Teologi Antikorupsi

Jum'at, 19 Desember 2014 - 11:09 WIB
Teologi Antikorupsi
Teologi Antikorupsi
A A A
Apakah dasar normatif dan logika keagamaan sehingga korupsi masuk kategori dosa besar (sin ) dan kejahatan besar (crime) menurut agama dan kemanusiaan? Pertanyaan inilah yang saya maksudkan dengan teologi antikorupsi.

Judul ini mestinya ditulis dan dibahas dalam bentuk buku agar pembahasannya lebih mendalam dan serius. Tetapi, menulis buku setidaknya diperlukan waktu enam bulan dengan konsekuensi meninggalkan semua kegiatan lain kecuali membaca dan menulis.

Inilah yang sungguh sulit dilakukan kalangan intelektual Indoneia karena minim dana penelitian agar seseorang bisa fokus pada proyek riset, tanpa harus bekerja yang lain sebagaimana umumnya dilakukan dosen di negara lain misalnya Singapura atau Malaysia. Korupsi yaitu tindakan mengambil hak-hak orang lain. Secara teologis memang ada pandangan pada dasarnya semuainitentusaja milik Allah.

Namun, Allah telah mengamanatkan dan menganugerahkan kepada manusia sehingga kalau seseorang korupsi, berarti melawan tiga pihak. Pertama, melawan Tuhan karena jelas-jelastidakmenaatiperintah-Nya agar tidak mengganggu dan merugikan sesama hamba-Nya. Tuhan menghendaki hamba-Nya hidup bersih dan terhormat, jangan dikotori oleh rezeki yang bukan haknya.

Jangan hak orang lain dicuri. Kedua, mengganggu, mengambil, dan merugikan hak sesama manusia sehingga korupsi merupakan dosa kemanusiaan yang hina. Terdapat hukum moral, jika kita tidak ingin dan tidak mau hak-hak kita dicuri orang, kita juga tidak boleh mencuri hak orang lain.

Ketiga, korupsimerupakandosasosial karena merusak etika dan sistem sosial sehingga bisa mendatangkan kerugian dan kerusakan lebih besar. Bayangkan saja, jika seseorang melakukan korupsi menilap uang pajak atau melakukan korupsi tidak membayar pajak, kehidupan sosial dan pemerintahan bisa keropos dan ambruk. Demikianlah, korupsi tidak saja dosa dari aspek teologis, namun juga sosial dan politik.

Lebih dari itu, karena yang dirugikan korupsi adalah sesama manusia, pertobatannya juga mesti horizontal. Karena harta korupsi diambil dari sesama manusia, permintaan maaf atau pengembaliannya juga kepada sesama manusia. Jika diambil dari kas negara, hasil korupsinya disita negara serta memperoleh hukuman berdasarkan undangundang negara.

Yang menarik jika menyangkut aspek ritual keagamaan. Bila seseorang tidak mampu berpuasa misalnya, bahkan bisa diganti berupa fidyah, sebuah kompensasi materi yang diberikan kepada manusia, terutama fakir-miskin. Sebaliknya, jika seseorang melakukan korupsi, tidak bisa dilunasi dengan ibadah ritual secara vertikal seperti salat atau umrah. Seseorang merasa berbuat dosa, lalu rajin salat atau ibadah haji-umrah, tentu itu bagus untuk memohon ampunan, taubat, keteguhan iman, dan petunjuk kehidupan.

Namun, itu semua belum cukup kalau hatinya belum tergerak untuk melakukan pertobatan horizontal yaitu membersihkan hartanya yang kotor. Bukankah kewajiban membayar zakat dan sedekah bisa diganti dengan memperbanyak salat? Artinya, sekali lagi, ada beberapa kewajiban taat pada Allah yang tidak dapat terpenuhi kecuali dengan melakukan kebajikan terhadap sesama manusia.

Sebagaimana perintah menyembelih hewan kurban. Meski niatnya karena Allah, dagingnya mesti sampai kepada manusia yang sangat memerlukan. Allah tidak memerlukan zakat, sedekah, dan hewan kurban kita. Demikianlah, melakukan korupsi yang jelas-jelas milik sesama manusia berarti melakukan perlawanan terhadap Allah, merugikan sesama manusia, dan merusak sistem sosial.

Ada tiga macam dosa yang mesti ditanggung. Bahkan bisa lebih dari tiga macam dosa yang dilakukan karena seorang koruptor biasanya akan membagi hasil korupsinya kepada keluarga dan temantemannya. Mengingat korupsi berpotensi merusak sistem sosial dan pemerintahan, banyak negara yang kemudian menerapkan hukum dan pengawasan yang ketat tanpa melibat pertimbangan agama.

Hasilnya bahkan cukup mengesankan. Misalnya saja Hong Kong, Singapura, China, dan yang lain, mereka memberantas korupsi demi menjaga tegaknya sistem pemerintahan yang bersih demi melindungi warganya tanpa dalil keagamaan. Di Indonesia yang masyarakatnya religius dan negaranya berketuhanan, sungguh menjadi ironis melihat kenyataan indeks korupsi masih tinggi.

Jangan-jangan karena ada anggapan dan keyakinan bahwa korupsi bisa diputihkan dengan ritual keagamaan? Andaikan anggapan ini betul, kesimpulannya bisa mengagetkan. Negara dan masyarakat sekuler ternyata lebih berhasil memberantas korupsi ketimbang masyarakat dan negara yang beragama. Kelemahannya justru terletak pada pemahaman agama yang permisif pada korupsi dengan keyakinan dosa sosial bisa ditebus dengan ibadah vertikalindividual.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7251 seconds (0.1#10.140)