Keputusan Pemerintah Libatkan TNI Tangani Terorisme Dinilai Tepat

Jum'at, 10 Juli 2020 - 08:56 WIB
loading...
Keputusan Pemerintah...
FOTO/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pengamat intelijen dan militer Connie Rahakundini menilai keputusan pemerintah yang akan menerbitkan peraturan presiden (perpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme sudah tepat. Menurut dia, langkah itu menjadi komplementer dengan tugas antiterorisme yang dilakukan Polri .

"Pembagian tugas tersebut ditandai dengan dua parameter, yaitu tingkat ancaman dan wilayah jurisdiksi," tutur Connie saat dihubungi SINDOnews, Jumat (10/7/2020). (Baca juga: Kunjungi Kopassus, Mahfud Tegaskan TNI Akan Dilibatkan Tangani Terorisme)

Connie menjelaskan, wilayah jurisdiksi untuk yang terjangkau mudah untuk ditangani Densus 88 Polri. Namun, ketika tingkat ancamannya sudah melebihi kapasitas kepolisian, maka bisa diambil alih oleh tim elite TNI seperti Den 81 Kopassus.

Kemudian, lanjut Connie, terkait parameter wilayah operasi juga menjadi terjangkau karena Kepolisian terbatas jelajahnya ketika dihadapkan dengan high intensity operation di wilayah yang bermedan sulit yang memerlukan dukungan lebih dari yang dimiliki oleh Polri, maka di sini menjadi tugas TNI. Dia menilai, medan yang sulit sudah menjadi makanan sehari-hari komando TNI.

Menurut dia, ada tiga hal yang perlu diindahkan, pertama fitrah militer adalah penghancur, sementara fitrah kepolisian adalah penegakan hukum. Kedua prinsip darurat militer, ini dikenal dalam bernegara, saat negara sedang bertahan. Karena itu, ketika ada deklarasi darurat militer, semua korban yang jatuh, bukanlah pelanggaran HAM, sehingga harus dibedakan dengan korban pemerkosaan, penyiksaan, dan kegiatan yang dilarang oleh hukum perang.

"Ketika operasi penegakan hukum gagal, maka Presiden dengan terbuka harus mengumumkan deklarasi untuk deployment militer," ujarnya.

Yang harus dihindari di lapangan, lanjutnya, adalah adanya kepastian hukum untuk TNI, karena secara resmi yang berlaku adalah hukum perang dan kaidah militer. Dia melihat, ada dua kekuatan sipil yang tak menghendaki pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Pertama dari pemerhati HAM yang mungkin belum tercerahkan atau masih salah paham.

"Biasanya masih paranoid dengan pelibatan militer dan masih belum percaya dengan reformasi TNI yang sekarang sangat humanis dan menghargai HAM karena HAM identik dan sebangun dengan Pancasila," ujarnya.

Kedua, lanjut dia, pihak yang proterorisme, namun mereka akan menunggangi pihak pemerhati HAM. Karena mereka tahu, ini akan berakibat sangat buruk pada kelompoknya.

"Maka perlu dilakukan penyelidikan intelijen, siapa saja mereka, bagaimana mereka berinteraksi, hingga jaringan mereka ke kelompok teror mana. Sehingga pada saatnya negara bisa meringkus mereka sesuai hukum," tandasnya.
(nbs)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1394 seconds (0.1#10.140)