Ketegangan Ukraina-Rusia

Selasa, 04 Maret 2014 - 14:40 WIB
Ketegangan Ukraina-Rusia
Ketegangan Ukraina-Rusia
A A A
KETEGANGAN antara Ukraina dan Rusia memasuki babak baru dengan pihak Rusia yang tampak kian agresif. Pasukan bersenjata Rusia mulai memasuki wilayah kedaulatan Ukraina.

Crimea menjadi titik panas dari konflik ini. Pulau tersebut memang sudah sejak masa Uni Soviet menjadi pangkalan pasukan mereka untuk menguasai area Laut Hitam dan setelah Ukraina memisahkan diri pada 1991 Rusia tetap menjalankan pangkalannya dengan cara menyewa kepada Ukraina. Sekalipun belum ada satu peluru yang ditembakkan, kepemerintahan Ukraina atas pulau tersebut sudah tidak efektif lagi.

Bahkan bendera Rusia sudah berkibar di atas gedung parlemen lokal di Crimea di Simferopol. Negara baru pun sudah dideklarasikan dan tak tanggung-tanggung, mantan Kepala Staf Angkatan Laut Ukraina Dennys Berezovsky yang baru diangkat pada 1 Maret sudah membelot dari Pemerintah Ukraina. Melihat kondisi ini, konflik bersenjatasudahdi ambang picu senapan.

Namun, apa pun alasannya perang sudah seharusnya tidak lagi menjadi opsi atas ketidaksepahaman dalam relasi antarnegara. Kalaupun Rusia merasa Ukraina yang dianggap sebagai halamannya karena berbagi ribuan kilometer garis perbatasan mulai dikuasai Barat, terutama setelah tergulingnya mantan Presiden Victor F Yanukovich, tetap saja aksi bersenjata tak dapat dibenarkan. Memang dari segi strategi, jatuhnya Yanukovich yang pro-Kremlin oleh aksi protes yang pro-Barat akan membuat persepsi ancaman Rusia berubah.

Jika semula Rusia tak begitu mengkhawatirkan wilayah perbatasannya yang berhimpitan dengan Ukraina yang pro-Kremlin, jatuhnya Yanukovich membuat wilayah Rusia terancam. Para pengamat dan pemimpin-pemimpin dunia mengkhawatirkan Eropa dan seluruh dunia akan masuk pada masa-masa seperti yang terjadi pada zaman Perang Dingin (Cold War). Akan terjadi pengubuan yang sangat kentara dalam bentuk blok Timur dan blok Barat.

Kondisi tersebut jelas akan membawa dunia pada masa-masa kemunduran. Yang perlu diingat adalah saat ini dunia sudah demikian terkoneksi. Kita tidak lagi menghadapi sistem ekonomi dan relasi antarnegarsa seperti pada masa Perang Dingin di mana relasi dua negara tidak akan begitu memengaruhi negara-negara lainnya. Rusia dan Ukraina adalah bagiandari sistem produksi dan ekonomi dunia yang saling melengkapi. Jika bagian besar dari sistem ini terganggu oleh perang, seluruh dunia akan merasakan dampaknya.

Rusia pun sudah bukan lagi negara seperti Uni Soviet yang tertutup dengan sistem komunis dan penduduk yang relatif miskin. Bahkan beberapa riset mengindikasikan jumlah aset miliarder Rusia di luar negeri melebihi USD100 miliar (lebih dari Rp1.000 triliun). Pada tahun 2011 saja para miliarder Rusia membeli properti asing senilai USD11 miliar. Angka yang sangat besar ini tentu menggambarkan betapa ekonomi dunia saling terkoneksi.

Di lain sisi fakta ini juga menjadi sedikit hambatan bagi setiap langkah agresif Putin. Bukti lain betapa saling terkoneksinya dunia adalah keruntuhan pasar modal seiring perkembangan masalah ini yang terus memburuk. Lihat saja terjerembabnya Russian Trading System Cash Index (RTSI) yang memperdagangkan 50 saham paling likuiddi Rusia yang terjun bebas12,01% dan empat menyentuh rekor terendah selama setahun terakhir, sementara indeks komposit di Bursa Moscow (Moscow Exchange) terjun 10,79%.

Tak hanya Rusia yang panik, bursa-bursa dunia pun turut rontok. Lihat saja bursa Jerman (DAX) sempat turun hingga 3%, Inggris (FTSE 100) sempat turun hingga 2%, dan bursa Prancis (CAC 40) sempat terperosok 2,5%. Ancaman-ancaman sudah dilancarkan terhadap Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, termasuk akan dikeluarkannya Rusia dari keanggotaan G-8. Namun tampaknya Putin yang kekuasaannya sangat mengakar di Rusia sama sekali tak goyah.

Mantan agen badan intelijen Rusia KGB tersebut tampaknya sangat yakin akan langkahnya tersebut. Para pemimpin dunia harus mencari solusi agar perang tidak pecah di Ukraina. Harus diadakan perundingan-perundingan yang menghasilkan win-win solution. Eropa dan Amerika Serikat harus sepenuhnya paham bahwa Rusia merasa terancam akan konstelasi yang terjadi pada politik dalam negeri Ukraina.

Di lain pihak Rusia harus berusaha memahami bahwa pencaplokan negara berdaulat sudah bukan masanya lagi dalam dunia modern ini. Indonesia dengan politik bebas aktifnya juga harus turut serta mencari cara mendamaikan masalah ini.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8336 seconds (0.1#10.140)