11 Pasal Bermasalah di RKUHP versi Koalisi Masyarakat Sipil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat sipil yang terdiri atas sejumlah LSM menggelar jalan sehat sebagai sarana kampanye menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( RKUHP ), Minggu (27/11/2022) pagi. Setidaknya ada 10 pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP.
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, RKUHP masib memuat pasal bermasalah. Setidaknya ada 11 pasal yang bermasalah di dalamnya.
"Pertama, pasal terkait living law. Pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah karena adanya aturan menuruti penguasa masing-masing daerah," kata Isnur dalam keterangannya, Minggu (27/11/2022).
Dia menilai kaum perempuan dan kelompok rentan lain merupakan pihak yang berpotensi dirugikan atas keberadaan pasal tersebut. sebab banyak perda yang diskriminatif.
Kedua pasal terkait pidana mati. Baginya, klausul terkait hukuman pidana mati harus ditiadakan dalam RKUHP karena telah ada contoh kasus pidana mati yang ternyata salah eksekusi.
Di sisi lain, legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia. Isnur merasa, nyawa seseorang tak dapat dikurangi atau dicabut oleh siapa pun termasuk negara.
"Ketiga pasal terkait perampasan aset untuk denda individu. Hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa," ucap Isnur.
Ia menilai, metode hukuman kumulatif itu merupakan caalra yang kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untuk memeras rakyat.
"Keempat pasal penghinaan terhadap presiden. Pasal ini adalah pasal anti kritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada pidana," tutur Isnur.
Kelima, pasal peghinaan lembaga negara dan pemerintah. Isnur menilai, pasal itu menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial.
"Keenam pasal terkait contempt of court. Pasal ini akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa," ujar Isnur.
Menurutnya, pasal itu berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban. Ia merasa, para pihak di ruang sidang dapat dijerat pasal itu bila dianggap menyerang integritas hakim.
"Ketujuh, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Aturan ini juga termasuk sebagai pasal anti kritik karena masyarakat yang menuntut haknya justru bisa dihadiahi dengan penjara," terang Isnur.
Kedelapan, Pasal terkait edukasi kontrasepsi. Menuritnya, pasal ini berpotensi mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi. "Aturan ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orangtua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi," ucapnya.
Kesembilan, pasal terkait kesusilaan. Baginya, pasal itu bahaya lantaran berpotensi rentan mengkriminalisasi seseorang. Kesepuluh, pasal terkait tindak pidana agama.
"Pasal ini mengekang kekebasan beragama dan kepercayaan seseorang. Persoalan agama atau hubungan antar manusia merupakan urusan personal. Apabila RKUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik," ucap Isnur.
Terakhir, pasal terkait penyebaran marxisme dan leninisme, dan bertentangan dengan Pancasila. "Aturan ini dapat mengekang kebebasan akademik dan akan mudah digunakan untuk membungkam oposisi dan masyarakat yang kritis," tandasnya.
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, RKUHP masib memuat pasal bermasalah. Setidaknya ada 11 pasal yang bermasalah di dalamnya.
"Pertama, pasal terkait living law. Pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah karena adanya aturan menuruti penguasa masing-masing daerah," kata Isnur dalam keterangannya, Minggu (27/11/2022).
Dia menilai kaum perempuan dan kelompok rentan lain merupakan pihak yang berpotensi dirugikan atas keberadaan pasal tersebut. sebab banyak perda yang diskriminatif.
Kedua pasal terkait pidana mati. Baginya, klausul terkait hukuman pidana mati harus ditiadakan dalam RKUHP karena telah ada contoh kasus pidana mati yang ternyata salah eksekusi.
Di sisi lain, legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia. Isnur merasa, nyawa seseorang tak dapat dikurangi atau dicabut oleh siapa pun termasuk negara.
"Ketiga pasal terkait perampasan aset untuk denda individu. Hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa," ucap Isnur.
Ia menilai, metode hukuman kumulatif itu merupakan caalra yang kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untuk memeras rakyat.
"Keempat pasal penghinaan terhadap presiden. Pasal ini adalah pasal anti kritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pada pidana," tutur Isnur.
Kelima, pasal peghinaan lembaga negara dan pemerintah. Isnur menilai, pasal itu menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial.
"Keenam pasal terkait contempt of court. Pasal ini akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa," ujar Isnur.
Menurutnya, pasal itu berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban. Ia merasa, para pihak di ruang sidang dapat dijerat pasal itu bila dianggap menyerang integritas hakim.
"Ketujuh, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Aturan ini juga termasuk sebagai pasal anti kritik karena masyarakat yang menuntut haknya justru bisa dihadiahi dengan penjara," terang Isnur.
Kedelapan, Pasal terkait edukasi kontrasepsi. Menuritnya, pasal ini berpotensi mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi. "Aturan ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orangtua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi," ucapnya.
Kesembilan, pasal terkait kesusilaan. Baginya, pasal itu bahaya lantaran berpotensi rentan mengkriminalisasi seseorang. Kesepuluh, pasal terkait tindak pidana agama.
"Pasal ini mengekang kekebasan beragama dan kepercayaan seseorang. Persoalan agama atau hubungan antar manusia merupakan urusan personal. Apabila RKUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik," ucap Isnur.
Terakhir, pasal terkait penyebaran marxisme dan leninisme, dan bertentangan dengan Pancasila. "Aturan ini dapat mengekang kebebasan akademik dan akan mudah digunakan untuk membungkam oposisi dan masyarakat yang kritis," tandasnya.
(muh)