Memikirkan Kembali Arah Penanganan Narkoba di Indonesia

Kamis, 20 Agustus 2015 - 08:02 WIB
Memikirkan Kembali Arah...
Memikirkan Kembali Arah Penanganan Narkoba di Indonesia
A A A
AKBP Kristian Siagian SIK MSI
Kepala Tim Narcotic Investigation Centre Direktorat Tindak Pidana Bareskrim Polri

Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki permasalahan dengan narkoba. Namun, harus diakui bahwa pola penanganan yang dilakukan di negeri kita masih jauh dari harapan dan malah tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga.

Sejarah penanganan permasalahan narkoba sejak masa Orde Baru belum mampu menekan angka penyalahgunaan. Sebaliknya, trennya justru meningkat. Secara umum pola penanganan narkoba di Tanah Air saat ini berpusat pada tiga pilar utama yaitu penegakan hukum, pencegahan, dan rehabilitasi. Polri fokus kepada upaya penegakan hukum dan sejak 2009 ditambah dengan kehadiran BNN.

Pencegahan dan rehabilitasi tersebar di beberapa instansi seperti BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial. Pola seperti ini mengadopsi pola yang ada di berbagai negara meski tidak semua negara berhasil mengintegrasikan tiga upaya tersebut. Amerika Serikat (AS) misalnya. Walau telah mendeklarasikan ”War on Drugs” sejak era kepemimpinan Richard Nixon, AS hingga kini belum mampu mengatasi permasalahan narkoba di negerinya. Upaya penegakan hukum yang terlalu dikedepankan dituding sebagai pangkal persoalan.

Di sisi lain, Portugal yang mengedepankan upaya dekriminalisasi dan rehabilitasi pencandu narkoba sejak 2001 secara konsisten dianggap sukses melakukan manajemen penanganan narkoba. Adapun di Indonesia, arah penanganan narkoba masih dipandang sebagai permasalahan hukum walaupun mulai ada pergeseran dengan melihat permasalahan ini sebagai permasalahan kesehatan. Dalam kaitan ini, penulis sepakat melihat permasalahan narkoba memiliki dimensi kesehatan yang harus dipertimbangkan.

Para pengguna narkoba yang sesungguhnya menjadi konstruksi dasar dari entitas permasalahan, melakukan perbuatan mengonsumsi narkoba sebagai sebuah perbuatan konsensus pribadi yang melekat pada hak-hak pribadi individu. Karena itu, penekanan kepada upaya hukum semata seringkali tidak efektif dan kadang terkesan kontraproduktif dengan upaya penanganan yang dijalankan melalui rehabilitasi maupun pencegahan.

Dalam faktanya, aturan hukum bahkan sangat mungkin tertinggal dengan dinamika perkembangan penyalahgunaan narkoba. Sebagai contoh nyata adalah kelemahan keseluruhan instrumen penegakan hukum dalam mengantisipasi peredaran dan penggunaan jenis-jenis narkoba khususnya narkoba sintetik yang tidak masuk dalam kelompok yang diatur peredarannya (dikenal dengan istilah new psychoactive substance, designer drugs, dan sebagainya).

Dalam penyalahgunaan obatobatan yang mengandung narkotika maupun psikotropika, aparat penegak hukum sesungguhnya mengalami kesulitan untuk mengawasi penjualan online obatobatan yang secara kategori termasuk jenis yang legal dan dipergunakan untuk berbagai keperluan medis. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan banyak pihak dan negara kemudian beralih kepada upaya rehabilitasi.

Namun, hal ini juga tidak serta-merta mampu mengeliminasi angka penyalahgunaan narkoba yang bisa berujung pada bangkrutnya para bandar. Berkaca kepada Portugal, dekriminalisasi yang diterapkan bukan sekadar mengubah aturan hukum, namun perlu dibarengi intensifikasi rehabilitasi, pencegahan, dan penegakan hukum itu sendiri. Setidaknya hal ini tergambar pada peningkatan postur anggaran penanganan narkoba, bukan dalam aspek rehabilitasinya semata.

Secara sederhana, peningkatan anggaran bisa menjadi identifikasi keseriusan pemerintah menangani kasus narkoba. Namun, sebagaimana dalam metode adopsi sebuah aturan atau kebijakan ke dalam sistem kenegaraan, diperlukan pola penyesuaian dengan konteks dan dinamika berbagai aspek yang ada di negara tersebut (Indonesia). Salah satu hambatan yang paling nyata adalah aspek perencanaan yang terkesan trial and error, tanpa memahami permasalahan yang sesungguhnya.

Sebagai contoh adalah kampanye kebijakan rehabilitasi yang digaungkan bagi 100.000 pencandu pada 2015. Penulis memandang kelemahan utama adalah pada kesiapan sarana dan prasarana rehabilitasi, termasuk personel. Belum lagi kritikan terhadap basis data yang berpotensi mengaburkan ketepatan langkah yang diambil. Dari sisi aturan hukum, masih menimbulkan interpretasi, khususnya argumentasi terkait pasal yang membuat sulitnya seorang pencandu mendapatkan akses rehabilitasi.

Pernyataan yang menyatakan bahwa UU No 35/2009 tentang Narkotika sudah tepat dan tidak perlu direvisi sepertinya masih harus dipertimbangkan. Setidaknya, fakta masih ada perbedaan penafsiran dan penerapannya menjadikan revisi terhadap undang-undang ini menjadi satu titik yang krusial.

Hingga saat ini praktik ”perdagangan” pasal tertentu dalam UU Narkotika masih kerap ditemui di semua tahapan pemeriksaan, menunjukkan masih besarnya peluang bagi oknum tertentu mengambil keuntungan. Instansi dan pihak terkait, termasuk badan legislatif seyoganya menempatkan revisi undang-undang sebagai prioritas.

*** Terkait dengan hal ini, penerapan dekriminalisasi bukan berjalan tanpa ekses negatif. Dekriminalisasi bisa digunakan sebagai proses awal terbukanya jalan bagi legalisasi penggunaan narkoba, baik jenis tertentu maupun untuk jumlah tertentu. Hal ini patut diwaspadai mengingat selalu hadirnya kelompok-kelompok tertentu yang melakukan komersialisasi dan mengambil untung seperti di negeri Belanda dengan kehadiran ”coffee shop” yang memperdagangkan ganja.

Hal yang kurang lebih serupa juga terjadi pada komoditas rokok dan minuman keras. Rokok saat ini menjadi komoditas yang diperdagangkan secara legal, dijalankan oleh pengusaha dengan kapital yang kuat, diromantisasi oleh iklan. Menjadi pertanyaan, apakah pola seperti ini dapat terjadi pada narkoba bila legalisasi terjadi? Dalam analisis lebih jauh, perlu juga diungkapkan hubungan antara keberadaan fasilitas rehabilitasi (swasta) dan kecenderungan adiksi penyalahgunaan narkoba dengan dekriminalisasi atau legalisasi.

Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk rehabilitasi bila ternyata dekriminalisasi atau legalisasi mengakibatkan semakin banyak orang yang menjadi adiksi narkoba? Masih menyangkut kepada aspek perencanaan, upaya pencegahan menjadi salah satu contoh lemahnya pemilihan metode yang digunakan dalam membangun kesadaran publik terhadap kemampuan menolak penyalahgunaan narkoba.

Sesuai dengan misi yang diemban, pencegahan narkoba adalah ditujukan pada penyiapan masyarakat dan generasi yang bebas dari penyalahgunaan narkoba. Namun, dalam kenyataannya, program pencegahan sebatas berbentuk sosialisasi dan seremonial. Sebaliknya, lemah aspek pembangunan karakter dan kesinambungan program. Selain itu, integrasi dan sinergi program jarang sekali terjadi. Akibatnya, upaya pencegahan berjalan parsial.

Sebaiknya instansi dan pihak terkait duduk bersama merumuskan pola pencegahan yang memberikan ruang partisipasi bagi kelompok sasaran pencegahan (remaja, pelajar, dan orang tua). Setidaknya perlu dipertanyakan, apakah dilakukan penelitian terlebih dahulu atas aspirasi dan situasi sesungguhnya dari kelompok sasaran tersebut. Ataukah, program pencegahan sekadar dijalankan terpaku pada angkaangka (aspek anggaran dan output kelompok sasaran) tanpa memperhatikan karakter outcome dari sebuah upaya pencegahan. Keseriusan dalam perencanaan dan konsistensi dalam pelaksanaan sepertinya harus menjadi kata kunci.

Perlu pembenahan segera mengingat peredaran dan penyalahgunaan narkoba terus berjalan dan mengambil korban anak-anak bangsa kita. Sejarah akan mencatat keegoisan dari para pendahulunya.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0531 seconds (0.1#10.140)