Utang Sejarah

Selasa, 26 Mei 2015 - 09:26 WIB
Utang Sejarah
Utang Sejarah
A A A
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

Sampai kapankah mahasiswa Universitas Trisaksi akan terus melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati Tragedi 12 Mei 1998 yang telah mengorbankan beberapa senior mereka pada masa silam yang kelam itu?

Mungkin tak akan pernah berhenti selama negara ini tidak menuntaskan prosesnya demi pengungkapan kebenaran dan pencapaian keadilan. Itulah utang sejarah, yang membuat perjalanan Indonesia ke depan niscaya terantuk-antuk karena dipaksa menghela beban berat crime against humanity (kejahatan kemanusiaan) itu.

Terkait itu Ketua MPR Zulkifli Hasan mendesak pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menuntaskan utang negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu harus menjadi prioritas pemerintah dalam 4,5 tahun ke depan. ”Saya sepakat, 17 tahun (kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti) itu waktu yang sangat lama. Ini utang pemerintah yang harus dituntaskan agar tidak lagi jadi beban generasi mendatang,” kata Zulkifli (18/5).

Ia mengatakan, selama ini MPR ikut memfasilitasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. MPR sudah beberapa kali bertemu Jaksa Agung, Komnas HAM, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk membicarakan jalan keluar masalah itu. Seusai menggelar rapat konsultasi lembaga tinggi negara di Istana Negara, 18 Mei itu, Zulkifli mengatakan, solusi kasus pelanggaran HAM itu bisa melalui keputusan presiden.

”Caranya, tidak usah merevisi UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dulu. Itu terlalu lama. Presiden keluarkan saja segera keppres untuk membentuk KKR dan memprosesnya,” katanya lagi. Mengacu data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang masih menjadi utang sejarah.

Berkas itu terkait kasus peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; Talang Sari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997- 1998; kerusuhan Mei 1998; Tragedi Trisakti, Peristiwa Semanggi I, dan Semanggi II, serta Peristiwa Wasior dan Wamena (2003). Terkait itu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengungkapkan, melalui komisi gabungan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, ada dua langkah penyelesaian yang bisa dilakukan yakni yudisial dan nonyudisial.

Untuk beberapa kasus lama, Prasetyo mengisyaratkan akan mengambil langkah nonyudisial karena penemuan bukti, saksi, dan pelaku yang dinilai sulit dilakukan. Sementara Komisioner Komnas HAM Siti Nur Laila menegaskan, dengan RUU KKR atau keppres pembentukan komisi khusus penuntasan kasus pelanggaran berat HAM, harus ada pengakuan kesalahan negara dan permintaan maaf negara dalam kasus kejahatan HAM masa silam di Indonesia.

”Entah ini diselesaikan per kasus atau sekaligus sebagai kejahatan rezim Orde Baru. Di sisi lain, hak para korban yang tidak puas bisa menuntut pidana dan perdata atas kejahatan HAM yang dialaminya,” kata Nur Laila. Akan halnya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak pemerintah untuk mewujudkan janji politik dan agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019 yaitu membentuk Komite Kepresidenan untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu.

Pembentukan komite ini dinilai sebagai langkah paling realistis daripada pengajuan RUU KKR ke DPR. ”Justru kita khawatir jika penyelesaian kasus HAM masa lalu dilakukan dengan mengajukan RUU KKR lebih dahulu. Itu akan menjadi alat negosiasi. Lalu kita akan mengulang perdebatan mengenai apa itu pengungkapan kebenaran, apa itu rekonsiliasi di dalam pengertian umum RUU KKR,” kata peneliti Elsam, Wahyudi Djafar (18/5).

Peluang menyelesaikan persoalan masa lalu, khususnya yang berkait dengan pelanggaran berat HAM oleh negara (gross violation of human rigths ), sebenarnya mendapatkan momentum emas selekas rezim Soeharto berhasil ditumbangkan pada 21 Mei 1998. Berbagai kezaliman yang terjadi dan diduga dilakukan rezim Orde Baru ini terentang panjang dari pembunuhan massal (genosida), pembunuhan misterius, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, perusakan, perampasan harta benda, dan lainnya.

Tindakan represif atas publik yang dilakukan rezim militeristik itu bertumpuk memenuhi catatan sejarah perjalanan Indonesia. Tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah bangsa kita dibangun di atas kekerasan negara atas rakyatnya. Publik berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi, dan siapa para pelakunya, dan ihwal di seputar tragedi-tragedi kemanusiaan itu.

Selain itu, korban (termasuk keluarga korban) juga berhak mengetahui mengapa ia dijadikan korban. Ia pun berhak memberikan kesaksiannya perihal siapa pelaku yang telah menjadikannya sebagai korban. Korban juga berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (victimvictims rights for compensation, restitution, and rehabilitation ), dan hak atas jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan (victimvictims rights at guaranteeing non recurrence violation).

Namun, semua itu hanya dapat dipenuhi jika penguasa serius berupaya menyelesaikan beban-beban masa silam yang kelam itu. Sebaliknya, akan jauh lebih memuramkan dan menistakan martabat korban dan kemanusiaan jika tragedi-tragedi itu dibiarkan berlalu begitu saja tanpa diketahui siapa dalang (aktor intelektual) dan pelaku dari trageditragedi kemanusiaan yang getir itu.

Pemerintah dan wakil rakyat akan terjerembab pada apa yang disebut Bertrand Russell sebagai kejahatan diam (the crime of silent ) jika akhirnya mereka ”terlibat persekongkolan” untuk melindungi para pelaku. Pertanyaannya, bagaimana cara mereka bersekongkol dan mengapa kita menilainya demikian? Saat pemerintah dan wakil rakyat sepakat menyatakan bahwa kasus-kasus itu bukan pelanggaran HAM berat.

Bukankah karena itu maka upaya membentuk lembaga negara khusus untuk menyelesaikannya selalu gagal dari era ke era? Indonesia, era Orde Baru, tercatat sebagai salah satu negara di dunia yang termasuk dalam kategori pelanggar HAM peringkat tinggi. Pada 1998, Indonesia bahkan pernah ditempatkan oleh Amerika Serikat pada peringkat pertama sebagai negara yang pemerintahnya, dengan melalui agen-agennya,

melakukan penganiayaan terhadap umat beragama serta membiarkan atau tidak menyelesaikan secara serius peristiwaperistiwa berdimensi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang merugikan umat beragama tersebut. Kita malu dan tak mungkin membantahnya. Karena itulah, kita harus lebih serius mereformasi diri di bidang ini. Demi keadilan dan terungkapnya kebenaran, agar dengan itu kita bisa berdamai dengan masa silam.

Namun, kita prihatin, karena UU No 27 Tahun 2004 yang melandasi pembentukan KKR telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir 2006 karena dinilai bertentangan dengan UUD 45. Sejak itulah isu rekonsiliasi antara negara dan para korban pelanggaran berat HAM masa silam itu nyaris terlupakan oleh pemerintah dan wakil rakyat di sepanjang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kita tak ingin Indonesia menjadi bangsa yang tak pernah melunasi utang sejarahnya karena tak ada niat baik untuk menyelesaikannya. Kita tak ingin para korban dan keluarga para korban tragedi-tragedi kemanusiaan masa silam itu hidup merana terussekarangdankedepan.

Kita ingin Indonesia dierabaru ini melangkah pasti ke masa depan dengan segera menyusun kebijakan-kebijakan khusus untuk menjawab tuntutan masa silam itu dengan melibatkan para korban, lembaga-lembaga pemerhati HAM, dan pemerintah serta wakil rakyat untuk: 1) membuat UU baru yang melandasi berdirinya KKR; 2) sementara UU tersebut belum ada,

presiden segera menerbitkan keppres sebagai landasan untuk membentuk KKR; 3) memilih sejumlah komisioner KKR yang kredibel dan berintegritas, serta menyediakan alat-alat kelengkapan KKR sebagaisebuahlembagakuasinegara (non-negara, tapi difasilitasi oleh negara); 4) menyusun rencana- rencana kerja KKR hingga tahun 2019, yang kelak dapat dilanjutkan jika agenda-agenda kerjanya belum selesai.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0692 seconds (0.1#10.140)