datang apabila mereka diterima mendarat untuk sementara dapat dikurangi seiring dengan tanggapan positif dari Pemerintah Myanmar yang berjanji untuk lebih serius menangani masalah pengungsi ini.
Negara-negara lain di Asia Tenggara yang telah menandatangani Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 seperti Timor Leste, Filipina, dan Thailand juga telah membuka tangan untuk menerima para pengungsi tersebut. Di tingkat internasional, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menyerukan juga kepada Pemerintah Myanmar untuk mengambil tindakan segera dalam menghentikan arus keluar etnis Rohingya dari Myanmar.
Beberapa angkatan perang seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Amerika Serikat telah membantu mencari para pengungsi lain yang masih berada di tengah laut dan menunggu pertolongan. Walaupun terlambat karena ratusan pengungsi banyak yang meninggal baik karena kondisi fisik yang lemah atau konflik antara pengungsi itu sendiri, bantuan tersebut perlu diapresiasi. Perubahan atmosfer politik tersebut mungkin juga terkait dengan upaya diplomasi yang dilakukan beberapa negara, termasuk Indonesia, kepada Pemerintah Myanmar.
Pertemuan antara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan mitranya Menteri Luar Negeri Myanmar Maung Lwin pada beberapa hari lalu telah menyepakati empat hal penting yang dapat dianggap sebagai sebuah langkah besar mengingat masalah ini telah berpuluhpuluh tahun usianya. Pertama, Pemerintah Myanmar telah menyepakati upaya untuk mencegah arus irregular migrants dari wilayah mereka.
Kedua , Pemerintah Myanmar juga siap bergabung dengan negara-negara lain di kawasan untuk memberantas kejahatan human trafficking . Ketiga , Pemerintah Myanmar segera memerintahkan kedutaan besarnya untuk melakukan kunjungan kekonsuleran ke tempat-tempat penampungan sementara para irregular migrants yang saat ini berada di Aceh.
Keempat , Pemerintah Myanmar juga telah menyambut baik tawaran kerja sama Indonesia untuk pembangunan Rakhine State secara inklusif dan nondiskriminatif . Kesepakatan yang baik dan pendekatan diplomasi ”Asia” yang mengedepankan kesantunan oleh Kementerian Luar Negeri RI terhadap Myanmar mungkin adalah salah satu variabel yang menentukan penyelesaian pengungsi Rohingya lebih lanjut.
Kita dapat bandingkan misalnya pendekatan Wakil Menteri Luar Negeri AS Antony J Blinken yang bicara pada hari yang sama dengan pihak RI di mana AS justru mengedepankan isu hak-hak sipil politik, demokrasi, dan HAM lebih dulu ketimbang bicara tentang kerja sama yang mungkin dapat dilakukan oleh kedua negara.
Saya tidak mengatakan bahwa isu tersebut tidak relevan, tetapi dalam konteks negara-negara Asia Tenggara, hal tersebut sangat sensitif terutama apabila prioritas utama kita adalah menyelamatkan para pengungsi yang masih ada di laut dan mereka yang mungkin masih akan keluar dari wilayah Myanmar. Sebagian besar pendekatan untuk masalah Rohingya yang muncul dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa terlebih dahulu menilai bahwa Pemerintah Myanmar gagal atau tidak memiliki niat baik dalam menangani masalah pengungsi.
Hal ini membuat Pemerintah Myanmar merasa terpojok, tidak dihargai, dan kemudian berlaku defensif terhadap segala tekanan. Pendekatan dan penyelesaian yang dapat diterima dengan baik oleh Pemerintah Myanmar adalah kunci dari penyelesaian masalah pengungsi Rohingya. Masalah tersebut tidak dapat diselesaikan apabila Pemerintah Myanmar menganggap solusi atau jalan keluar yang ditawarkan oleh negara-negara di kawasan sebagai sebuah campur tangan atau intervensi terhadap politik di dalam negerinya.
Salah satu contoh adalah menghindarkan penggunaan kata Rohingya dalam diplomasi seperti yang dilakukan Indonesia. Pemilihan kata tersebut akan menimbulkan reaksi negatif yang keras dari Pemerintah Myanmar dan justru tidak akan produktif dalam diplomasi terutama ketika prioritas kita adalah menyelamatkan nyawa pengungsi di lautan. Hal ini terjadi ketika Pemerintah Malaysia mengundang Pemerintah Myanmar ke pertemuan tiga negara (Malaysia, Indonesia, dan Thailand) dan secara spesifik menyatakan akan membahas masalah pengungsi Rohingya.
Pemerintah Myanmar menolak datang karena penggunaan kata Rohingya dalam pertemuan internasional akan menimbulkan gelombang protes di dalam negeri yang mungkin akan membuat pemerintahan tidak stabil. Hal teknis dan detail seperti itu menjadi pelajaran untuk Pemerintah Thailand yang juga akan menggelar pertemuan dan membahas masalah Rohingya pada tanggal 29 Mei nanti di Bangkok.
Pertemuan itu akan diselenggarakan di bawah judul ”Special Meeting on Irregular Migration in the Indian Ocean ”. Contoh di atas menunjukkan bahwa pendekatan diplomasi tidak dapat selalu sama dalam setiap keadaan. Kita perlu melihat apa yang menjadi prioritas. Walaupun niat kita baik, apabila dijalankan tidak dengan pengetahuan yang mendalam tentang negara yang menjadi mitra, usaha itu tidak akan berjalan baik. Tekanan kepada pemerintahan Myanmar memang harus terus dilakukan terutama dari masyarakat dan organisasi sipil yang tidak terikat oleh protokol.
Tekanan tersebut dapat melengkapi pendekatan-pendekatan lain yang tengah dilakukan. Namun kita juga mesti mengukur sejauh mana tekanan itu akan merugikan atau menguntungkan subjek yang menjadi perhatian.
(ars)