Kasus Bank Swadesi, Kuasa Hukum Ungkap Kejanggalan Penyidikan Bareskrim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kuasa hukum 20 tersangka mantan direksi, komisaris, dan pegawai Bank Swadesi mengeluhkan penyidikan kasus yang dialami kliennya. Fransisca Romana, kuasa hukum membeberkan sejumlah kejanggalan yang diduga dilakukan oknum penyidik di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri dalam kasus dugaan tindak pidana perbankan lelang aset milik debitur wanprestasi PT Ratu Kharisma atas nama Kishore Kumar Pridhnani.
“Kami akan meminta perlindungan hukum kepada Propam Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Hukum DPR, dan Kementerian Keuangan atas berbagai kejanggalan yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik dalam menyidik kasus ini,” kata Fransisca dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (13/7/2020).
Fransisca menjelaskan, kasus ini awalnya ditangani Polda Bali pada 2011 atas laporan Rita Kishore. Kemudian penyidikan kasus ini dihentikan dengan keluarnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) pada 14 Juni 2014. (Baca juga: Hakim Pengadilan Tinggi Beberkan Cara Menyusun Memori Banding Hingga PK)
Namun penyidikan kembali dibuka pada 2017. Ini setelah Pengadilan Negeri Denpasar lewat putusan praperadilan mengabulkan permohonan debitur. Pertimbangan hukumnya, penyidik akan mendalami apakah ada unsur kesengajaan atau benturan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat lelang dalam penentuan limit lelang yang terlalu rendah dari harga pasar.
“Hakim praperadilan jelas memberi petunjuk kepada penyidik untuk mendalami apakah ada unsur kesengajaan atau benturan kepentingan dalam penurunan nilai agunan limit lelang,” ujar Fransisca. (Baca juga: HUT Bhayangkara, Jokowi Sampaikan 7 Instruksi)
Namun yang terjadi kemudian, pada 2018 kasus ini ditarik ke Bareskrim Polri. Penyidik Direktorat Tipideksus kemudian menetapkan 20 tersangka yang notabene adalah mantan direksi, komisaris, maupun pegawai yang telah pensiun dari Bank Swadesi.
Mengacu pada petunjuk hakim praperadilan, lanjut Fransisca, seharusnya penyidik memeriksa semua pihak yang terlibat dalam proses lelang. Baik itu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Lelang (KPKNL) sebagai penyelenggara lelang, appraisal independen, kreditur, debitur, serta peserta lelang.
Hanya saja sejak kasus ini ditarik Bareskrim pada 2018, penyidik tidak pernah menggali keterangan secara utuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses lelang. Penyidik hanya memeriksa saksi dari KPKNL, debitur maupun kreditur.
Adapun PT Kawira Pratama dan PT Index Consultindo sebagai appraisal independen tidak pernah diperiksa. Begitu pula dari 14 peserta lelang hanya 4 peserta yang dimintai keterangan.
Padahal lelang dilakukan secara terbuka sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang serta tercatat dalam risalah lelang yang diterbitkan KPKNL. “Aneh jika appraisal independen yang menaksir dan menentukan nilai likuidasi aset lelang tidak diperiksa. Petunjuk hakim praperadilan kan jelas untuk mendalami benturan kepentingan dalam proses lelang,” tutur Fransisca.
Kejanggalan lain adalah penyidik tidak pernah mempertimbangkan putusan pengadilan tahun 2016 yang memvonis bebas murni petugas KPKNL Usman Arif Murtopo, atas dugaan penyalahgunaan wewenang sebagaimana laporan Rita Kishore. “Kami jadi bertanya-tanya ada apa antara penyidik dan debitur wanprestasi ini,” ucapnya.
Kejanggalan lainnya adalah kesaksian saksi ahli, Nindyo Pramono yang dihadirkan debitur pada sidang praperadilan guna mementahkan upaya SP3 Polda Bali. Kesaksian itu justru dipakai kembali oleh penyidik untuk memperkuat argumen hukum dalam penetapan ke 20 tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri.
Pakar Hukum Perbankan Yunus Husen yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam gekar perkara kasus ini, akhir pekan lalu mengingatkan Bareskrim Polri untuk tidak memaksakan sebuah perkara perdata masuk ke ranah pidana. Mantan Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) ini menegaskan bahwa penanganan sebuah perkara perdata harus diselesaikan pula secara perdata.
Yunus memberi pandangan kepada penyidik terkait penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menjerat ke-20 tersangka. Ia menilai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh para tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bukanlah ranah pidana, melainkan kesalahan administrasi yang bisa diperbaiki melalui kesepakatan kedua pihak yang berperkara.
“Jadi pasal 49 itu tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan, tapi langkah yang di perintahkan oleh otoritas dalam hal ini BI atau OJK,” jelas Yunus.
Kasus ini bermula pada Maret dan Juni 2008, di mana debitur Ratu Kharisma mendapatkan fasilitas kredit dari Bank Swadesi sejumlah Rp10,5 miliar dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter persegi di daerah Seminyak, Bali. Baru membayar angsuran dan bunga Rp300 juta, debitur lalai atas kewajibannya. Tercatat sejak Juni 2009 tidak lagi membayar bunga dan angsuran.
Setelah diberitahukan, peringatan, dan pemutusan kredit, bank mengajukan lelang umum di KPKNL Denpasar. Hasilnya aset tersebut laku dilelang dengan nilai Rp6,386 miliar melalui lima kali proses lelang. Bahkan saat lelang keempat, debitur meminta kreditur melakukan utang hapus Rp5 miliar sesuai putusan hakim dalam gugatan wanprestasi yang mewajibkan debitur membayar utang Rp 5 miliar, selisih dari nominal utang dipotong nilai aset yang dilelang
Namun pihak Rita tidak puas karena nilai lelang jauh di bawah nilai pasar. Setelah melalui proses panjang, akhirnya Rita melaporkan komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Bali atas dugaan melakukan tindak pindana perbankan (tipibank) yang saat ini ditangani Bareskrim Polri.
“Kami akan meminta perlindungan hukum kepada Propam Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Hukum DPR, dan Kementerian Keuangan atas berbagai kejanggalan yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik dalam menyidik kasus ini,” kata Fransisca dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (13/7/2020).
Fransisca menjelaskan, kasus ini awalnya ditangani Polda Bali pada 2011 atas laporan Rita Kishore. Kemudian penyidikan kasus ini dihentikan dengan keluarnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) pada 14 Juni 2014. (Baca juga: Hakim Pengadilan Tinggi Beberkan Cara Menyusun Memori Banding Hingga PK)
Namun penyidikan kembali dibuka pada 2017. Ini setelah Pengadilan Negeri Denpasar lewat putusan praperadilan mengabulkan permohonan debitur. Pertimbangan hukumnya, penyidik akan mendalami apakah ada unsur kesengajaan atau benturan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat lelang dalam penentuan limit lelang yang terlalu rendah dari harga pasar.
“Hakim praperadilan jelas memberi petunjuk kepada penyidik untuk mendalami apakah ada unsur kesengajaan atau benturan kepentingan dalam penurunan nilai agunan limit lelang,” ujar Fransisca. (Baca juga: HUT Bhayangkara, Jokowi Sampaikan 7 Instruksi)
Namun yang terjadi kemudian, pada 2018 kasus ini ditarik ke Bareskrim Polri. Penyidik Direktorat Tipideksus kemudian menetapkan 20 tersangka yang notabene adalah mantan direksi, komisaris, maupun pegawai yang telah pensiun dari Bank Swadesi.
Mengacu pada petunjuk hakim praperadilan, lanjut Fransisca, seharusnya penyidik memeriksa semua pihak yang terlibat dalam proses lelang. Baik itu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Lelang (KPKNL) sebagai penyelenggara lelang, appraisal independen, kreditur, debitur, serta peserta lelang.
Hanya saja sejak kasus ini ditarik Bareskrim pada 2018, penyidik tidak pernah menggali keterangan secara utuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses lelang. Penyidik hanya memeriksa saksi dari KPKNL, debitur maupun kreditur.
Adapun PT Kawira Pratama dan PT Index Consultindo sebagai appraisal independen tidak pernah diperiksa. Begitu pula dari 14 peserta lelang hanya 4 peserta yang dimintai keterangan.
Padahal lelang dilakukan secara terbuka sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang serta tercatat dalam risalah lelang yang diterbitkan KPKNL. “Aneh jika appraisal independen yang menaksir dan menentukan nilai likuidasi aset lelang tidak diperiksa. Petunjuk hakim praperadilan kan jelas untuk mendalami benturan kepentingan dalam proses lelang,” tutur Fransisca.
Kejanggalan lain adalah penyidik tidak pernah mempertimbangkan putusan pengadilan tahun 2016 yang memvonis bebas murni petugas KPKNL Usman Arif Murtopo, atas dugaan penyalahgunaan wewenang sebagaimana laporan Rita Kishore. “Kami jadi bertanya-tanya ada apa antara penyidik dan debitur wanprestasi ini,” ucapnya.
Kejanggalan lainnya adalah kesaksian saksi ahli, Nindyo Pramono yang dihadirkan debitur pada sidang praperadilan guna mementahkan upaya SP3 Polda Bali. Kesaksian itu justru dipakai kembali oleh penyidik untuk memperkuat argumen hukum dalam penetapan ke 20 tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri.
Pakar Hukum Perbankan Yunus Husen yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam gekar perkara kasus ini, akhir pekan lalu mengingatkan Bareskrim Polri untuk tidak memaksakan sebuah perkara perdata masuk ke ranah pidana. Mantan Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) ini menegaskan bahwa penanganan sebuah perkara perdata harus diselesaikan pula secara perdata.
Yunus memberi pandangan kepada penyidik terkait penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menjerat ke-20 tersangka. Ia menilai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh para tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bukanlah ranah pidana, melainkan kesalahan administrasi yang bisa diperbaiki melalui kesepakatan kedua pihak yang berperkara.
“Jadi pasal 49 itu tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan, tapi langkah yang di perintahkan oleh otoritas dalam hal ini BI atau OJK,” jelas Yunus.
Kasus ini bermula pada Maret dan Juni 2008, di mana debitur Ratu Kharisma mendapatkan fasilitas kredit dari Bank Swadesi sejumlah Rp10,5 miliar dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter persegi di daerah Seminyak, Bali. Baru membayar angsuran dan bunga Rp300 juta, debitur lalai atas kewajibannya. Tercatat sejak Juni 2009 tidak lagi membayar bunga dan angsuran.
Setelah diberitahukan, peringatan, dan pemutusan kredit, bank mengajukan lelang umum di KPKNL Denpasar. Hasilnya aset tersebut laku dilelang dengan nilai Rp6,386 miliar melalui lima kali proses lelang. Bahkan saat lelang keempat, debitur meminta kreditur melakukan utang hapus Rp5 miliar sesuai putusan hakim dalam gugatan wanprestasi yang mewajibkan debitur membayar utang Rp 5 miliar, selisih dari nominal utang dipotong nilai aset yang dilelang
Namun pihak Rita tidak puas karena nilai lelang jauh di bawah nilai pasar. Setelah melalui proses panjang, akhirnya Rita melaporkan komisaris, direksi, dan karyawan Bank Swadesi ke Polda Bali atas dugaan melakukan tindak pindana perbankan (tipibank) yang saat ini ditangani Bareskrim Polri.
(poe)