Waspada Gelombang PHK
A
A
A
Buntut dari perlambatan pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan pertama 2015 mulai mengibas sektor industri manufaktur dan perhotelan. Pengurangan produksi hingga pemangkasan sejumlah tenaga kerja mulai melanda industri alas kaki alias sepatu dan industri tekstil.
Penyaluran kredit perbankan juga melambat bahkan kalangan bankir mulai mengambil langkah antisipasi peningkatan angka kredit bermasalah. Meski demikian, pemerintah optimistis roda pertumbuhan perekonomian pada triwulan kedua akan berputar lebih kencang seiring aktivitas belanja yang mulai berjalan, terutama terkait pembangunan sektor infrastruktur. Namun, fakta lapangan daya serap anggaran hingga pertengahan triwulan kedua ini masih merayap alias rendah.
Kalangan pengusaha yang bergerak di sektor industri sepatu mulai merasakan pahitnya pertumbuhan ekonomi yang melambat itu. Omzet industri sepatu terjun bebas menyusul anjloknya daya beli masyarakat. Untuk periode Januari hingga April 2015, sebagaimana dipaparkan Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (API) Eddy Wijanarko, tercatat penurunan penjualan yang mencapai 40% dibanding periode yang sama pada tahun lalu.
Penurunan penjualan tersebut justru dialami industri sepatu dengan segmen kelas menengah ke bawah yang fokus pada pasar di dalam negeri. Sementara industri sepatu yang menggarap kelas menengah atas tujuan pasar ekspor masih bisa menikmati keuntungan mengikuti penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah.
Dampak lanjutan dari penurunan penjualan sepatu tersebut sejumlah perusahaan mulai mengurangi produksi, karyawan pun terpaksa dirumahkan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Memang tak bisa dihindari industri sepatu industri padat karya, ketika produksi terganggu alias terkoreksi, langsung berpengaruh terhadap para pekerja karena aktivitas berkurang.
Meski pihak API mengklaim sejumlah perusahaan sudah merumahkan karyawan, belum mendapat angka pasti. Yang membuat kalangan pengusaha sepatu diliputi kekhawatiran adalah sampai kapan suasana perekonomian yang meredup ini kembali bersinar. Nasib pekerja industry tekstil tidak lebih baik dari pekerja industry sepatu. Sejumlah industry tekstil yang berlokasi diBandung dan Majalaya, Jawa Barat telah merumahkan karyawan.
Berdasarkan data yang dipublikasi Asosiasi Perteksti lanIndonesia (API) awal pecan ini, sekitar 60 industri yang terdapat pada kedua wilayah tersebut telah merumahkan karyawan. Tindakan tersebut ditempuh menyusul anjloknya penjualan produk tekstil hingga 50% sepanjang periode Januari hingga April tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pelaku industri perhotelan pun ikut berteriak yang berujung pada pemangkasan tarif hotel hingga 30%. Pengusaha yang bergerak di bidang perhotelan memang dua kali kena pukulan telak. Pertama, kebijakan yang melarang instansi pemerintah menyelenggarakan kegiatan di hotel meski belakangan kebijakan pelarangan tersebut mulai melunak.
Kedua, pelambatan ekonomi sepanjang kuartal pertama 2015 yang telah menggerus daya beli masyarakat dan berdampak permintaan penggunaan hotel yang mengempis. Implikasi lebih luas dari melemahnya kinerja sejumlah industri manufaktur dan perhotelan adalah tumbuhnya angka kredit bermasalah (non performing loan /NPL).
Sebagai contoh sejumlah pengusaha hotel yang memutar modal dari pinjaman perbankan akan mulai tersendat pelunasan cicilan kredit. Hal serupa akan melanda juga industri sepatu dan tekstil yang menggunakan kredit perbankan. Sementara itu, kalangan bankir pesimistis penyaluran kredit sepanjang tahun ini angka mencapai level 15% hingga 17% berdasarkan prediksi Bank Indonesia (BI) atau pada level 16% hingga 18% sebagaimana diperkirakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam kondisi yang serbamelamban ini, tentu harapan pengusaha selain kebijakan konkret dari pemerintah untuk memotor roda perekonomian, juga dibutuhkan kebijakan yang bersahabat terhadap pengusaha. Sayangnya, harapan itu sedikit terganggu dengan kebijakan pemerintah yang mulai mengintensifkan pemungutan pajak pada sejumlah sektor yang dinilai tidak tepat waktu.
Sebut saja pajak jalan tol yang semula sudah ditunda kembali akan diberlakukan. Padahal, pajak jalan tol hasilnya tidak signifikan untuk kocek negara, tetapi cukup berpengaruh terhadap aktivitas bisnis.
Penyaluran kredit perbankan juga melambat bahkan kalangan bankir mulai mengambil langkah antisipasi peningkatan angka kredit bermasalah. Meski demikian, pemerintah optimistis roda pertumbuhan perekonomian pada triwulan kedua akan berputar lebih kencang seiring aktivitas belanja yang mulai berjalan, terutama terkait pembangunan sektor infrastruktur. Namun, fakta lapangan daya serap anggaran hingga pertengahan triwulan kedua ini masih merayap alias rendah.
Kalangan pengusaha yang bergerak di sektor industri sepatu mulai merasakan pahitnya pertumbuhan ekonomi yang melambat itu. Omzet industri sepatu terjun bebas menyusul anjloknya daya beli masyarakat. Untuk periode Januari hingga April 2015, sebagaimana dipaparkan Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (API) Eddy Wijanarko, tercatat penurunan penjualan yang mencapai 40% dibanding periode yang sama pada tahun lalu.
Penurunan penjualan tersebut justru dialami industri sepatu dengan segmen kelas menengah ke bawah yang fokus pada pasar di dalam negeri. Sementara industri sepatu yang menggarap kelas menengah atas tujuan pasar ekspor masih bisa menikmati keuntungan mengikuti penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah.
Dampak lanjutan dari penurunan penjualan sepatu tersebut sejumlah perusahaan mulai mengurangi produksi, karyawan pun terpaksa dirumahkan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Memang tak bisa dihindari industri sepatu industri padat karya, ketika produksi terganggu alias terkoreksi, langsung berpengaruh terhadap para pekerja karena aktivitas berkurang.
Meski pihak API mengklaim sejumlah perusahaan sudah merumahkan karyawan, belum mendapat angka pasti. Yang membuat kalangan pengusaha sepatu diliputi kekhawatiran adalah sampai kapan suasana perekonomian yang meredup ini kembali bersinar. Nasib pekerja industry tekstil tidak lebih baik dari pekerja industry sepatu. Sejumlah industry tekstil yang berlokasi diBandung dan Majalaya, Jawa Barat telah merumahkan karyawan.
Berdasarkan data yang dipublikasi Asosiasi Perteksti lanIndonesia (API) awal pecan ini, sekitar 60 industri yang terdapat pada kedua wilayah tersebut telah merumahkan karyawan. Tindakan tersebut ditempuh menyusul anjloknya penjualan produk tekstil hingga 50% sepanjang periode Januari hingga April tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pelaku industri perhotelan pun ikut berteriak yang berujung pada pemangkasan tarif hotel hingga 30%. Pengusaha yang bergerak di bidang perhotelan memang dua kali kena pukulan telak. Pertama, kebijakan yang melarang instansi pemerintah menyelenggarakan kegiatan di hotel meski belakangan kebijakan pelarangan tersebut mulai melunak.
Kedua, pelambatan ekonomi sepanjang kuartal pertama 2015 yang telah menggerus daya beli masyarakat dan berdampak permintaan penggunaan hotel yang mengempis. Implikasi lebih luas dari melemahnya kinerja sejumlah industri manufaktur dan perhotelan adalah tumbuhnya angka kredit bermasalah (non performing loan /NPL).
Sebagai contoh sejumlah pengusaha hotel yang memutar modal dari pinjaman perbankan akan mulai tersendat pelunasan cicilan kredit. Hal serupa akan melanda juga industri sepatu dan tekstil yang menggunakan kredit perbankan. Sementara itu, kalangan bankir pesimistis penyaluran kredit sepanjang tahun ini angka mencapai level 15% hingga 17% berdasarkan prediksi Bank Indonesia (BI) atau pada level 16% hingga 18% sebagaimana diperkirakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam kondisi yang serbamelamban ini, tentu harapan pengusaha selain kebijakan konkret dari pemerintah untuk memotor roda perekonomian, juga dibutuhkan kebijakan yang bersahabat terhadap pengusaha. Sayangnya, harapan itu sedikit terganggu dengan kebijakan pemerintah yang mulai mengintensifkan pemungutan pajak pada sejumlah sektor yang dinilai tidak tepat waktu.
Sebut saja pajak jalan tol yang semula sudah ditunda kembali akan diberlakukan. Padahal, pajak jalan tol hasilnya tidak signifikan untuk kocek negara, tetapi cukup berpengaruh terhadap aktivitas bisnis.
(bhr)