Wajah Janus Tahun 2023
loading...
A
A
A
Di tengah situasi yang memunculkan banyak paradoks di mana semua pihak perlu memitigasinya. Proses pemilu dapat menjadi determinan lahirnya smoldering crisis. Yakni krisis yang sesungguhnya terjadi dan sedari awal potensi krisis sesungguhnya sudah teridentifikasi.
Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas terlebih mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak.
Dalam konteks pemilu, potensi-potensi krisis penyelenggaraan pemilu sesungguhnya sudah teridentifikasi. Misalnya keberpihakan penyelenggara pemilu, kontestan baik parpol maupun capres/cawapres yang tidak taat aturan main, politik uang, kekerasan dan intimidasi, dan lain-lain.
Oleh karena pemilu itu kerja bersama seluruh komponen bangsa, maka harus ada tanggungjawab sosial bersama-sama dalam menciptakan situasi politik yang kondusif dan tidak terjebak pada pragmatisme politik kekuasaan yang menghalalkan segala macam cara. Mitigasi situasi politik destruktif harus benar-benar direncanakan, diimplementasikan sekaligus dievaluasi sepanjang tahapan.
Pemilu memang menghadirkan wajah optimisme. Bagi parpol optimistis untuk bisa melampaui parliamentary threshold hingga menjadi kekuatan nyata di DPR RI. Para caleg punya optimisme serupa mereka lolos menjadi wakil rakyat di berbagai tingkatan.
Bagi capres/cawapres juga optimis bisa menarik simpati publik dan mengonversinya menjadi suara di bilik suara. Rakyat biasanya juga memiliki optimisme, pemilu bisa melahirkan banyak perubahan baik di masa mendatang. Baik dari representasi wakil mereka di DPR, DPD maupun capres/cawapres yang dikehendaki.
Pemilu juga menghadirkan wajah pesimis, muram dan kerap membuat gelisah. Praktik oligarki politik membuat proses kandidasi hanya dari oleh dan untuk sekelompok kecil orang yang memiliki kuasa, termasuk dalam menentukan caleg, capres/cawapres. Mereka yang terpilih juga banyak yang memanfaatkan vote buying. Belum lagi praktik kekerasan verbal dan fisik yang seolah menjadi fenomena biasa sepanjang rivalitas yang mengemuka di tahun politik.
Benar bahwa politik elektoral kita masih memiliki banyak masalah baik dari sisi hukum, teknis penyelenggaraan, dan proses elektoral lainnya. Tetapi, yakinlah ini merupakan proses konsolidasi penting yang harus dilalui bangsa ini. Dengan ragam masalahnya perjalanan demokrasi kita di tahun politik akan semakin bertumbuh menguat, dan jangan biarkan kembali ke masa lalu di mana kekuasaan hanya menjadi selera pribadi.
Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas terlebih mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak.
Dalam konteks pemilu, potensi-potensi krisis penyelenggaraan pemilu sesungguhnya sudah teridentifikasi. Misalnya keberpihakan penyelenggara pemilu, kontestan baik parpol maupun capres/cawapres yang tidak taat aturan main, politik uang, kekerasan dan intimidasi, dan lain-lain.
Oleh karena pemilu itu kerja bersama seluruh komponen bangsa, maka harus ada tanggungjawab sosial bersama-sama dalam menciptakan situasi politik yang kondusif dan tidak terjebak pada pragmatisme politik kekuasaan yang menghalalkan segala macam cara. Mitigasi situasi politik destruktif harus benar-benar direncanakan, diimplementasikan sekaligus dievaluasi sepanjang tahapan.
Pemilu memang menghadirkan wajah optimisme. Bagi parpol optimistis untuk bisa melampaui parliamentary threshold hingga menjadi kekuatan nyata di DPR RI. Para caleg punya optimisme serupa mereka lolos menjadi wakil rakyat di berbagai tingkatan.
Bagi capres/cawapres juga optimis bisa menarik simpati publik dan mengonversinya menjadi suara di bilik suara. Rakyat biasanya juga memiliki optimisme, pemilu bisa melahirkan banyak perubahan baik di masa mendatang. Baik dari representasi wakil mereka di DPR, DPD maupun capres/cawapres yang dikehendaki.
Pemilu juga menghadirkan wajah pesimis, muram dan kerap membuat gelisah. Praktik oligarki politik membuat proses kandidasi hanya dari oleh dan untuk sekelompok kecil orang yang memiliki kuasa, termasuk dalam menentukan caleg, capres/cawapres. Mereka yang terpilih juga banyak yang memanfaatkan vote buying. Belum lagi praktik kekerasan verbal dan fisik yang seolah menjadi fenomena biasa sepanjang rivalitas yang mengemuka di tahun politik.
Benar bahwa politik elektoral kita masih memiliki banyak masalah baik dari sisi hukum, teknis penyelenggaraan, dan proses elektoral lainnya. Tetapi, yakinlah ini merupakan proses konsolidasi penting yang harus dilalui bangsa ini. Dengan ragam masalahnya perjalanan demokrasi kita di tahun politik akan semakin bertumbuh menguat, dan jangan biarkan kembali ke masa lalu di mana kekuasaan hanya menjadi selera pribadi.
(bmm)