Rekontekstualisasi Istitho'ah dalam Berhaji
loading...
A
A
A
M Arskal Salim GP
Kapuslitbang Lektur Kemenag RI dan Guru Besar UIN Jakarta
PADA akhir bulan November lalu Mudzakarah Perhajian Indonesia dilangsungkan di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Mudzakarah itu melahirkan sembilan rekomendasi. Dari semua butir rekomendasi itu, persoalan konseptual mengenai istitho'ah mencuat dan mengundang perhatian untuk didiskusikan lebih lanjut. Butir nomor tujuh dari rekomendasi Mudzakarah secara tegas menyatakan: "tidak menolerir dana talangan dan segala bentuk pembiayaan haji yang bertentangan dengan pemenuhan kaidah istitho'ah dan menjadikan daftar antrian haji semakin panjang".
Makna istitho’ah
Al-Qur’an menggariskan kewajiban haji bagi Muslim dengan kondisi bahwa ia memiliki kemampuan (istitho’ah). Pengertian mampu itu diuraikan dalam berbagai hadis yang intinya memiliki perbekalan yang cukup bagi seseorang untuk melakukan perjalanan dan juga bekal bagi keluarga yang ditinggalkannya di kampung halaman. Selain itu, pengertian mampu juga mencakup alat transportasi yang memadai untuk berangkat ke dan pulang dari Mekah.
Berbeda dengan ibadah puasa Ramadhan yang hanya mempersyaratkan kemampuan fisik, ibadah haji mensyaratkan dukungan fisik, mental serta finansial yang memadai. Hal ini karena ibadah haji hanya dapat ditunaikan di satu tempat di bumi, yaitu di Mekah. Bagi Muslim yang tinggal jauh dari Mekah, persyaratan kemampuan ibadah haji terasa lebih berat dibandingkan mereka yang tinggal dekat dengan Mekah. Calon jamaah haji dari seberang lautan harus menempuh perjalanan jauh dan lama, yang membutuhkan perbekalan yang mencukupi.
Sebuah karya tiga jilid tebal berjudul "Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji Tahun 1482-1964" diterbitkan ulang oleh Kementerian Agama tahun 2019. Buku yang disusun oleh Henri Chambert-Loir itu menyajikan cerita pengalaman individu Muslim maupun rombongan jamaah yang berangkat haji sejak abad ke-15. Buku tersebut menyiratkan betapa kompleks dan rumitnya persiapan sebelum haji, serta banyaknya tantangan yang dihadapi selama perjalanan haji.
Perjalanan haji dilakukan bukan oleh sembarang orang, tetapi hanya mereka yang “mampu” secara fisik, mental dan finansial. Perjalanan laut ditambah darat ditempuh selama berbulan-bulan bahkan tahunan. Hal ini membutuhkan tekad bulat, energi moral dan juga kekuatan stamina fisik yang luarbiasa. Pada masa-masa inilah, istitho'ah yang dimaknai sebagai kemampuan fisik dan perbekalan menjadi faktor penentu seseorang untuk bisa berangkat haji atau tidak.
Pergeseran konsep istitho’ah
Jika berhaji pada abad-abad yang lalu masih menunjukkan betapa istitho’ah merupakan hal yang pribadi sifatnya, pengalaman naik haji dalam beberapa dekade terakhir memperlihatkan bagaimana konsep istitho’ah menjadi bersifat publik karena melibatkan andil dan peran pemerintah. Manajemen modern pengelolaan haji oleh pemerintah yang didukung kemajuan teknologi transportasi udara telah membawa transformasi konsep istitho'ah.
Durasi perjalanan ibadah haji biasa kini hanya sekitar 40 hari, bahkan haji khusus berlangsung kurang dari dua minggu. Untuk suatu perjalanan jauh yang maha berat, persyaratan fisik (kebugaran tubuh) tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Yang kini mendominasi pemahaman konsep istitho’ah adalah ketersediaan bekal perjalanan. Dalam hal ini, peran pemerintah tidak dapat diabaikan.
Kapuslitbang Lektur Kemenag RI dan Guru Besar UIN Jakarta
PADA akhir bulan November lalu Mudzakarah Perhajian Indonesia dilangsungkan di Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Mudzakarah itu melahirkan sembilan rekomendasi. Dari semua butir rekomendasi itu, persoalan konseptual mengenai istitho'ah mencuat dan mengundang perhatian untuk didiskusikan lebih lanjut. Butir nomor tujuh dari rekomendasi Mudzakarah secara tegas menyatakan: "tidak menolerir dana talangan dan segala bentuk pembiayaan haji yang bertentangan dengan pemenuhan kaidah istitho'ah dan menjadikan daftar antrian haji semakin panjang".
Makna istitho’ah
Al-Qur’an menggariskan kewajiban haji bagi Muslim dengan kondisi bahwa ia memiliki kemampuan (istitho’ah). Pengertian mampu itu diuraikan dalam berbagai hadis yang intinya memiliki perbekalan yang cukup bagi seseorang untuk melakukan perjalanan dan juga bekal bagi keluarga yang ditinggalkannya di kampung halaman. Selain itu, pengertian mampu juga mencakup alat transportasi yang memadai untuk berangkat ke dan pulang dari Mekah.
Berbeda dengan ibadah puasa Ramadhan yang hanya mempersyaratkan kemampuan fisik, ibadah haji mensyaratkan dukungan fisik, mental serta finansial yang memadai. Hal ini karena ibadah haji hanya dapat ditunaikan di satu tempat di bumi, yaitu di Mekah. Bagi Muslim yang tinggal jauh dari Mekah, persyaratan kemampuan ibadah haji terasa lebih berat dibandingkan mereka yang tinggal dekat dengan Mekah. Calon jamaah haji dari seberang lautan harus menempuh perjalanan jauh dan lama, yang membutuhkan perbekalan yang mencukupi.
Sebuah karya tiga jilid tebal berjudul "Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji Tahun 1482-1964" diterbitkan ulang oleh Kementerian Agama tahun 2019. Buku yang disusun oleh Henri Chambert-Loir itu menyajikan cerita pengalaman individu Muslim maupun rombongan jamaah yang berangkat haji sejak abad ke-15. Buku tersebut menyiratkan betapa kompleks dan rumitnya persiapan sebelum haji, serta banyaknya tantangan yang dihadapi selama perjalanan haji.
Perjalanan haji dilakukan bukan oleh sembarang orang, tetapi hanya mereka yang “mampu” secara fisik, mental dan finansial. Perjalanan laut ditambah darat ditempuh selama berbulan-bulan bahkan tahunan. Hal ini membutuhkan tekad bulat, energi moral dan juga kekuatan stamina fisik yang luarbiasa. Pada masa-masa inilah, istitho'ah yang dimaknai sebagai kemampuan fisik dan perbekalan menjadi faktor penentu seseorang untuk bisa berangkat haji atau tidak.
Pergeseran konsep istitho’ah
Jika berhaji pada abad-abad yang lalu masih menunjukkan betapa istitho’ah merupakan hal yang pribadi sifatnya, pengalaman naik haji dalam beberapa dekade terakhir memperlihatkan bagaimana konsep istitho’ah menjadi bersifat publik karena melibatkan andil dan peran pemerintah. Manajemen modern pengelolaan haji oleh pemerintah yang didukung kemajuan teknologi transportasi udara telah membawa transformasi konsep istitho'ah.
Durasi perjalanan ibadah haji biasa kini hanya sekitar 40 hari, bahkan haji khusus berlangsung kurang dari dua minggu. Untuk suatu perjalanan jauh yang maha berat, persyaratan fisik (kebugaran tubuh) tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Yang kini mendominasi pemahaman konsep istitho’ah adalah ketersediaan bekal perjalanan. Dalam hal ini, peran pemerintah tidak dapat diabaikan.