Arbitrase & Kepastian Hukum

Jum'at, 17 April 2015 - 08:49 WIB
Arbitrase & Kepastian Hukum
Arbitrase & Kepastian Hukum
A A A
Erman Rajagukguk
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Arbitrase institusi di Indonesia sering ditunjuk oleh para pihak dalam perjanjian mereka untuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di antara mereka.

Para pihak dapat memilih arbitrer yang mereka kehendaki sehingga dua arbitrer ditunjuk oleh para pihak dan arbitrer ketiga ditunjuk dua arbitrer yang sudah ada. Jika dua arbitrer tersebut gagal menunjuk arbitrer ketiga, arbitrer ketiga ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri.

Demikian ditentukan oleh Pasal 15 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sehubungan dengan penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh arbitrase dalam negeri.

Selainitu, berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, penyelesaian sengketa arbitrase yang dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional sesuai dengan kesepakatan para pihak, hukum acara penyelesaian sengketanya dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditentukan lain oleh para pihak.

Di samping itu, dalam rangka menarik modal asing, Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. Para pihak di Indonesia adakalanya menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui arbitrase di luar Indonesia.

Pembatalan Putusan Arbitrase

Pasal 70 undang-undang tersebut di atas menyatakan, terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Selanjutnya Pasal 71 menyatakan, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Kemudian Pasal 72 menyatakan : (1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri. (2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.

(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima. (4) Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutusdalamtingkatpertamadan terakhir.

(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskanpermohonanbanding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterimaolehMahkamahAgung. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 15/PUU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014 telah membatalkan penjelasan Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya antara lain menyatakan pasal tersebut sudah cukup jelas (expresis verbis) sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multitafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak multi tafsirny a adalah (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan.

Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telahdiputuskanpengadilantersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan. Atau, syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan.

Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadi ketidakpastian hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala tafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan proses pengadilan. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, tidak mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dipenuhi.

Menurut Mahkamah Konstitusi RI Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Maka itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan penjelasan Pasal 70 undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menurut pendapat hukum saya tentang hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut di atas dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan bersama para pihak. Dasarnya adalah Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.

Pasal 70 itu sendiri menyebutkan: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur beberapa unsur. Kata dapat artinya para pihak tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase yang telah dijatuhkan. Kata dapat mengandung makna tidak memaksa (imperatif).

Dengan demikian, hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak, yang misalnya dituangkan dalam perjanjian arbitrase yang disepakati dan telah ditandatangani oleh para pihak. Apabila hak tersebut sudah disepakati untuk dikesampingkan, para pihak sudah tidak memiliki hak lagi (legal standing) untuk mengajukan permohonan pembatalan.

Mengenai keabsahan suatu tanda tangan, terlebih lagi tanda tangan dalam suatu perjanjian yang dilegalisir oleh notaris; tidak dapat diingkari oleh para pihak di kemudian hari karena notaris sebelum melegalisasi perjanjian tersebut memeriksa terlebih dahulu kartu tanda penduduk (KTP) para pihak untuk mengetahui apakah tanda tangan dalam perjanjian tersebut sama dengan tanda tangan di KTP para pihak.

Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Limitatif

Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan sebab-sebab lain karena syarat-syarat dalam Pasal70Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 adalah limitatif. Salah satu pihak tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan berdasarkan penjelasan umum dari undang-undang tersebut karena ketentuan yang disebutkan dalam suatu pasal (batang tubuh) lebih kuat dari penjelasan umum.

Dasarnya adalah butir 178 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang menyatakan, penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahanterselubungterhadap ketentuan peraturan perundang- undangan. Dalam hal ini penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyebutkan : “Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase.

Ini dimungkinkan karena beberapa hal antara lain (cetak miring dari saya): a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakuipalsuataudinyatakanpalsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” Kata antara lain itu dapat diartikan menambah alasanalasan yang baru selain a. b. dan c.

Menurut pendapat hukum saya, kata-kata antara lain telah mengubah secara terselubung ketentuanyangdiaturolehPasal 70 Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999. Karena itu, menurut pendapat hukum saya, tetap yang berlaku adalah Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang merupakan batang tubuh undang-undang tersebut dan bukan penjelasan umum.

Jika terdapat suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang materinya mengenai terbuktinya alasanalasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu putusan tersebut tentang terbuktinya dokumen palsu, dokumen yang disembunyikan, dan tipu muslihat; putusan pengadilan tersebut dapat dijadikan alasan untuk pembatalan putusan arbitrase dimaksud.

Tetapi, apabila putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu materinya bertentangan dengan putusan arbitrase dan bukan tentang terbuktinya alasanalasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Bertentangan Dengan Ketertiban Umum tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri karena alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam negeri sudah limitatif diatur dalam Pasal70Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999.

Sebelumnya Mahkamah Agung RI juga berpendapat sama, seperti dapat diikuti dalam perkara PT Padjadjaran Indah Prima vs PT Pembangunan Perumahan No 729 K/Pdt.Sus/2008, Mahkamah Agung RI dalam pertimbangannya menyatakan, antara lain berpendapat : Bahwa Judex Facti yang membatalkan Putusan BANI a quo tanpa memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah salah menerapkan hukum sebab alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut telah dirinci secara limitatif sebagai berikut : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Bahwa alasanalasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan (dalam perkara pidana) dan diluar alasan tersebut, permohonan pembatalan harus dinyatakan tidak dapat diterima.” .

Mahkamah Agung RI kemudian memutuskan: Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sumedang No. 10/Pdt.G/2008/PN.SMD tanggal 12 Juni 2008 dan menguatkan Putusan BANI No. 03/2007/BANI/Bandung tanggal17Maret2008baikdalam konpensi maupun rekonpensi.

Akhirnya, saya berpendapat bahwa dalam proses arbitrase, apabila ada dua pihak yang mengaku bertindak sebagai termohon misalnya ada dua pihak yang mengaku sebagai pengurus dari suatu perseroan terbatas yang sama, hal tersebut diserahkan kepada majelis arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa itu menentukan termohon sebenarnya. Ini wewenang penuh dari majelis arbitrase yang memeriksa dan memutus perkara arbitrase tersebut.

Kesimpulan

Menurut pendapat hukum saya, alasan Bertentangan Dengan Ketertiban Umum tersebut hanya untuk menolak pelaksanaan (eksekuatur) putusan arbitrase luar negeri dan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (2) dan Pasal 66 huruf c Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 sehingga alasan Bertentangan Dengan Ketertiban Umum tidak dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase karena sudah diatur secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (huruf tebal dari saya).
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3035 seconds (0.1#10.140)