Masalah Tanggung Jawab Korporasi dalam KUHP UU No 1/2023
loading...
A
A
A
ROMLI ATMASASMITA
Guru BesarEmeritus Universitas Padjadjaran
Fungsi dan peranan korporasi ketika KUHP diberlakukan tahun 1958 di seluruh Indonesia dan sejak masuknya investasi modal asing pascaratifikasi perjanjian perdagangan bebas tahun 1974 sangat jauh berbeda baik dari aspek pengaturan maupun aspek pertanggungjawabannya.
Perbedaan mencolok mengenai status hukum korporasi selama masa 1958 hingga 2007, bahwa korporasi hanya bertanggung jawab sebatas pertanggungjawaban keperdataannya. Namun, setelah berlakunya UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, korporasi dapat diminta pertanggungjawaban baik secara perdata maupun secara pidana (Pasal 155).
Di dalam KUHP 1946, tidak mengatur secara khusus pertanggungjawaban pidana korporasi. Di sana hanya menegaskan bahwa untuk tujuan tersebut harus dikaji teliti siapa-siapa pengurus yang beriktikad tidak baik atau yang tidak ikut serta dalam perbuatan pidana.
Pada Pasal 155 UU No 40/2007 ditegaskan bahwa pengurus dapat diminta pertanggungjawaban baik secara perdata maupun pidana. Namun, dalam hal pertanggungjawaban pidana tidak secara spesifik dijelaskan bagaimana cara pertanggungjawaban pengurus harus dilakukan, kecuali pertanggungjawaban keperdataan.
Menarik bahwa pembentuk UU No 40/2007 telah membuat rumusan yang negatif, di dalam Pasal 97 ayat (5); dinyatakan bahwa, anggota dewan direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan jika antara lain, tidak melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, perbuatan dewan direksi telah menimbulkan kerugian pada korporasi karena kesalahannya atau kelalaiannya.
Kemudian, dewan direksi tidak melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. Selain itu, tidak mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Kelima syarat tersebut merupakan imunitas dewan direksi dari pertanggungjawaban keperdataan dan harus ditafsrikan secara kumulatif. Berbeda halnya pertanggungjawaban pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP UU No 1 tahun 2023, yang dirumuskan secara alternatif/kumulatif.
Disebutkan bahwa alasan pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu; a) Jika tindakan korporasi dilakukan dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi; b) Menguntungkan korporasi secara melawan hukum; c) Diterima sebagai kebijakan korporasi; d) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuham terhadap letentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan atau e) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
Implikasi yuridis dari berlakunya ketentuan tersebut harus ditafsirkan secara alternatif-kumulatif yang bersifat limitatif. Implikasi yuridis dari berlakunya ketentuan mengenai tanggung jawab pidana korporasi, di dalam Pasal 45 sd Pasal 50 UU No 1 /2023 KUHP adalah diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada parastakeholderskorporasi bahwa tanggung jawab pidana korporasi tidak akan lagi disamakan dengan tanggung jawab keperdataan versi UU No 40/2007.
Keadaan hukum sedemikian seiring dengan pertanggungjawaban korporasi yang terlibat tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yaitu bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya (alternatif kumulatif).
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi maka korporasi terus diwakili oleh pengurus. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
Selain dengan masalah pertanggungjawaban pidana korporasi pada korporasi atau pengurus atau pengendali atau pemilik manfaat, dalam KUHP telah diatur alasan pemaaf dan alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pengurus yang memiliki kedudukan fungsional (functioeel -dader), pemberi perintah, pemegang kendali dan/atau pemilik manfaat korporasi.
Ketentuan penting lain dalam hal pertanggungajawaban pidana korporasi yaitu pemidanaan wajib mempertimbangkan sepuluh faktor sebelum menjatuhkan putusan antara lain, tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan, rekam jejak korporasi melakukan usaha dan nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dan pengaruh pemidanaan terhadap korporasi.
Berdasarkan kesepuluh pertimbangan tersebut tampak bahwa Pembentuk UU No 1/2023, kini korporasi di masa depan akan merasa lapang dada mempertanggungjawabkan secara pidana seluruh perbuatan untuk dan demi kepentingan korporasi tanpa ada kekhawatiran tiba-tiba ditetapkan tersangka dalam hal tindak pidana korupsi.
Dengan demikian korporasi sebagai subjek hukum danlegal standingyang kuat dalam menghadapi tuduhan korupsi termasuk melindungi baik aset korporasi maupun aset-aset para pengurusnya.
Penguatan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana dipersamakan dengan subjek hukum perorangan tentunya akan memperkuat iklim usaha yang bebas dariunfair trialbusiness practicesdi Indonesia dan dengan demikian mendukung upaya pemerintah melalui UU No 1/2023 dan Perpu No 2/2022.
Guru BesarEmeritus Universitas Padjadjaran
Fungsi dan peranan korporasi ketika KUHP diberlakukan tahun 1958 di seluruh Indonesia dan sejak masuknya investasi modal asing pascaratifikasi perjanjian perdagangan bebas tahun 1974 sangat jauh berbeda baik dari aspek pengaturan maupun aspek pertanggungjawabannya.
Perbedaan mencolok mengenai status hukum korporasi selama masa 1958 hingga 2007, bahwa korporasi hanya bertanggung jawab sebatas pertanggungjawaban keperdataannya. Namun, setelah berlakunya UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, korporasi dapat diminta pertanggungjawaban baik secara perdata maupun secara pidana (Pasal 155).
Di dalam KUHP 1946, tidak mengatur secara khusus pertanggungjawaban pidana korporasi. Di sana hanya menegaskan bahwa untuk tujuan tersebut harus dikaji teliti siapa-siapa pengurus yang beriktikad tidak baik atau yang tidak ikut serta dalam perbuatan pidana.
Pada Pasal 155 UU No 40/2007 ditegaskan bahwa pengurus dapat diminta pertanggungjawaban baik secara perdata maupun pidana. Namun, dalam hal pertanggungjawaban pidana tidak secara spesifik dijelaskan bagaimana cara pertanggungjawaban pengurus harus dilakukan, kecuali pertanggungjawaban keperdataan.
Menarik bahwa pembentuk UU No 40/2007 telah membuat rumusan yang negatif, di dalam Pasal 97 ayat (5); dinyatakan bahwa, anggota dewan direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan jika antara lain, tidak melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, perbuatan dewan direksi telah menimbulkan kerugian pada korporasi karena kesalahannya atau kelalaiannya.
Kemudian, dewan direksi tidak melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian. Selain itu, tidak mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Kelima syarat tersebut merupakan imunitas dewan direksi dari pertanggungjawaban keperdataan dan harus ditafsrikan secara kumulatif. Berbeda halnya pertanggungjawaban pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP UU No 1 tahun 2023, yang dirumuskan secara alternatif/kumulatif.
Disebutkan bahwa alasan pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu; a) Jika tindakan korporasi dilakukan dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi; b) Menguntungkan korporasi secara melawan hukum; c) Diterima sebagai kebijakan korporasi; d) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuham terhadap letentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan atau e) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
Implikasi yuridis dari berlakunya ketentuan tersebut harus ditafsirkan secara alternatif-kumulatif yang bersifat limitatif. Implikasi yuridis dari berlakunya ketentuan mengenai tanggung jawab pidana korporasi, di dalam Pasal 45 sd Pasal 50 UU No 1 /2023 KUHP adalah diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada parastakeholderskorporasi bahwa tanggung jawab pidana korporasi tidak akan lagi disamakan dengan tanggung jawab keperdataan versi UU No 40/2007.
Keadaan hukum sedemikian seiring dengan pertanggungjawaban korporasi yang terlibat tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yaitu bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya (alternatif kumulatif).
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi maka korporasi terus diwakili oleh pengurus. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
Selain dengan masalah pertanggungjawaban pidana korporasi pada korporasi atau pengurus atau pengendali atau pemilik manfaat, dalam KUHP telah diatur alasan pemaaf dan alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pengurus yang memiliki kedudukan fungsional (functioeel -dader), pemberi perintah, pemegang kendali dan/atau pemilik manfaat korporasi.
Ketentuan penting lain dalam hal pertanggungajawaban pidana korporasi yaitu pemidanaan wajib mempertimbangkan sepuluh faktor sebelum menjatuhkan putusan antara lain, tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan, rekam jejak korporasi melakukan usaha dan nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dan pengaruh pemidanaan terhadap korporasi.
Berdasarkan kesepuluh pertimbangan tersebut tampak bahwa Pembentuk UU No 1/2023, kini korporasi di masa depan akan merasa lapang dada mempertanggungjawabkan secara pidana seluruh perbuatan untuk dan demi kepentingan korporasi tanpa ada kekhawatiran tiba-tiba ditetapkan tersangka dalam hal tindak pidana korupsi.
Dengan demikian korporasi sebagai subjek hukum danlegal standingyang kuat dalam menghadapi tuduhan korupsi termasuk melindungi baik aset korporasi maupun aset-aset para pengurusnya.
Penguatan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana dipersamakan dengan subjek hukum perorangan tentunya akan memperkuat iklim usaha yang bebas dariunfair trialbusiness practicesdi Indonesia dan dengan demikian mendukung upaya pemerintah melalui UU No 1/2023 dan Perpu No 2/2022.
(ynt)