Dorong Produktivitas Usia Muda

Jum'at, 10 Juli 2020 - 06:24 WIB
loading...
Dorong Produktivitas...
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Pemerintah perlu mencari terobosan untuk mengatasi tingginya angka pengganguran, terutama di kalangan muda. Langkah ini di antaranya dilakukan dengan membekali mereka kemampuan sesuai yang dibutuhkan lapangan kerja.

Harapan ini disampaikan Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena pada rapat kerja Komisi IX DPR. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal Faisal merespons fakta yang disampaikan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Berdasarkan hasil rapat Komisi IX DPR dengan Menaker dan BP Jamsostek, langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi pengangguran di kalangan muda antara lain mempersiapkan tenaga kerja yang akan memenuhi kebutuhan lapangan kerja. Hal ini dilakukan melalui kebijakan dalam mendukung proyek-proyek prioritas nasional, proyek padat karya, pemagangan, wirausaha, dan tenaga kerja pendamping melalui lembaga pelatihan BLK pemerintah dan swasta. (Baca: Pandemi Corona, Ketersediaan Irigasi Bagi Pertanian Perlu Diperhatikan)

"Komisi IX DPR mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk meningkatkan pelatihan vokasi bagi pekerja yang terdampak Covid-19 melalui program Kartu Prakerja dan program-program pelatihan di Kementerian Ketenagakerjaan," ujar Melkiades.

Selain itu, DPR meminta pemerintah melakukan koordinasi lintas instansi terkait pengawasan pelaksanaan relaksasi kebijakan stimulus ekonomi bagi pelaku usaha sehingga tidak terjadi PHK bagi pekerja. Selain itu, membuat kebijakan percepatan penciptaan lapangan kerja berbasis UMKM.

Mohammad Faisal Faisal berharap pemerintah mendorong kembali konsep link and match yang masih lemah dengan berbagai pelatihan. Dengan demikian, tenaga kerja, termasuk dari kalangan muda, bisa terserap lapangan kerja karena memiliki kemampuan yang dibutuhkan.

Namun, Faisal menggariskan, dalam kondisi pandemi ini pemerintah harus mengambil langkah-langkah konkret dan realistis untuk mendorong pertumbuhan lapangan kerja. Mau tidak mau, dalam kondisi pandemi saat ini, pemerintah harus menciptakan banyak proyek atau program padat karya. Misalnya, Kementerian PUPR yang sudah menyalurkan program padat karya tunai (PKT) di desa untuk mendukung pembangunan infrastruktur. "Selain untuk infrastruktur, tujuan program itu sebenarnya untuk menyerap tenaga kerja lokal sehingga masyarakat setempat bisa meraih penghasilan," katanya.

Skema lainnya, lanjut Faisal, melalui program dana desa dan bantuan sosial (bansos) yang diarahkan untuk menciptakan proyek-proyek yang bisa dikerjakan masyarakat setempat. "Bila pandemi sudah selesai dan ekonomi sudah mulai pulih, maka pemerintah bisa mendorong kembali konsep link and match yang masih lemah dengan berbagai pelatihan,’’ katanya. (Baca juga: Media Amerika: China dan Natuna AlasanIndonesia beli Osprey V-22 AS)

Faisal menandaskan, program Kartu Prakerja secara teoretis merupakan program baik yang bertujuan membantu menjembatani masalah link and match antara lulusan sekolah dan industri. Namun, karena banyak bermasalah dan kondisi pandemi program itu tidak cocok. "Sebab, penganggurannya bukan karena masalah link and match, tetapi karena pemutusan hubungan kerja (PHK)," ucapnya.

Dia kemudian menuturkan banyaknya pengangguran dari kalangan usia muda dan produktif karena mereka minim pengalaman. Hal ini berbeda dengan kalangan tenaga kerja di atas 25 tahun karena umumnya mereka sudah pernah bekerja atau memiliki pengalaman. Di sisi lain, demografi penduduk dengan usia di atas 25 tahun makin sedikit. Salah satu penyebab tingginya pengangguran itu lantaran banyak anak saat ini sudah bisa mengenyam pendidikan sekolah. Dulunya hanya sampai di bangku SD, sekarang sudah banyak yang bersekolah di level SMP dan SMA/SMK.

"Kondisi itu mengerek tingkat pengangguran juga makin naik dari segi tingkat usia. Secara khusus, kenaikan itu terjadi pada usia 20-30 tahun dengan kategori terdidik, pendidikan minimal SMA," katanya.

Pemicu lain yaitu umumnya kalangan muda usia 20 ke atas memiliki ekspektasi memperoleh pekerjaan formal dengan harapan penghasilan lebih baik dan stabil dibandingkan pekerjaan informal. Namun, persaingan di level itu justru semakin ketat. (Baca juga: Lebih Mematikan dari Covid-19, pes Paksa China Tutup Semua Tempat Wisata)

Kondisi itu berbeda dengan usia 15-19 tahun yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan lulusan SD/SMP. Menurut Faisal, kelompok terakhir ini tidak punya ekspektasi tinggi untuk pekerjaan. Mereka cenderung berpikir praktis untuk mencari kerja di sektor informal seperti berdagang, sopir, buruh tani, kuli, dan lainnya.

“Jadi, mereka lebih tahu diri, enggak berpikir untuk cari kerja formal. Bagi mereka, yang penting dapat kerjaan. Makanya, golongan ini tingkat penganggurannya lebih rendah,” paparny.

Sebelumnya, Menaker Ida Fauziyah di depan DPR mengungkapkan adanya peningkatan angka pengangguran sebagai dampak pandemi korona. Jika pada Februari 2020 pengangguran terbuka berjumlah 6,88 juta orang atau 4,99% dari angkatan kerja, setelah muncul wabah korona ada penambahan 1,757 juta lebih penganggur.

Mengaca pada data Februari 2020, dari jumlah pengangguran terbuka, 16,8% di antara merupakan usia muda, yakni antara 15-24. "Di sisi pengangguran, penyumbang terbesar di Indonesia merupakan angkatan kerja usia muda, usia 15 sampai 24 tahun dengan tingkat pendidikan SMA dan SMK," ujar Ida di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (8/7/2020).

Mantan Ketua Umum PP Fatayat NU ini juga mengungkapkan, berdasarkan kategori wilayah, daerah yang mempunyai angka pengangguran paling banyak ialah Banten, Jawa Barat, dan Maluku. Hal ini berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian Ketenagakerjaan hingga 27 Mei 2020 secara total baik pekerja formal maupun informal yang terdampak.

Untuk itu, pemerintah bersama stakeholder ketenagakerjaan berupaya meningkatkan kompetensi dan produktivitas serta menjaga kekondusifan hubungan industrial juga berbagai program perluasan kesempatan kerja di masyarakat. "Ini yang memang kita harapkan," ucapnya.

Sebelum pandemi corona menerjang, upaya menekan tingkat pengangguran terbuka sebenarnya sudah membuahkan hasil. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020 tingkat pengangguran terbuka turun tipis dari 5,01% menjadi 4,99%. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, penurunan itu terjadi di perkotaan 0,15%, di perdesaan malah terjadi kenaikan 0,10% dalam setahun terakhir.

BPS juga mengungkapkan, sampai Februari 2020, tingkat pengangguran terbuka di perkotaan 6,15%, sedangkan pedesaan 3,55%. Berdasarkan usia, tingkat pengangguran terbuka berumur 15-24 tahun berada di level tertinggi dibanding kelompok umur lain, yaitu 16,28%. (Baca juga: Enam Penculik ABG Diringkus Polres Pasuruan)

Berkebalikan dengan itu tingkat pengangguran terbuka penduduk lansia (60 tahun ke atas) paling kecil di antara semua kelompok umur, yaitu 1,08%. "Dibanding tahun sebelumnya, terjadi peningkatan tingkat pengangguran terbuka usia muda, yaitu sebesar 0,90% poin," tutur Suhariyanto.

Dari sisi pendidikan, tingkat pengangguran terbuka dari lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) masih yang paling tinggi di antara tingkat pendidikan lain (8,49%), yang terendah pada jenjang pendidikan SD ke bawah (2,64%). Di lain sisi, jumlah angkatan kerja sampai Februari lalu naik 1,73 juta orang menjadi 137,91 juta orang atau meningkat dibanding Februari 2019 yang sebesar 136,18 juta orang.

Investasi Tak Sebanding

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, jauh sebelum pandemi Covid-19 penyerapan tenaga kerja Indonesia sudah bermasalah. Kendati investasi setiap tahunnya selalu meningkat, namun tidak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja.

Dia menyebutkan, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi pada 2013 mencapai Rp389,3 triliun dengan tenaga kerja terserap sebanyak 1,8 juta.

Setahun kemudian investasi mencapai Rp463 triliun dengan penyerapan tenaga kerjanya 1,43 juta orang. Kemudian pada 2018, total investasi yang masuk mencapai Rp721,3 triliun. Namun, jumlah tenaga kerja yang terserap hanya 960.052, melorot hampir setengahnya. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstadisi ke Indonesia, Simak Kronologisnya)

“Ini karena investasi yang masuk dalam lima tahun terakhir adalah padat modal dan trading. Jadi, tidak banyak investasi pada sektor manufaktur dan padat karya. Ini cenderung seperti itu, akhirnya negara ini akan menjadi negara perdagangan, bukan produsen. Manufaktur dan padat karya tidak tumbuh,” pungkasnya.

Apindo menyebutkan, di masa pandemi Covid-19, jumlah pekerja yang mengalami PHK dan dirumahkan mencapai 6 juta orang. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan insentif pada masyarakat umum dan dunia usaha agar perekonomian kembali bergerak.

Menurut Danang, masa kenormalan baru tidak membuat semua menjadi sempurna seperti semula. Di sektor ekonomi, kembalinya aktivitas ekonomi dipastikan tidak akan 100%. “Kita tidak bisa berharap banyak (situasi seperti ini), tapi semua perusahaan, outlet, dan department store harus bertahan di masa sulit ini,” ucapnya. (Faorick Pakpahan/F W Bahtiar/Michele Natallia)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1326 seconds (0.1#10.140)