Game Changer, Tuntutan atau Tantangan?
loading...
A
A
A
I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom
Pranata Humas Ahli Muda/Sub Koordinator Komunikasi Pimpinan Biro Administrasi Pimpinan Setda Provinsi Jatim
Ada satu fenomena yang tampak dan sedang terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan kita, yakni perubahan yang begitu cepat seperti sebuah revolusi peradaban. Fenomena yang menuntut setiap individu untuk menjadi agen perubahan ( game changer ) atau objek dari perubahan itu sendiri.
Sejatinya, perubahan bukan anomali. Manusia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mulai lahir, lalu menjadi remaja, dewasa, hingga masuk pada kehidupan bekerja. Perubahan terjadi secara berkala dan tidak bisa dihindari. Manusia menikmati proses itu.
Berbeda dengan perubahan peradaban yang dipengaruhi perkembangan teknologi. Prosesnya begitu cepat. Tak jarang, manusia harus mengernyitkan dahi. Sebab, munculnya perubahan terjadi secara bergiliran. Memahami satu aspek perubahan tidak cukup. Ada aspek lain yang juga muncul secara bersamaan.
Karena itu, menjadi subjek dari proses perubahan tidak mudah. Namun, fenomena itu harus dihadapi. Ketika teknologi semakin pesat perkembangannya, membuat perubahan di berbagai lini juga mengikuti dengan cepat. Era disrupsi pun menjadi hal yang tak terelakkan. Wajar jika kemudian muncul pertanyaan: game changer, tuntutan atau sebuah tantangan.
Definisi tuntutan adalah satu kewajiban yang harus dijalani seseorang. Lalu tantangan, adalah sebuah fenomena yang muncul untuk kemudian dihadapi dengan adanya motivasi untuk menaklukkan. Dua pilihan berbeda yang dihadapkan masyarakat saat ini.
Lantas berbagai game changer pun bermunculan di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Di Jatim ada Cleona Einar Maulidiva yang telah mengantongi 90 medali dalam berbagai kompetisi Olimpiade Matematika dan Sains.
Generasi milenial juga harus berani menjadi game changer atau agen perubahan. Apalagi saat ini semua dipermudah dengan teknologi. Hal tersebut semakin lengkap dengan menguasai ilmu pengetahuan.
Indonesia butuh lebih banyak game changer yang menjadi inisiator dan dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Tentunya game changer ini diharapkan mengubah jalannya permainan perubahan peradaban, bahkan memunculkan sebuah realitas dan kesadaran baru.
Tugas pembangunan dari pemerintah beserta segenap kekuatan masyarakat sipil, perguruan tinggi, aktor ekonomi, akademisi, media massa menata pembangunan yang berbasis keadilan.
Pasalnya, game changer tidak bisa muncul secara tiba-tiba. Mereka harus terus diupayakan dengan menciptakan ekosistem yang menunjang dan benar-benar memperhatikan kualitas hidup para generasi muda.
Untuk membentuk karakter para game changer perlu pendampingan dengan metode berbeda. Bisa jadi, metode teaching tak lagi relevan. Konsep learning menjadi cara yang dianggap mampu menunjang pembentukan karakter tersebut.
Teaching maupun learning merupakan metode yang akrab dengan dunia pembelajaran formal dan nonformal. Guru merupakan subjek yang paling lekat dengan metode tersebut. Karena itu, guru adalah elemen yang sangat penting dalam menjawab permasalahan itu.
Pemerintah sudah memberi ruang berupa konsep Merdeka Belajar. Konsep itu merupakan ruang bagi siswa untuk mendalami kompetensi sehingga mereka menjadi pakar di bidangnya.
Hanya, banyak guru yang belum bisa mengambil intisari dari Merdeka Belajar. Guru tetap masih mengedepankan metode teaching. Mereka berperan sebagai tutor, bukan mitra siswa dalam mendalami kompetensinya.
Tak jarang seorang siswa dianggap bodoh, menyimpang, tak disiplin hanya karena pola pikir tak sesuai dengan kaidah yang dipahami guru. Padahal, bisa jadi pola pikir itu yang menjadi jalan masuk pemikiran siswa dalam menguasai bidangnya. Pada kasus seperti ini, guru sebagai mitra hendaknya mengarahkan sehingga siswa bisa semakin menemukan jalannya.
Dari gambaran itu, sangat jelas bahwa mewujudkan game changer membutuhkan sentuhan para guru yang tepat dalam mengoptimalkan perannya. Sebab, game changer merupakan tuntutan yang harus dilalui, bukan tantangan yang harus dihindari.
Pranata Humas Ahli Muda/Sub Koordinator Komunikasi Pimpinan Biro Administrasi Pimpinan Setda Provinsi Jatim
Ada satu fenomena yang tampak dan sedang terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan kita, yakni perubahan yang begitu cepat seperti sebuah revolusi peradaban. Fenomena yang menuntut setiap individu untuk menjadi agen perubahan ( game changer ) atau objek dari perubahan itu sendiri.
Sejatinya, perubahan bukan anomali. Manusia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mulai lahir, lalu menjadi remaja, dewasa, hingga masuk pada kehidupan bekerja. Perubahan terjadi secara berkala dan tidak bisa dihindari. Manusia menikmati proses itu.
Berbeda dengan perubahan peradaban yang dipengaruhi perkembangan teknologi. Prosesnya begitu cepat. Tak jarang, manusia harus mengernyitkan dahi. Sebab, munculnya perubahan terjadi secara bergiliran. Memahami satu aspek perubahan tidak cukup. Ada aspek lain yang juga muncul secara bersamaan.
Baca Juga
Karena itu, menjadi subjek dari proses perubahan tidak mudah. Namun, fenomena itu harus dihadapi. Ketika teknologi semakin pesat perkembangannya, membuat perubahan di berbagai lini juga mengikuti dengan cepat. Era disrupsi pun menjadi hal yang tak terelakkan. Wajar jika kemudian muncul pertanyaan: game changer, tuntutan atau sebuah tantangan.
Definisi tuntutan adalah satu kewajiban yang harus dijalani seseorang. Lalu tantangan, adalah sebuah fenomena yang muncul untuk kemudian dihadapi dengan adanya motivasi untuk menaklukkan. Dua pilihan berbeda yang dihadapkan masyarakat saat ini.
Lantas berbagai game changer pun bermunculan di tingkat daerah, nasional maupun internasional. Di Jatim ada Cleona Einar Maulidiva yang telah mengantongi 90 medali dalam berbagai kompetisi Olimpiade Matematika dan Sains.
Generasi milenial juga harus berani menjadi game changer atau agen perubahan. Apalagi saat ini semua dipermudah dengan teknologi. Hal tersebut semakin lengkap dengan menguasai ilmu pengetahuan.
Indonesia butuh lebih banyak game changer yang menjadi inisiator dan dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Tentunya game changer ini diharapkan mengubah jalannya permainan perubahan peradaban, bahkan memunculkan sebuah realitas dan kesadaran baru.
Tugas pembangunan dari pemerintah beserta segenap kekuatan masyarakat sipil, perguruan tinggi, aktor ekonomi, akademisi, media massa menata pembangunan yang berbasis keadilan.
Pasalnya, game changer tidak bisa muncul secara tiba-tiba. Mereka harus terus diupayakan dengan menciptakan ekosistem yang menunjang dan benar-benar memperhatikan kualitas hidup para generasi muda.
Untuk membentuk karakter para game changer perlu pendampingan dengan metode berbeda. Bisa jadi, metode teaching tak lagi relevan. Konsep learning menjadi cara yang dianggap mampu menunjang pembentukan karakter tersebut.
Teaching maupun learning merupakan metode yang akrab dengan dunia pembelajaran formal dan nonformal. Guru merupakan subjek yang paling lekat dengan metode tersebut. Karena itu, guru adalah elemen yang sangat penting dalam menjawab permasalahan itu.
Pemerintah sudah memberi ruang berupa konsep Merdeka Belajar. Konsep itu merupakan ruang bagi siswa untuk mendalami kompetensi sehingga mereka menjadi pakar di bidangnya.
Hanya, banyak guru yang belum bisa mengambil intisari dari Merdeka Belajar. Guru tetap masih mengedepankan metode teaching. Mereka berperan sebagai tutor, bukan mitra siswa dalam mendalami kompetensinya.
Tak jarang seorang siswa dianggap bodoh, menyimpang, tak disiplin hanya karena pola pikir tak sesuai dengan kaidah yang dipahami guru. Padahal, bisa jadi pola pikir itu yang menjadi jalan masuk pemikiran siswa dalam menguasai bidangnya. Pada kasus seperti ini, guru sebagai mitra hendaknya mengarahkan sehingga siswa bisa semakin menemukan jalannya.
Dari gambaran itu, sangat jelas bahwa mewujudkan game changer membutuhkan sentuhan para guru yang tepat dalam mengoptimalkan perannya. Sebab, game changer merupakan tuntutan yang harus dilalui, bukan tantangan yang harus dihindari.
(zik)