Bangun Dinasti, Terbitlah Korupsi

Sabtu, 14 Januari 2017 - 16:07 WIB
Bangun Dinasti, Terbitlah Korupsi
Bangun Dinasti, Terbitlah Korupsi
A A A
PAGI itu, Jumat, 30 Desember 2016, Bupati Klaten Sri Hartini terlambat datang ke kantor. Ada sejumlah PNS, honorer, dan swasta, sowan ke rumah dinas bupati menjelang pengukuhan dan pelantikan pegawai baru di Pemkab Klaten tahun 2017.

Pada pagi yang sama, tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendatangi rumah dinas bupati. Bukan untuk bertamu, melainkan untuk menangkap Hartini. KPK mengendus adanya indikasi pemberian suap kepada Bupati Klaten untuk mendapat posisi tertentu di Pemkab yang dipimpinnya. Delapan orang diamankan dalam operasi tangkap tangan itu.

Penangkapan Hartini menambah daftar panjang kepala daerah produk politik dinasti terlibat korupsi. "Sepanjang tahun 2016 KPK melakukan 17 kali tangkap tangan. Empat di antaranya, kepala daerah. Selebihnya, anggota DPR, DPD, DPRD, hakim, panitera, advokat, swasta, hingga kepala dinas," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif dalam sebuah konferensi pers yang digelar sehari setelah penangkapan Hartini.

Rangkaian tangkap tangan kepala daerah dimulai saat KPK meringkus Bupati Subang Ojang Sohandi, 11 April 2016. Ojang kedapatan menyuap jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Uang Rp528 juta digelontorkan agar nama Ojang tidak disebut dalam sidang kasus korupsi anggaran BPJS Kabupaten Subang.

Ojang bukan orang baru di lingkungan Pemkab Subang. Sebelum terjun ke dunia politik, Ojang adalah ajudan pribadi Bupati Subang 2004-2012, Eep Hidayat. Karier politik mulai dilakoninya saat menjabat wakil bupati di periode kedua pemerintahan Eep.

Eep terjerat kasus korupsi dan diberhentikan pada 2011. Posisi Eep diisi Ojang selaku Pelaksana Tugas (Plt) Bupati. Didampingi Imas Aryumningsih sebagai wakil, Ojang terus berkuasa hingga 2018.

Imas adalah mantan rival Ojang di Pilkada sebelumnya. Kala itu, Imas berpasangan dengan artis Primus Yustisio.

Tangkap tangan kembali dilakukan KPK pada 4 September 2016. Kali ini yang disasar Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian.

Ferdian adalah anak kandung Amiruddin Inoed, Plt Bupati Banyuasin periode 2002-2013. Sepertihalnya sang anak, Inoed sudah lebih dahulu berurusan dengan KPK pada 2009. Kala itu, sang Bupati pernah diperiksa dalam penyidikan kasus alih fungsi hutan untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api.

Saat ditangkap Minggu siang itu, Ferdian masih berkumpul dengan keluarga. Dia ditangkap usai menggelar walimatus safar, pengajian melepas kepergiannya dan istri ke Mekkah untuk berhaji.

Ferdian diduga menerima Rp1 miliar untuk memuluskan proyek di Dinas Pendidikan dan dinas lainnya di Kabupaten Banyuasin.

Kerja KPK memburu kepala daerah yang terindikasi melakukan korupsi berlanjut. Kamis, 1 Desember 2016, KPK menangkap Wali Kota Cimahi, Atty Suharti Tochija beserta suaminya Mochamad Itoc Tochija.

Pasangan suami istri (pasutri) ini telah menguasai Cimahi sejak 2002. Itoc
Tochija memimpin Kota Cimahi selama dua periode sebelum dilanjutkan ke tangan sang istri.

Atty diduga menerima suap dari dua pengusaha, Triswara Dhani Brata dan Hendriza Soleh Gunadi untuk melancarkan proyek pembangunan tahap II Pasar Atas Baru, Cimahi tahun 2017. Atty dan Tochija dijanjikan jatah Rp6 miliar dari Rp57 milar total proyek tersebut.

Menutup tahun 2016, KPK menangkap Bupati Klaten 2016-2021, Sri Hartini. KPK menyita Rp2 miliar sebagai barang bukti. KPK menduga, suap diberikan kepada Hartini untuk mengatur pengisian posisi jabatan di Pemkab Klaten.

Di kota ini pemegang tampuk kekuasaan lebih rumit lagi. Urutannya dimulai sejak tahun 2000 ketika Haryanto Wibowo, suami Hartini menjabat Bupati Klaten. Pada 2010, ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunarna, Hartini menjabat sebagai Wakil Bupati. Periode selanjutnya giliran istri Sunarna bernama Sri Mulyani yang menjadi wakil Hartini.

Rawan terlibat korupsi

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, mengatakan, kepala daerah produk politik dinasti cenderung korup. Faktanya, empat kepala daerah yang ditangkap KPK sepanjang 2016 adalah produk politik dinasti.

Dalam tradisi politik dinasti, tutur Ray, suasana membangun kekuasaan untuk tujuan-tujuan besar berbangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dinasti politik disebut Ray kerap mengabaikan kepentingan warga. Ketimpangan ekonomi ditutupi dengan jargon-jargon agama, sopan santun, dan kadang hak asasi demokrasi.

Menurut Ray, dalam jangka panjang, kondisi seperti ini akan menghambat demokratisasi di Indonesia. "Kalau cara politikus ini menggunakan kekuasan tak dibongkar, praktik korupsi akan merajalela," kata Ray kepada SINDOnews beberapa waktu lalu.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, politik dinasti adalah praktik kuno peninggalan rezim Orde Baru.

Dalam praktiknya, politik dinasti mengelola pengaruhnya, baik berbasis pertalian darah maupun kelompok kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan. Setelah kekuasaan digenggam, niscaya korupsi akan menggurita.

Zuhro menuturkan, merebaknya tradisi politik dinasti beserta penyakit bawaannya, korupsi adalah buntut lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan hukum.

Sementara itu perbaikan pola rekrutmen kepala daerah melalui revisi Undang Undang partai politik maupun pemilu, hanya bersifat prosedural.

"Kita tidak menyembuhkan penyakit yang sebenarnya. Revisi berbagai macam undang-undang itu hanya tambal sulam," kata Zuhro.

Praktik politik dinasti juga akibat minimnya pendidikan politik terhadap masyarakat. Pengetahuan politik yang lemah jadi penyebab masyarakat mudah termakan bujuk rayu politikus.

Zuhro pun berpesan agar masyarakat lebih teliti saat memilih pemimpin. Pesan Zuhro menajdi relevan saat sebagian besar rakyat Indonesia akan menghadapi pilkada serentak tahun 2017.

Mesin politik akan mendatangi rakyat. Kemudian merayu. Atau iming-iming palsu. Rakyat harus bersiap, jangan lagi tertipu.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3532 seconds (0.1#10.140)