Konflik di Tanjung Balai Jangan Dianggap Sepele

Sabtu, 30 Juli 2016 - 19:44 WIB
Konflik di Tanjung Balai Jangan Dianggap Sepele
Konflik di Tanjung Balai Jangan Dianggap Sepele
A A A
JAKARTA - Konflik yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada Jumat 29 Juli 2016 malam tidak boleh dianggap sepele. Bukan mustahil pasca kerusuhan itu muncul letupan konflik yang lebih besar dan luas.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq‎ berpendapat, letupan konflik yang lebih besar dan luas‎ bisa menjadi pintu kekacauan politik dan ekonomi baru di negeri ini.

"Apa pasalnya? Pertama, konflik SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) sedang menjadi tren dunia," ujar Mahfudz dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/7/2016).

Dia mengatakan, ‎kekacauan politik di kawasan Timur Tengah yang melibatkan beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat telah memunculkan kekuatan teror baru yang menakutkan, yaitu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). (Baca juga: Ini Kronologi Kerusuhan di Tanjung Balai)

Dia menambahkan, buah dari rangkaian aksi teror yang terus berlanjut adalah menguatnya sentimen negatif terhadap Islam dan umat islam.

Hal demikian dianggapnya tercermin dari sikap politik kelompok ultra nasionalis di beberapa negara Eropa, dan meningkatnya tekanan terhadap kelompok muslim di India dan China misalnya.

Menurut dia, ada semacam cipta kondisi global untuk memosisikan Islam dan umat Islam sebagai musuh bersama. "Pada saat yang sama ISIS dan unsur-unsur pendukungnya terus melakukan serangan terhadap siapapun yang dianggap lawan," tuturnya.

Kemudian yang kedua, menguatnya posisi dan peran politik kelompok minoritas yang mengusung isu antikemapanan. (Baca juga: FKUB Minta Masyarakat Menahan Diri)

Dia menuturkan, keberhasilan partai politik ultra nasionalis menguasai pemerintahan dan mengubah kebijakan pemerintahan di sejumlah negara Eropa menjadi bukti nyata. Contohnya di Polandia, Italia dan juga kemenangan Brexit di Inggris. "Kekuatan politik ini diprediksi akan mengusung isu yang berakibat meningkatnya konflik SARA di berbagai negara," katanya.

Lalu ketiga, kata dia, dalam konteks domestik Indonesia, kedua hal tersebut juga sedang terjadi. Menurut dia, isu terorisme semakin menguat dan tidak bisa dipungkiri bahwa isu ini menggiring opini bahwa Islam maupun umat islam sebagai ancaman.

Keempat, menurut dia, harus diakui Indonesia menyimpan riwayat konflik SARA yang panjang dan tetap menjadi bahaya laten. Faktor kesenjangan sosial ekonomi dinilainya tetap menjadi pemicu paling mendasar.

Kelima, dia berpendapat, yang perlu dicermati serius juga mengenai munculnya gejala arogansi dan kontroversi kebijakan yang dipersepsikan oleh unsur mayoritas sebagai upaya untuk memenangkan agenda unsur minoritas. "Sebut saja kontroversi penghilangan kolom agama di KTP, penghapusan perda syariah," ucapnya.

Menurut dia, ‎lima faktor skala global dan domestik itu bisa bercampur-aduk sedemikian rupa. Apalagi kondisi tersebut berjalan di atas realitas keberagaman masyarakat Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi yang menguat akibat problem ekonomi yang semakin berat, riwayat panjang konflik bernuansa SARA, dan munculnya model kepemimpinan serta kebijakan yang dipersepsi sebagai pertarungan minoritas versus mayoritas.

Mahfudz meminta ‎pemerintah segera melakukan dua hal terkait konflik berbau SARA di Tanjung Balai. Pertama, kata dia, menegakkan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dan bertanggung jawab atas kasus tersebut. Kedua, melakukan langkah pencegahan meluasnya konflik tersebut ke daerah lain.

"Konflik SARA di Tanjung Balai tidak boleh dianggap sepele. Ada potensi letupan konflik yang lebih besar dan luas," tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6964 seconds (0.1#10.140)