Collaborative-Economy
A
A
A
Sampai saat ini mayoritas dari kita masih beranggapan, efisiensi dan efektivitas pasar hanya merupakan fungsi dari persaingan dan kompetisi.
Hanya dengan persaingan dan kompetisi, surplus-konsumen dapat dicapai melalui harga yang semakin murah. Namun, di sisi lain, persaingan yang begitu keras justru menciptakan kerugian (industrial-loss) dan praktikpraktik bisnis yang tidak terpuji. Sementara itu kita sangat kecilmenaruh perhatian pada skema-skema kolaborasi untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas di pasar.
Harus diakui mazhab mainstream dalam teori ekonomi dan kebijakan publik masih terfokus pada the economicsof competition dancenderung mengabaikan the economics of collaboration. Padahal pengalaman di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan China, industri dibangun dan dimajukan tidak hanya melalui mekanisme persaingan, melainkan juga ditopang oleh bentuk-bentuk kerja sama-kolaboratif industrial.
Oleh karena itu, sudah saatnya di Indonesia kita juga lebih melihat peluang pengembangan mindset dan perspektif the economics of collaboration sebagai pelengkap dari perspektif kompetisi dan persaingan. Saat ini sering kali kita mudah terjebak pada pemahaman umum bahwa kolaborasi dan kerja sama industrial akan berujung pada kartel, kolusif, ataupun stigmatisasi mafia.
Tentunya hal ini perlu diluruskan karena tidak semua skema kerja sama dan kemitraan berujung pada hal-hal negatif tersebut. Justru di banyak kasus, melalui skema kerja sama, kemitraan, atau partnership, suatu aktivitas akan menjadi lebih produktif.
Secara teoretis konsep the economics of collaboration mengacu pada sebuah model ekonomi di mana kepemilikan dan akses terhadap sebuah project atau sumber daya ekonomi terbagi di antara instansi pemerintah, perusahaan, asosiasi, perguruan tinggi, LSM, komunitas atau individu.
Semangat yang diusung dalam hal ini adalah saling-berbagi sumber daya, kompetensi, kapabilitas, dan kemampuan dalam sebuah kerangka kerja sama yang produktif. Premis dasar dalam konsep ini adalah melalui penggabungan kekuatan dari entitas masing-masing, sebuah project tidak hanya menjadi lebih menguntungkan, tetapi juga berkelanjutan (sustainable).
Akan lebih banyak hal yang dapat dilakukan apabila kerja sama dan koordinasi terjadi secara intens antarentitas. Saya sedang tidak menyarankan konsep kompetisi dan persaingan harus digantikan sepenuhnya oleh konsep kolaborasi dan partnership. Hanya saja tidak semua hal dapat diselesaikan melalui konsep kompetisi dan persaingan.
Bahkan, di berbagai kasus, efisiensi dan efektivitas dapat diwujudkan secara baik melalui skema kolaboratif. Pengalaman di berbagai negara maju, pembangunan industrial tidak hanya menggunakan skema kompetisi dan persaingan saja. Namun skema-skema seperti sinergi, kolaborasi, kerja sama, strategikaliansi dan partnership juga secara masif dilakukan.
Baik antarperusahaan dalam satu industri, berbeda industri ataupun yang bersifat lintas entitas seperti skema kerja sama antara perusahaan-asosiasi, perusahaan- perguruan tinggi, perusahaan- LSM, ataupun perusahaan dengan pemerintah. Banyak perusahaan multinasional yang bersaing satu dengan yang lain di pasar, tetapi di sejumlah kesempatan ternyata mereka melakukan kerja sama yang bersifat kolaboratif.
Misalnya saja kerja sama antara Microfost-Cisco-State Street dan perusahaan lainnya melakukan investasi tidak kurang dari 60 juta euro dalam menyediakan platform akses teknologi dan training bagi peningkatan kualitas karyawan. Sementara itu perusahaan minyak dunia seperti Chevron, BP, ExxonMobil, Sonangol, dan Total berkolaborasi untuk membangun fasilitas training bagi para supplier di Luanda, Angola.
Perusahaan Merck juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, LSM lokal serta otoritas lokal di sejumlah negara Amerika Latin seperti Brasil dan Meksiko untuk meningkatkan kualitas kebijakan di bidang kewirausahaan. Model kemitraan dan kerja sama antarlembaga pemerintahan juga menjadi tren dunia saat ini dalam meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan integrasi pembangunan kewilayahan.
Misalnya, laporan penelitian yang dilakukan Jones dan Morris (2008) mendokumentasikan bagaimana kerja sama antarpemerintah kota di Inggris terjadi untuk mewujudkan tujuan bersama. Ketika otoritas Kota Sheffield ingin membangun wilayah berbasis knowledge intensive industry, hal ini tidak dapat dilakukan sendirian. Kemitraan dengan kota sekitarnya seperti Rotherham dan Doncaster dilakukan.
Selain itu Pemerintah Inggris terus mengembangkan apa yang disebut sebagai city-tocity collaboration project untuk mengoptimalkan the economics of collaboration . Mereka sangat mendukung proyek-kolaboratif antara Glasgow dan Edinburgh, Liverpool dan Manchester City di bidang kepariwisataan, dan kerja sama antara beberapa kota seperti Peterborough- Luton-Ipswich-Norwich- Colchester-Southen on Sea untuk mendorong penciptaan lapangan kerja secara kolektif.
Kebijakan ini ditempuh dengan mempertimbangkan bahwa dengan bekerja sama dan kemitraan, hasil yang didapat akan lebih besar dibandingkan bila dilakukan sendiri oleh tiap kota di Inggris. Sebenarnya di Indonesia sejumlah proyek kerja sama dan kemitraan secara kolaboratif juga telah dilakukan. Hasilnya memang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan dikerjakan sendiri-sendiri.
Misalnya, keberhasilan kita dalam membangun tol Bali Mandara hasil konsorsium multisektor yang terdiri atas BUMN konstruksi, pemda dan BUMN perbankan. Tol Bali Mandara juga dimiliki bersama antara PT Jasa marga, Pelindo III, Angkasa Pura I, Adhikarya, Hutama Karya, PT BTDC, Pemprov Bali, dan Pemkab Badung. Melalui penggabungan sumber daya dan kompetensi, jalan tol dapat terselesaikan dengan baik.
Kerja sama antarlembaga tinggi negara juga terjadi secara baik ketika Pemerintah-BPK-BI pada September 2014 menyepakati pedoman prosedur transaksi lindung nilai (hedging) bagi semua entitas, termasuk BUMN maupun departemen terkait seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama.
Begitu juga dengan skema-skema kolaboratif lainnya seperti kebijakan dari Kementerian Pendidikan untuk mendorong hibah riset bagi peneliti yang mengharuskan bermitra dengan universitas lain dan hibah riset yang bersifat multidisipliner. Indonesia saat ini semakin membutuhkan pola dan skema kemitraan yang bersifat kolaboratif di berbagai sektor kehidupan. Semangat ini juga merupakan cerminan dari akar budaya dan karakter asli masyarakat Indonesia, yaitu gotong royong.
Dengan membanjirnya budaya individualistis serta semakin ketatnya persaingan dan kompetisi di seluruh aspek kehidupan, budaya kolaboratif (collaborative-culture ) perlu kita kembangkan. Terlebih dengan struktur pemerintahan pasca- Reformasi yang bertumpu pada semangat desentralisasi, kebutuhan akan collaborativeaction, collaborative-project, collaborative-venture, dan collaborative-planning semakin kita perlukan.
Karena kalau tidak, yang justru akan menguat adalah ego-sektoral di entitas masingmasing yang justru saling menegasikan dan mengunci satu dengan yang lain. Seperti pengalaman di banyak negara, peranan pemerintah untuk mendorong skema dan pola kerja sama, kemitraan dan partnership sangat diperlukan. Political dan good-will dari pemerintah untuk mendorong skema-skema kerja sama akan memperkuat semangat kolaboratif di Indonesia.
Selain itu, kebijakan fiskal dan program pemerintah juga dapat diarahkan untuk memperbanyak munculnya inisiatif baru yang bersifat kolaboratif antarsesama anak bangsa. Melalui hal ini, tidak hanya manfaat ekonomis yang akan kita dapatkan, tetapi juga akan semakin memperkuat rasa kebersamaan dan rasa kepemilikan yang menjadi modal penting dalam membangun karakter unggul sebuah negara maju, kuat, mandiri, dan berkeadilan.
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina Guru Besar FEB Universitas Indonesia
Hanya dengan persaingan dan kompetisi, surplus-konsumen dapat dicapai melalui harga yang semakin murah. Namun, di sisi lain, persaingan yang begitu keras justru menciptakan kerugian (industrial-loss) dan praktikpraktik bisnis yang tidak terpuji. Sementara itu kita sangat kecilmenaruh perhatian pada skema-skema kolaborasi untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas di pasar.
Harus diakui mazhab mainstream dalam teori ekonomi dan kebijakan publik masih terfokus pada the economicsof competition dancenderung mengabaikan the economics of collaboration. Padahal pengalaman di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan China, industri dibangun dan dimajukan tidak hanya melalui mekanisme persaingan, melainkan juga ditopang oleh bentuk-bentuk kerja sama-kolaboratif industrial.
Oleh karena itu, sudah saatnya di Indonesia kita juga lebih melihat peluang pengembangan mindset dan perspektif the economics of collaboration sebagai pelengkap dari perspektif kompetisi dan persaingan. Saat ini sering kali kita mudah terjebak pada pemahaman umum bahwa kolaborasi dan kerja sama industrial akan berujung pada kartel, kolusif, ataupun stigmatisasi mafia.
Tentunya hal ini perlu diluruskan karena tidak semua skema kerja sama dan kemitraan berujung pada hal-hal negatif tersebut. Justru di banyak kasus, melalui skema kerja sama, kemitraan, atau partnership, suatu aktivitas akan menjadi lebih produktif.
Secara teoretis konsep the economics of collaboration mengacu pada sebuah model ekonomi di mana kepemilikan dan akses terhadap sebuah project atau sumber daya ekonomi terbagi di antara instansi pemerintah, perusahaan, asosiasi, perguruan tinggi, LSM, komunitas atau individu.
Semangat yang diusung dalam hal ini adalah saling-berbagi sumber daya, kompetensi, kapabilitas, dan kemampuan dalam sebuah kerangka kerja sama yang produktif. Premis dasar dalam konsep ini adalah melalui penggabungan kekuatan dari entitas masing-masing, sebuah project tidak hanya menjadi lebih menguntungkan, tetapi juga berkelanjutan (sustainable).
Akan lebih banyak hal yang dapat dilakukan apabila kerja sama dan koordinasi terjadi secara intens antarentitas. Saya sedang tidak menyarankan konsep kompetisi dan persaingan harus digantikan sepenuhnya oleh konsep kolaborasi dan partnership. Hanya saja tidak semua hal dapat diselesaikan melalui konsep kompetisi dan persaingan.
Bahkan, di berbagai kasus, efisiensi dan efektivitas dapat diwujudkan secara baik melalui skema kolaboratif. Pengalaman di berbagai negara maju, pembangunan industrial tidak hanya menggunakan skema kompetisi dan persaingan saja. Namun skema-skema seperti sinergi, kolaborasi, kerja sama, strategikaliansi dan partnership juga secara masif dilakukan.
Baik antarperusahaan dalam satu industri, berbeda industri ataupun yang bersifat lintas entitas seperti skema kerja sama antara perusahaan-asosiasi, perusahaan- perguruan tinggi, perusahaan- LSM, ataupun perusahaan dengan pemerintah. Banyak perusahaan multinasional yang bersaing satu dengan yang lain di pasar, tetapi di sejumlah kesempatan ternyata mereka melakukan kerja sama yang bersifat kolaboratif.
Misalnya saja kerja sama antara Microfost-Cisco-State Street dan perusahaan lainnya melakukan investasi tidak kurang dari 60 juta euro dalam menyediakan platform akses teknologi dan training bagi peningkatan kualitas karyawan. Sementara itu perusahaan minyak dunia seperti Chevron, BP, ExxonMobil, Sonangol, dan Total berkolaborasi untuk membangun fasilitas training bagi para supplier di Luanda, Angola.
Perusahaan Merck juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, LSM lokal serta otoritas lokal di sejumlah negara Amerika Latin seperti Brasil dan Meksiko untuk meningkatkan kualitas kebijakan di bidang kewirausahaan. Model kemitraan dan kerja sama antarlembaga pemerintahan juga menjadi tren dunia saat ini dalam meningkatkan efektivitas pelayanan publik dan integrasi pembangunan kewilayahan.
Misalnya, laporan penelitian yang dilakukan Jones dan Morris (2008) mendokumentasikan bagaimana kerja sama antarpemerintah kota di Inggris terjadi untuk mewujudkan tujuan bersama. Ketika otoritas Kota Sheffield ingin membangun wilayah berbasis knowledge intensive industry, hal ini tidak dapat dilakukan sendirian. Kemitraan dengan kota sekitarnya seperti Rotherham dan Doncaster dilakukan.
Selain itu Pemerintah Inggris terus mengembangkan apa yang disebut sebagai city-tocity collaboration project untuk mengoptimalkan the economics of collaboration . Mereka sangat mendukung proyek-kolaboratif antara Glasgow dan Edinburgh, Liverpool dan Manchester City di bidang kepariwisataan, dan kerja sama antara beberapa kota seperti Peterborough- Luton-Ipswich-Norwich- Colchester-Southen on Sea untuk mendorong penciptaan lapangan kerja secara kolektif.
Kebijakan ini ditempuh dengan mempertimbangkan bahwa dengan bekerja sama dan kemitraan, hasil yang didapat akan lebih besar dibandingkan bila dilakukan sendiri oleh tiap kota di Inggris. Sebenarnya di Indonesia sejumlah proyek kerja sama dan kemitraan secara kolaboratif juga telah dilakukan. Hasilnya memang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan dikerjakan sendiri-sendiri.
Misalnya, keberhasilan kita dalam membangun tol Bali Mandara hasil konsorsium multisektor yang terdiri atas BUMN konstruksi, pemda dan BUMN perbankan. Tol Bali Mandara juga dimiliki bersama antara PT Jasa marga, Pelindo III, Angkasa Pura I, Adhikarya, Hutama Karya, PT BTDC, Pemprov Bali, dan Pemkab Badung. Melalui penggabungan sumber daya dan kompetensi, jalan tol dapat terselesaikan dengan baik.
Kerja sama antarlembaga tinggi negara juga terjadi secara baik ketika Pemerintah-BPK-BI pada September 2014 menyepakati pedoman prosedur transaksi lindung nilai (hedging) bagi semua entitas, termasuk BUMN maupun departemen terkait seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama.
Begitu juga dengan skema-skema kolaboratif lainnya seperti kebijakan dari Kementerian Pendidikan untuk mendorong hibah riset bagi peneliti yang mengharuskan bermitra dengan universitas lain dan hibah riset yang bersifat multidisipliner. Indonesia saat ini semakin membutuhkan pola dan skema kemitraan yang bersifat kolaboratif di berbagai sektor kehidupan. Semangat ini juga merupakan cerminan dari akar budaya dan karakter asli masyarakat Indonesia, yaitu gotong royong.
Dengan membanjirnya budaya individualistis serta semakin ketatnya persaingan dan kompetisi di seluruh aspek kehidupan, budaya kolaboratif (collaborative-culture ) perlu kita kembangkan. Terlebih dengan struktur pemerintahan pasca- Reformasi yang bertumpu pada semangat desentralisasi, kebutuhan akan collaborativeaction, collaborative-project, collaborative-venture, dan collaborative-planning semakin kita perlukan.
Karena kalau tidak, yang justru akan menguat adalah ego-sektoral di entitas masingmasing yang justru saling menegasikan dan mengunci satu dengan yang lain. Seperti pengalaman di banyak negara, peranan pemerintah untuk mendorong skema dan pola kerja sama, kemitraan dan partnership sangat diperlukan. Political dan good-will dari pemerintah untuk mendorong skema-skema kerja sama akan memperkuat semangat kolaboratif di Indonesia.
Selain itu, kebijakan fiskal dan program pemerintah juga dapat diarahkan untuk memperbanyak munculnya inisiatif baru yang bersifat kolaboratif antarsesama anak bangsa. Melalui hal ini, tidak hanya manfaat ekonomis yang akan kita dapatkan, tetapi juga akan semakin memperkuat rasa kebersamaan dan rasa kepemilikan yang menjadi modal penting dalam membangun karakter unggul sebuah negara maju, kuat, mandiri, dan berkeadilan.
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina Guru Besar FEB Universitas Indonesia
(ftr)