Paradigma Baru Hukuman Mati dalam KUHP

Rabu, 28 Desember 2022 - 21:07 WIB
loading...
Paradigma Baru Hukuman Mati dalam KUHP
Kemala Atmojo (Foto: Ist)
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Bidang Filsafat, Hukum, dan Seni

RUMUSAN pasal hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) barumenunjukkan adanya perubahan paradigma. Jika dalam KUHP lama masalah hukuman mati diatur secara tegas dalam Pasal 10 sebagai salah satu pidana pokok, kini diubah menjadi pidana percobaan. Adapun di Belanda hukuman mati sudah dihapus sejak 17 Oktober 1870 dengan Staatsblad Tahun 1870 Nomor 162.

Di Indonesia masalah hukuman mati selalu muncul menjadi salah satu topik perdebatan ketika terjadi kasus-kasus besar seperti saat ini, apakah Ferdy Sambo dan istrinya layak dihukum mati atau tidak?

Baca Juga: koran-sindo.com

Sebelumnya salah satu peristiwa kontroversial, yang bahkan melibatkan negara lain,adalah kasus Bali Nine. Inti ceritanya, pada17 April 2005, sembilan warga Australia ditangkap di Bandara Ngurah Rai dan di sebuah hotel di Bali. Mereka dituduh berusaha menyelundupkan lebih dari 8 kg heroin keluar dari Indonesia. Dua di antaranya adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Petugas imigrasi Denpasar berhasil menangkap mereka berkat informasi dari Kepolisian Federal Australia (AFP).

Tindakan kepolisian Australia yang memberikan informasi kepada pihak berwenang Indonesia ini mendapat kecaman hebat di negeri mereka.

Selama delapan tahun Todung Mulya Lubis berusaha membebaskan Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dari hukuman mati. Todung bukan tidak ingin mereka dihukum berat, tetapi ia berusaha agar keduanya tidak dihukum mati. Bagi Todung, ini menyangkut soal-soal hak untuk hidup, soal hak asasi, dari mereka yang menyesali perbuatannya. Tapi ternyata Todung gagal. Keduanya tetap dieksekusi mati di Nusakambangan.

Sebagai aktivis hak asasi manusia, tentu Todung punya dasar. Amnesty International, organisasi internasional yang memperjuangkan pelaksanaan hak asasi manusia, sudah lama menentang eksekusi mati sebagai hukuman. Lalu dalam Deklarasi Universal HAM tertulis: “Everyone has the right to life, liberty and security of person (article 3).” Jadi hak atas kehidupan termasukhak dasar manusia. Kita hanya bisa punya hak lain kalau kita hidup.

Saat ini sudah hampir setengah negara di dunia (lebih dari 154) yang telah menghapus hukuman mati. Tapi Indonesia termasuk negara yang masih memberlakukannya. Oleh mereka yang setuju, hukuman mati dianggap akan mengurangi angka kejahatan dan membuat pelaku jera.

Padahal, mengenai efek jera ini, para penentang hukuman mati mengatakan bahwa hal itu tidak terbukti. Tidak terbukti bahwa dengan melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatannarkoba, misalnya, perdagangan narkoba menjadi berkurang. Selain itu, dalam sistem peradilan yang belum sempurna, selalu terdapat kemungkinan bahwa orang yang diputus dengan hukuman mati adalah orang yang tidak bersalah atau tidak layak dan kesalahan itu tidak pernah bisa diperbaiki lagi.

Hukuman mati juga dianggap tidak pantas dilakukan oleh negara yang menghormati hak asasi manusia karena tindakan itu kejam dan tidak manusiawi. Dalam bahasa Deklarasi Universal HAM: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment (article 5).”

Ide dasar hukuman mati adalah sebagai bentuk pembalasan terhadap kejahatan dan hukuman mati adalah hukum terberat (mors dicitur ultimum supplicium). Dalam khasanah hukum pidana dikenal aliran klasik dan aliran modern. Konsep pidana sebagai “pembalasan” ini ada dalam aliran klasik.

Aliran klasik hanya mengenal legal definition of crime alias negara hanya mengenal kejahatan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Jadi ia berpegang teguh pada asas legalitas. aliran klasik beranggapan hanya pidanalah satu-satunya cara untuk membasmi kejahatan. Sistem pemidanaan dalam aliran ini adalah definite sentence.

Maksudnya pembentuk undang-undang menentukan ancaman pidana secara pasti dan tidak dimungkinkan adanya kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Intinya aliran ini menghendaki adanya pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu.

Sifat represif dan retributivisme ini sering juga disebut sebagai Teori vindikatif atau teori absolut. Teori ini berpandangan bahwa penderitaan atau rasa sakit harus dibayar dengan penderitaan atau rasa sakit juga (tit for tat).

Penderitaan yang diganjarkan kepada pelaku kejahatan bermakna melulu demi penderitaan itu sendiri, tidak ada tujuan lain di luar penderitaan.Pelaku kejahatan mirip dengan orang yang memiliki utang yang harus dibayar kembali kepada masyarakat. Jadi pembalasan adalah legitimasi pemidanaan.

Sementara itu aliran modern melihat pidana agak berbeda. Aliran modern menolak legal definition of crime, tetapi menggunakan natural crime. Maksudnya kejahatan tidak sebatas apa yang telah ditentukan dalam undang-undang, namun juga perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan. Aliran ini berpendapat bahwa pidana saja tidak mampu membuat pelaku menjadi lebih baik dan tidak dapat membasmi faktor-faktor kriminogen.

Aliran ini mengajarkan bahwa tingkah laku individu merupakan interaksi dengan lingkungan sebagai satu mata rantai hubungan sebab-akibat. Maka aliran ini tidak menghendaki hukuman mati.

Aliran ini menggunakan sistem pemidanaan indeterminate sentence alias pembentuk undang-undang mencantumkan ancaman pidana minimum dan ancaman pidana maksimum terhadap suatu kejahatan guna memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang pantas menurut dia.

Bagi penganut aliran modern, hukum pidana itu bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan dan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat le salut du people est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.

Aliran modern juga disebut aliran positif karena mencari sebab kejahatan dengan menggunakan metode ilmu alam dengan maksud memengaruhi pelaku kejahatan secara positif sejauh dapat diperbaiki. Aliran modern dalam hukum pidana didasarkan pada tiga pijakan. Pertama, memerangi kejahatan. Kedua, memperhatikan ilmu lain. Ketiga, ultimum remidium alias sarana terakhir yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Asas ultimum remidium inilah yang tampaknya ingin dicapai oleh pembuat KUHP yang baru. Jadi, pidana mati masih dianggap perlu sebagai jalan terakhir demi kepentingan masyarakat untuk pelaksanaan konsepsi social defence.

Pidana mati menjadi suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana atau ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum. Meski begitu hukuman mati sekarang tak lagi menjadi hukuman pokok, tetapi menjadi hukuman percobaan. Itu berarti bahwa pemidanaan tidak lagi dilihat sebagai tindakan balas dendam.

Di dalam pemidanaan terdapat tujuan mencapai efek jera, tujuan edukasi, tujuan rehabilitasi, repatriasi, dan pengendalian sosial.Tujuan-tujuan itu tidak bisa tercapai dengan adanya pidana mati.

Sanksi hukum harus dilihat sebagai sarana untuk memperbaiki kesalahan seseorang dan mengembalikan orang tersebut menjadi bagian dari masyarakat. Jadi tujuan penghukuman adalah memperbaiki dan mengembangkan kualitas hidup seseorang yang dianggap telah melakukan kejahatan. Perlu diingat, salah satu fungsi hukum adalah merawat kehidupan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6145 seconds (0.1#10.140)