Jimly Asshiddiqie: Akhlak Bangsa Ini Harus Ditata

Sabtu, 24 Desember 2022 - 08:38 WIB
loading...
Jimly Asshiddiqie: Akhlak Bangsa Ini Harus Ditata
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie dalam kajian konstitusi edisi khusus akhir tahun secara daring, Jumat (22/12/2022). Foto/Tangkapan layar
A A A
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa akhlak bangsa ini harus ditata. Dirinya mengatakan masalah yang dihadapi negara hukum bukan hanya sekadar urusan pemilu atau pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres).

“Sebagai negara hukum, rumusan Pasal 1 ayat 3 UUD itu khas, beda dengan rumusan Pasal 1 ayat 1 yang menyebut 'ialah’, dengan kata 'ialah', negara kesatuan dan negara Indonesia berbentuk negara kesatuan yang berbentuk republik. Nah, sedangkan di ayat 2-nya, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Tapi di ayat 3, ini kalimatnya khas, negara Indonesia adalah negara hukum, titik. Jadi ‘adalah’ kata-kata definisi. Jadi, bukan negara Indonesia kalau bukan negara hukum,” kata Jimly dalam kajian konstitusi edisi khusus akhir tahun secara daring, Jumat (22/12/2022).

Dia mengajak untuk menegakkan hukum di negara demokrasi konstitusional ini. “Mulai dengan menegakkan konstitusi. Jadi, tegaknya hukum dan etika harus diawali dengan tegaknya konstitusi. Karena itu, dibutuhkan mekanisme pengawal konstitusi, penegak konstitusi. Maka kita bikin MK (Mahkamah Konstitusi, red) tempo hari,” tutur mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.



Dijelaskannya, berdasar hasil survei indeks kualitas demokrasi dan hukum hingga 2022, kualitas negara Indonesia masih di angka 64. Fakta tersebut membuktikan bahwa masih banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia selama 2022 ini.

“Ranking negara hukum kita itu 64, ranking demokrasi kita 64. Artinya, kita melewati tahun 2022 masih menghadapi problem kualitas negara hukum dan negara demokrasi. Bahkan ada kecenderungan menurun kualitasnya itu. Maka untuk resolusi 2023 kita harapkan kualitas demokrasi kita tingkatkan,” tutur pakar hukum tata negara ini.

“Kita harus pastikan konstitusi itu efektif tegak, jangan dikhianati. Setiap usaha untuk membajak, melanggar konstitusi, kudeta konstitusi, penjahat konstitusi, teroris konstitusi itu harus dihadapi, enggak boleh (terjadi). Kalau konstitusi saja diabaikan, maka UU, PP itu akan diabaikan semua. Selesai urusan negara hukum kita,” kata Jimly.

Dia mengatakan, penegakan hukum harus diiringi dan disertai dengan tegaknya etika. Dia mengibaratkan etika itu seperti samudra, sedangkan hukum ibarat kapal.

“Kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jikalau etika samuderanya kering. Oleh karena itu, akhlak bangsa ini harus ditata. Etika kehidupan bersama, berbangsa, bermasyarakat tumbuh, berkembang subur dan tegak. Itu menjadi prasyarat sosial bagi tegaknya hukum yang berkeadilan,” ungkapnya.

Sementara itu, Senior partner Integrity Law Denny Indrayana menilai hukum di Indonesia masih di bawah bayang-bayang oligarki. Dewasa ini, oligarki dinilai tidak hanya mendikte bidang politik dan ekonomi.

“Sudah menjadi pembicaraan ya bagaimana hukum kita sekarang itu relatif berada di cengkraman oligarki. Oligarki di sini adalah orang yang punya modal kapital sangat besar sehingga bisa mempengaruhi kebijakan publik. Bukan saja politik dan ekonomi, tapi juga hukum,” kata Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) ini dalam kesempatan sama.

Dia menuturkan, oligarki yang saat ini sudah mencengkram hukum berawal dari pelaksanaan pemilu. Para pemilik modal besar, kata dia, akan masuk ke tokoh yang masuk dalam kompetisi untuk ambil bagian dalam barisan tersebut.

“Dalam beberapa pemilu saya catat, biasanya bahwa kekuatan modal yang terlalu besar ini, menanamkan sahamnya dalam kompetisi pemilu dan memetik deviden itu. Biasanya kebijakan yang, sekali kali berkaitan dengan kepentingan bisnisnya,” katanya.

“2022 ini saya mencatat ada beberapa persoalan hukum yang kemudian tidak berjalan. Salah satunya karena kekuatan modal yang besar ini, dulu pernah membantu dalam kompetisi Pemilu 2019. Tentu Saya tidak bisa menyebut nama. Ini terjadi sangat kasat mata sebenarnya, bahwa hukum kemudian ada dalam cengkraman oligarki tersebut,” pungkasnya.

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah membeberkan banyak persoalan pelanggaran HAM yang terjadi selama 2022 ini. “Suatu refleksi bahwa Komnas HAM sepanjang 2022, sebelum Sambo, kita dikejutkan bahkan marah atas terungkapnya kerangkeng manusia di Langkat dilakukan oleh penguasa daerah, yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya tetapi yang terjadi adalah justru sebaliknya,” kata Anis.

Saat itu, kata dia, Komnas HAM melakukan pemantauan dan mengindikasikan ada 18 pelaku. “Itu sistematis. Itu dilakukan sebagian polisi, aparat penegak hukum ya, kemudian TNI,” imbuhnya.

Dia menilai, terjadinya pelanggaran HAM berawal dari tidak berjalannya proses hukum sebagaimana mestinya. Dari laporan yang diterima Komnas HAM, Anis menyebutkan, kasus keadilan paling banyak yang diadukan masyarakat.

“Tiga hak paling banyak dilanggar dalam kasus-kasus adalah hak untuk memperoleh keadilan, hak atas kesejahteraan, dan hak atas rasa aman. Dan paling banyak terjadi di Jakarta. Jadi di sekitar pusat kekuasaan, politik, ekonomi. Tapi di situlah justru banyak terjadi praktik-praktik hukum tidak bekerja dengan baik. Selain Jakarta, (juga) di Sumatera Utara, kemudian di Jabar, Jateng, dan Banten,” pungkasnya.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2907 seconds (0.1#10.140)