PERSI Sambut Baik Penetapan Biaya Tertinggi Rapid Test Rp150.000
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) , Lia G Partakusuma menyambut baik kebijakan Kementerian Kesehatan yang menetapkan biaya rapid test sebesar Rp150.000. "Kami dari rumah sakit seluruh Indonesia sebetulnya merespons baik atas adanya kebijakan yang menyatakan bahwa harusnya ada harga tertinggi dari layanan untuk pemeriksaan rapid test," kata Lia di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Senin (13/7/2020).
Lia menjelaskan kenapa biaya rapid test cukup mahal sebelum ditetapkan oleh Kemenkes. Ia mengatakan bahwa rapid test awal mulanya adalah pemeriksaan cepat untuk menemukan kasus COVID-19 di tengah masyarakat.
"Jadi sebenarnya disebut rapid test ini adalah pemeriksaan antibodi yang dilakukan secara cepat. Sebetulnya yang perlu kita pelajari itu apa di balik itu, sebetulnya. Sebuah pemeriksaan ini gunanya sebetulnya kalau kita bisa pahami adalah untuk memutus rantai penularan. Jadi artinya kalau kita lihat di masa pandemi seperti ini, COVID-19 itu kan suatu penyakit infeksi, bagaimana caranya agar kita bisa meyakinkan bahwa ini orang ini berpotensi untuk menularkan, tentu harus kita deteksi," kata Lia.( )
Ia mengatakan, dalam pemeriksaan mendeteksi bahwa seseorang punya potensi membawa virus COVID-19, maka dilakukanlah pemeriksaan dan dilakukan isolasi. "Dan nanti kita bisa melakukan isolasi agar dia tidak berpindah-pindah tempat. Dia akan dilokalisir di suatu tempat dan akhirnya kita bisa memutuskan rantai penularan. Itu sebenarnya tujuan awalnya," katanya.
Waktu awal COVID-19, rapid test, kata Lia, digunakan untuk diagnosa, untuk deteksi pembawa virus ini. Namun, pemeriksaan atau jenis pemeriksaan ini sangat terbatas. "Sementara permintaan begitu banyak tetapi yang ada terbatas, sehingga itulah menyebabkan mungkin harga itu tidak terkontrol. Jadi variasi harga mungkin kami juga paham bahwa akhirnya masyarakat menjadi cemas dan menjadi bingung kenapa kamu jadi mahal. Terutama untuk yang mau berpergian itu," katanya.
Pemeriksaan mahal tersebut, kata Lia, karena dalam pemeriksaan COVID-19 ini terdiri dari beberapa komponen. "Nah, jadi intinya pemeriksaan ini, kan terdiri dari komponen. Jadi yang pertama harga reagen sendiri. Kemudian yang kedua kalau misalnya kita gunakan jarum suntiknya untuk antibodi ini, karena dianggap pasang sensitivity-nya lebih tinggi, daripada kalau kita ambil di ujung jari. Kemudian mungkin ada alkohol, kapasnya kemudian ada orang yang menggunakan alat pelindung dirinya dan sebagainya. Jadi komponen harga atau serabut dari berbagai macam komponen termasuk mungkin jasa pelayanan," katanya.( )
Jadi, kata Lia, sebelumnya ada yang memberikan patokan harga tinggi untuk pemeriksaan COVID-19, itu karena komponen pemeriksaan yang banyak. "Buat rumah sakit kalau lah ada patokan mengenai berapa sih sebetulnya reagensia itu yang layak diberikan dari rumah sakit, tentu dari kami akan menjadi lebih aman. Termasuk APD-nya, mungkin nanti apalagi komponen dari pemeriksaan ini bisa dikendalikan tentu rumah otomatis rumah sakit akan bersedia untuk mengikuti itu," katanya.
Lia menjelaskan kenapa biaya rapid test cukup mahal sebelum ditetapkan oleh Kemenkes. Ia mengatakan bahwa rapid test awal mulanya adalah pemeriksaan cepat untuk menemukan kasus COVID-19 di tengah masyarakat.
"Jadi sebenarnya disebut rapid test ini adalah pemeriksaan antibodi yang dilakukan secara cepat. Sebetulnya yang perlu kita pelajari itu apa di balik itu, sebetulnya. Sebuah pemeriksaan ini gunanya sebetulnya kalau kita bisa pahami adalah untuk memutus rantai penularan. Jadi artinya kalau kita lihat di masa pandemi seperti ini, COVID-19 itu kan suatu penyakit infeksi, bagaimana caranya agar kita bisa meyakinkan bahwa ini orang ini berpotensi untuk menularkan, tentu harus kita deteksi," kata Lia.( )
Ia mengatakan, dalam pemeriksaan mendeteksi bahwa seseorang punya potensi membawa virus COVID-19, maka dilakukanlah pemeriksaan dan dilakukan isolasi. "Dan nanti kita bisa melakukan isolasi agar dia tidak berpindah-pindah tempat. Dia akan dilokalisir di suatu tempat dan akhirnya kita bisa memutuskan rantai penularan. Itu sebenarnya tujuan awalnya," katanya.
Waktu awal COVID-19, rapid test, kata Lia, digunakan untuk diagnosa, untuk deteksi pembawa virus ini. Namun, pemeriksaan atau jenis pemeriksaan ini sangat terbatas. "Sementara permintaan begitu banyak tetapi yang ada terbatas, sehingga itulah menyebabkan mungkin harga itu tidak terkontrol. Jadi variasi harga mungkin kami juga paham bahwa akhirnya masyarakat menjadi cemas dan menjadi bingung kenapa kamu jadi mahal. Terutama untuk yang mau berpergian itu," katanya.
Pemeriksaan mahal tersebut, kata Lia, karena dalam pemeriksaan COVID-19 ini terdiri dari beberapa komponen. "Nah, jadi intinya pemeriksaan ini, kan terdiri dari komponen. Jadi yang pertama harga reagen sendiri. Kemudian yang kedua kalau misalnya kita gunakan jarum suntiknya untuk antibodi ini, karena dianggap pasang sensitivity-nya lebih tinggi, daripada kalau kita ambil di ujung jari. Kemudian mungkin ada alkohol, kapasnya kemudian ada orang yang menggunakan alat pelindung dirinya dan sebagainya. Jadi komponen harga atau serabut dari berbagai macam komponen termasuk mungkin jasa pelayanan," katanya.( )
Jadi, kata Lia, sebelumnya ada yang memberikan patokan harga tinggi untuk pemeriksaan COVID-19, itu karena komponen pemeriksaan yang banyak. "Buat rumah sakit kalau lah ada patokan mengenai berapa sih sebetulnya reagensia itu yang layak diberikan dari rumah sakit, tentu dari kami akan menjadi lebih aman. Termasuk APD-nya, mungkin nanti apalagi komponen dari pemeriksaan ini bisa dikendalikan tentu rumah otomatis rumah sakit akan bersedia untuk mengikuti itu," katanya.
(abd)