Rekontekstualisasi Istitho'ah dalam Berhaji
loading...
A
A
A
Ketersediaan bekal perjalanan haji saat ini di”mampukan” oleh pemerintah melalui sistem dana tabung haji. Negeri jiran Malaysia malah sudah lebih dahulu mempraktekkannya. Dengan skema ini, calon jamaah haji hanya menyetor pembayaran awal yang jumlahnya kurang dari separuh biaya perjalanan ibadah haji agar bisa mendapat nomor kuota. Hingga sebelum tiba giliran keberangkatan, mereka diminta melunasi pembiayaan yang kemudian digenapkan oleh subsidi pemerintah dari keuntungan investasi dana haji yang disetorkan oleh calon jamaah sebelumnya.
Konsep istitho'ah pelan-pelan bergeser. Persyaratan kemampuan finansial yang mulanya merupakan tantangan berat, kini bebannya banyak berkurang akibat hadirnya sistem tabung haji tersebut. Tak ayal, banyak umat Islam yang sudah lama bercita-cita naik haji segera ramai-ramai mendaftar melalui sistem itu. Hasilnya, terbentuklah antrian tunggu calon jamaah haji yang panjang di setiap kabupaten/kota setiap tahunnya.
Pemaknaan ulang istitho’ah
Forum Mudzakarah di Jawa Timur itu mengkritisi dan seolah mempertanyakan apakah layak seorang calon jamaah haji dianggap telah memiliki kemampuan atau istitho'ah secara finansial. Bagaimana disebut istitho’ah padahal hanya memenuhi kurang dari separuh total pembiayaan ibadah haji? Forum Mudzakarah tampaknya kurang setuju jika dana talangan yang menggenapkan biaya perjalanan ibadah haji melalui sistem tabung haji dipandang berkesesuaian dengan konsep istitho'ah menurut fikih klasik. Agaknya waktu tunggu dalam antrian haji sekian lama itu tidak dapat dianggap telah menebus persyaratan istitho'ah.
Merespon rekomendasi Mudzakarah tersebut, kiranya penting untuk melakukan studi komprehensif yang mengkaji rekontekstualisasi sekaligus rekonseptualisasi pengertian istitho’ah. Pemaknaan ulang pengertian istitho'ah yang terdapat dalam Al-Quran dan sejarah Islam menjadi agenda penting khususnya ketika tantangan dan peluang mewujudkan kemaslahatan publik banyak tersibak di era digital ini. Dalam konteks manajemen haji Indonesia, istitho’ah bukan lagi dipahami sebagai kemampuan atau upaya individu, namun juga kemampuan dan upaya kolektif. Di sinilah, nilai gotong royong sebagai nafas bangsa Indonesia tercermin dalam penyelenggaraan ibadah keagamaan.
Perguruan tinggi Islam ataupun lembaga think tank harus terpanggil untuk ikut berpartisipasi melakukan kajian dan pemahaman yang lebih ekstensif atas konsep istitho’ah dalam berhaji. Para dosen dan peneliti perlu melihat kembali teks ajaran agama dan mempertimbangkan bagaimana, misalnya, konsep saling tolong menolong (ta’awun) dapat disinergikan dengan konsep istitho’ah.
Konsep istitho'ah pelan-pelan bergeser. Persyaratan kemampuan finansial yang mulanya merupakan tantangan berat, kini bebannya banyak berkurang akibat hadirnya sistem tabung haji tersebut. Tak ayal, banyak umat Islam yang sudah lama bercita-cita naik haji segera ramai-ramai mendaftar melalui sistem itu. Hasilnya, terbentuklah antrian tunggu calon jamaah haji yang panjang di setiap kabupaten/kota setiap tahunnya.
Pemaknaan ulang istitho’ah
Forum Mudzakarah di Jawa Timur itu mengkritisi dan seolah mempertanyakan apakah layak seorang calon jamaah haji dianggap telah memiliki kemampuan atau istitho'ah secara finansial. Bagaimana disebut istitho’ah padahal hanya memenuhi kurang dari separuh total pembiayaan ibadah haji? Forum Mudzakarah tampaknya kurang setuju jika dana talangan yang menggenapkan biaya perjalanan ibadah haji melalui sistem tabung haji dipandang berkesesuaian dengan konsep istitho'ah menurut fikih klasik. Agaknya waktu tunggu dalam antrian haji sekian lama itu tidak dapat dianggap telah menebus persyaratan istitho'ah.
Merespon rekomendasi Mudzakarah tersebut, kiranya penting untuk melakukan studi komprehensif yang mengkaji rekontekstualisasi sekaligus rekonseptualisasi pengertian istitho’ah. Pemaknaan ulang pengertian istitho'ah yang terdapat dalam Al-Quran dan sejarah Islam menjadi agenda penting khususnya ketika tantangan dan peluang mewujudkan kemaslahatan publik banyak tersibak di era digital ini. Dalam konteks manajemen haji Indonesia, istitho’ah bukan lagi dipahami sebagai kemampuan atau upaya individu, namun juga kemampuan dan upaya kolektif. Di sinilah, nilai gotong royong sebagai nafas bangsa Indonesia tercermin dalam penyelenggaraan ibadah keagamaan.
Perguruan tinggi Islam ataupun lembaga think tank harus terpanggil untuk ikut berpartisipasi melakukan kajian dan pemahaman yang lebih ekstensif atas konsep istitho’ah dalam berhaji. Para dosen dan peneliti perlu melihat kembali teks ajaran agama dan mempertimbangkan bagaimana, misalnya, konsep saling tolong menolong (ta’awun) dapat disinergikan dengan konsep istitho’ah.
(maf)