Jimly Asshiddiqie: Akhlak Bangsa Ini Harus Ditata
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa akhlak bangsa ini harus ditata. Dirinya mengatakan masalah yang dihadapi negara hukum bukan hanya sekadar urusan pemilu atau pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres).
“Sebagai negara hukum, rumusan Pasal 1 ayat 3 UUD itu khas, beda dengan rumusan Pasal 1 ayat 1 yang menyebut 'ialah’, dengan kata 'ialah', negara kesatuan dan negara Indonesia berbentuk negara kesatuan yang berbentuk republik. Nah, sedangkan di ayat 2-nya, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Tapi di ayat 3, ini kalimatnya khas, negara Indonesia adalah negara hukum, titik. Jadi ‘adalah’ kata-kata definisi. Jadi, bukan negara Indonesia kalau bukan negara hukum,” kata Jimly dalam kajian konstitusi edisi khusus akhir tahun secara daring, Jumat (22/12/2022).
Dia mengajak untuk menegakkan hukum di negara demokrasi konstitusional ini. “Mulai dengan menegakkan konstitusi. Jadi, tegaknya hukum dan etika harus diawali dengan tegaknya konstitusi. Karena itu, dibutuhkan mekanisme pengawal konstitusi, penegak konstitusi. Maka kita bikin MK (Mahkamah Konstitusi, red) tempo hari,” tutur mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.
Dijelaskannya, berdasar hasil survei indeks kualitas demokrasi dan hukum hingga 2022, kualitas negara Indonesia masih di angka 64. Fakta tersebut membuktikan bahwa masih banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia selama 2022 ini.
“Ranking negara hukum kita itu 64, ranking demokrasi kita 64. Artinya, kita melewati tahun 2022 masih menghadapi problem kualitas negara hukum dan negara demokrasi. Bahkan ada kecenderungan menurun kualitasnya itu. Maka untuk resolusi 2023 kita harapkan kualitas demokrasi kita tingkatkan,” tutur pakar hukum tata negara ini.
“Kita harus pastikan konstitusi itu efektif tegak, jangan dikhianati. Setiap usaha untuk membajak, melanggar konstitusi, kudeta konstitusi, penjahat konstitusi, teroris konstitusi itu harus dihadapi, enggak boleh (terjadi). Kalau konstitusi saja diabaikan, maka UU, PP itu akan diabaikan semua. Selesai urusan negara hukum kita,” kata Jimly.
Dia mengatakan, penegakan hukum harus diiringi dan disertai dengan tegaknya etika. Dia mengibaratkan etika itu seperti samudra, sedangkan hukum ibarat kapal.
“Kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jikalau etika samuderanya kering. Oleh karena itu, akhlak bangsa ini harus ditata. Etika kehidupan bersama, berbangsa, bermasyarakat tumbuh, berkembang subur dan tegak. Itu menjadi prasyarat sosial bagi tegaknya hukum yang berkeadilan,” ungkapnya.
Sementara itu, Senior partner Integrity Law Denny Indrayana menilai hukum di Indonesia masih di bawah bayang-bayang oligarki. Dewasa ini, oligarki dinilai tidak hanya mendikte bidang politik dan ekonomi.
“Sebagai negara hukum, rumusan Pasal 1 ayat 3 UUD itu khas, beda dengan rumusan Pasal 1 ayat 1 yang menyebut 'ialah’, dengan kata 'ialah', negara kesatuan dan negara Indonesia berbentuk negara kesatuan yang berbentuk republik. Nah, sedangkan di ayat 2-nya, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Tapi di ayat 3, ini kalimatnya khas, negara Indonesia adalah negara hukum, titik. Jadi ‘adalah’ kata-kata definisi. Jadi, bukan negara Indonesia kalau bukan negara hukum,” kata Jimly dalam kajian konstitusi edisi khusus akhir tahun secara daring, Jumat (22/12/2022).
Dia mengajak untuk menegakkan hukum di negara demokrasi konstitusional ini. “Mulai dengan menegakkan konstitusi. Jadi, tegaknya hukum dan etika harus diawali dengan tegaknya konstitusi. Karena itu, dibutuhkan mekanisme pengawal konstitusi, penegak konstitusi. Maka kita bikin MK (Mahkamah Konstitusi, red) tempo hari,” tutur mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.
Dijelaskannya, berdasar hasil survei indeks kualitas demokrasi dan hukum hingga 2022, kualitas negara Indonesia masih di angka 64. Fakta tersebut membuktikan bahwa masih banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia selama 2022 ini.
“Ranking negara hukum kita itu 64, ranking demokrasi kita 64. Artinya, kita melewati tahun 2022 masih menghadapi problem kualitas negara hukum dan negara demokrasi. Bahkan ada kecenderungan menurun kualitasnya itu. Maka untuk resolusi 2023 kita harapkan kualitas demokrasi kita tingkatkan,” tutur pakar hukum tata negara ini.
“Kita harus pastikan konstitusi itu efektif tegak, jangan dikhianati. Setiap usaha untuk membajak, melanggar konstitusi, kudeta konstitusi, penjahat konstitusi, teroris konstitusi itu harus dihadapi, enggak boleh (terjadi). Kalau konstitusi saja diabaikan, maka UU, PP itu akan diabaikan semua. Selesai urusan negara hukum kita,” kata Jimly.
Dia mengatakan, penegakan hukum harus diiringi dan disertai dengan tegaknya etika. Dia mengibaratkan etika itu seperti samudra, sedangkan hukum ibarat kapal.
“Kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan jikalau etika samuderanya kering. Oleh karena itu, akhlak bangsa ini harus ditata. Etika kehidupan bersama, berbangsa, bermasyarakat tumbuh, berkembang subur dan tegak. Itu menjadi prasyarat sosial bagi tegaknya hukum yang berkeadilan,” ungkapnya.
Sementara itu, Senior partner Integrity Law Denny Indrayana menilai hukum di Indonesia masih di bawah bayang-bayang oligarki. Dewasa ini, oligarki dinilai tidak hanya mendikte bidang politik dan ekonomi.