Perpres Kartu Prakerja Terbit, Atur Ancaman Pidana Pemalsu Identitas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Perpres No 76/2020 tentang Perubahan Perpres No 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja . Dalam perpres tersebut diatur mengenai ancaman pidana jika ada yang sengaja memalsukan identitas demi mendapatkan kartu prakerja.
Tidak hanya pidana, pemalsu juga akan dituntut ganti rugi. “Dalam hal penerima kartu prakerja dengan sengaja melakukan pemalsuan identitas dan/atau data pribadi, manajemen pelaksana mengajukan tuntutan pidana yang dapat digabung dengan tuntutan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian kutipan Pasal 31D Perpres 76/2020. (Baca juga: Pengangguran Usia Muda Banyak, Pemerintah Diminta Sediakan Pelatihan)
Tidak hanya itu, jika penerima kartu prakerja ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dan telah menerima bantuan biaya pelatihan dan/insentif, maka wajib mengembalikannya kepada negara. Jika tidak, maka akan ada tuntutan pidana.
“Dalam hal penerima kartu prakerja tidak mengembalikan bantuan pelatihan dan/atau insentif dalam jangka waktu paling lama 60 hari, manajemen pelaksana melakukan gugatan ganti rugi kepada penerima kartu prakerja,” kutipan Pasal 31C ayat 2.
Pada Perpres ini, kriteria penerima juga lebih detail dari sebelumnya. Di mana pada perpres sebelumnya yakni No 36/2020, penerima hanya dinyatakan sebagai pencari kerja. Selain itu juga dapat diberikan kepada pekerja/buruh yang terkena PHK. Lalu pekerja/buruh yang membutuhkan peningkatan kompetensi kerja.
Sedangkan dalam Perpres No 76/2020 dijelaskan bahwa kriteria pekerja/buruh yang membutuhkan kompetensi kerja juga termasuk pekerja/buruh yang dirumahkan. Selain itu, pekerja bukan penerima upah, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil juga masuk di dalamnya. Selanjutnya, penerima kartu prakerja disyaratkan tidak sedang dalam menjalani pendidikan formal.
Dijelaskan juga dalam perpres tersebut, siapa saja yang tidak diperbolehkan menerima program kartu prakerja. Di antaranya pejabat negara, pimpinan dan anggota DPRD, ASN, prajurit TNI, anggota Polri, kepala desa dan perangkat desa. Kemudian dilarang juga bagi direksi, komisaris, dan dewan pengawas di BUMN dan BUMD.
Tidak hanya pidana, pemalsu juga akan dituntut ganti rugi. “Dalam hal penerima kartu prakerja dengan sengaja melakukan pemalsuan identitas dan/atau data pribadi, manajemen pelaksana mengajukan tuntutan pidana yang dapat digabung dengan tuntutan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian kutipan Pasal 31D Perpres 76/2020. (Baca juga: Pengangguran Usia Muda Banyak, Pemerintah Diminta Sediakan Pelatihan)
Tidak hanya itu, jika penerima kartu prakerja ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dan telah menerima bantuan biaya pelatihan dan/insentif, maka wajib mengembalikannya kepada negara. Jika tidak, maka akan ada tuntutan pidana.
“Dalam hal penerima kartu prakerja tidak mengembalikan bantuan pelatihan dan/atau insentif dalam jangka waktu paling lama 60 hari, manajemen pelaksana melakukan gugatan ganti rugi kepada penerima kartu prakerja,” kutipan Pasal 31C ayat 2.
Pada Perpres ini, kriteria penerima juga lebih detail dari sebelumnya. Di mana pada perpres sebelumnya yakni No 36/2020, penerima hanya dinyatakan sebagai pencari kerja. Selain itu juga dapat diberikan kepada pekerja/buruh yang terkena PHK. Lalu pekerja/buruh yang membutuhkan peningkatan kompetensi kerja.
Sedangkan dalam Perpres No 76/2020 dijelaskan bahwa kriteria pekerja/buruh yang membutuhkan kompetensi kerja juga termasuk pekerja/buruh yang dirumahkan. Selain itu, pekerja bukan penerima upah, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil juga masuk di dalamnya. Selanjutnya, penerima kartu prakerja disyaratkan tidak sedang dalam menjalani pendidikan formal.
Dijelaskan juga dalam perpres tersebut, siapa saja yang tidak diperbolehkan menerima program kartu prakerja. Di antaranya pejabat negara, pimpinan dan anggota DPRD, ASN, prajurit TNI, anggota Polri, kepala desa dan perangkat desa. Kemudian dilarang juga bagi direksi, komisaris, dan dewan pengawas di BUMN dan BUMD.
(nbs)