Akselerasi Pengembangan Desa Wisata untuk Pemulihan Ekonomi
loading...
A
A
A
Adapun dalam rangka mewujudkan konsep local self government, kepala desa merupakan kepala pemerintahan organisasi pemerintahan paling kecil dan paling bawah dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merealisasikan program-program pembangunan desa yang diinstruksikan dari atas. Dalam konteks inilah, optimalisasi fungsi kepala desa dalam upaya mengidentifikasi, mengembangkan, serta mempromosikan desa wisata menemukan urgensinya.
Potensi desa wisata di seluruh Indonesia bisa tergali secara maksimal dengan mengagendakan transformasi sosial. Apa yang pernah ditulis oleh Soedjatmoko saat menggambarkan transformasi sosial masyarakat Jawa mendapati relevansinya. Berdasarkan pandangan Soedjatmoko (2010: 131-132), transformasi sosial masyarakat Jawa berkisar pada dua masalah pokok.
Pertama, pengembangan golongan menengah yang tidak mau tinggal di lingkungan perdesaan dan enggan menjadi bagian dari birokrasi pemerintah. Langkah ini diwujudkan dengan memupuk sekaligus mengembangkan potensi sektor informal di wilayah perkotaan dan tenaga-tenaga nonpertanian di wilayah pedesaan.
Kedua, revitalisasi kemampuan swadaya desa dalam rangka meningkatkan potensi desa berdasarkan kepentingan masyarakat desa. Langkah ini diambil agar desa tidak lagi menjadi objek program-program pemerintah, melainkan juga subjek yang mampu mengurus urusannya sendiri. Pembangunan bercorak bottom up ini membuka kemungkinan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan absolut di Indonesia.
Bagi Soedjatmoko, dua masalah di atas merupakan bagian dari ikhtiar mewujudkan pembangunan bangsa (nation building) yang bisa menggerakkan perkembangan sosial, politik dan ekonomi Indonesia ke arah diferensisasi yang lebih besar. Hal ini diperlukan dalam menyiapkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern, kuat, serta mandiri.
Berdasarkan catatan historis, sebenarnya pemerintah Hindia Belanda, beberapa kabinet Republik Indonesia, serta sejumlah partai politik pernah merealisasikan transformasi sosial, meskipun dengan cara dan strategi yang berlainan. Pada masa penjajahan Belanda, kekuasaan kolonial justru menjadi penghalang terbesar bagi terwujudnya transformasi yang bersifat struktural tersebut. Atas dasar itulah, pola-pola transformasi sosial yang direncanakan tidak dimaksudkan untuk mengendalikan masyarakat, melainkan untuk membuka ruang bagi masyarakat dalam beraktualisasi selaku agen perubahan.
Potensi desa wisata di seluruh Indonesia bisa tergali secara maksimal dengan mengagendakan transformasi sosial. Apa yang pernah ditulis oleh Soedjatmoko saat menggambarkan transformasi sosial masyarakat Jawa mendapati relevansinya. Berdasarkan pandangan Soedjatmoko (2010: 131-132), transformasi sosial masyarakat Jawa berkisar pada dua masalah pokok.
Pertama, pengembangan golongan menengah yang tidak mau tinggal di lingkungan perdesaan dan enggan menjadi bagian dari birokrasi pemerintah. Langkah ini diwujudkan dengan memupuk sekaligus mengembangkan potensi sektor informal di wilayah perkotaan dan tenaga-tenaga nonpertanian di wilayah pedesaan.
Kedua, revitalisasi kemampuan swadaya desa dalam rangka meningkatkan potensi desa berdasarkan kepentingan masyarakat desa. Langkah ini diambil agar desa tidak lagi menjadi objek program-program pemerintah, melainkan juga subjek yang mampu mengurus urusannya sendiri. Pembangunan bercorak bottom up ini membuka kemungkinan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan absolut di Indonesia.
Bagi Soedjatmoko, dua masalah di atas merupakan bagian dari ikhtiar mewujudkan pembangunan bangsa (nation building) yang bisa menggerakkan perkembangan sosial, politik dan ekonomi Indonesia ke arah diferensisasi yang lebih besar. Hal ini diperlukan dalam menyiapkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern, kuat, serta mandiri.
Berdasarkan catatan historis, sebenarnya pemerintah Hindia Belanda, beberapa kabinet Republik Indonesia, serta sejumlah partai politik pernah merealisasikan transformasi sosial, meskipun dengan cara dan strategi yang berlainan. Pada masa penjajahan Belanda, kekuasaan kolonial justru menjadi penghalang terbesar bagi terwujudnya transformasi yang bersifat struktural tersebut. Atas dasar itulah, pola-pola transformasi sosial yang direncanakan tidak dimaksudkan untuk mengendalikan masyarakat, melainkan untuk membuka ruang bagi masyarakat dalam beraktualisasi selaku agen perubahan.
(bmm)