Djoko Tjandra Punya e-KTP, Komisi III DPR: Sangat Memalukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proses pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Djoko Sugiarto Tjandra di Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan yang terbilang cepat terus mendapatkan sorotan. Kali ini, anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto yang mengkritisinya.
Pembuatan e-KTP buronan kasus pengalihan hak tagih Bank Bali itu hanya memakan waktu 1 jam 19 menit berdasarkan klaim Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. "Kabar yang sangat memprihatinkan, mengenaskan, memalukan, dan menambah potret buruk penegakan hukum, koordinasi dan sinergi lintas kementerian atau lembaga," tandas Didik Mukrianto kepada SINDOnews, Rabu (8/7/2020). (Baca juga: Kejar Djoko Tjandra, Mahfud MD Bakal Panggil Empat Institusi)
Didik mengatakan, tidak heran kalau ada anggapan bahwa sistem berbasis IT yang dibangun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) masih ramah terhadap kejahatan, atau setidak-tidaknya ada potensi Imigrasi kalah dengan penjahat. "Dan ini bukan kali ini saja, polemik kasus Harun Masiku yang menyangkut kinerja sistem yang dibangun Imigrasi juga menjadi potret buruk kinerja sistem di Imigrasi," tandasnya.
Didik menambahkan, dengan alasan apapun, harusnya Kemenkumham segera menyadari, mengevaluasi, dan menyempurnakan bangunan sistem keimigrasian baik yang berbasis sumber daya manusia dan perangkat teknologinya, termasuk melakukan audit teknologi agar tidak dimanipulasi. "Jangan sampai ada anggapan bahwa sistem IT yang dibangun Kemenkumham di Imigrasi untuk melindungi penjahat dan kejahatan," ujar Kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP Partai Demokrat ini.
Di samping itu, proses kilat pembuatan e-KTP Djoko Tjandra itu dianggap menjadi potret yang sangat buruk terkait dengan sinergi dan daya dukung Kemenkumham kepada penegak hukum Kejaksaan dalam memberantas kejahatan terhadap negara.
Dia mengatakan, setelah sekian lama Djoko Tjandra memperdaya negara, pemerintah, dan rakyat Indonesia dengan segala kejahatannya, kesekian kalinya negara, pemerintah dan rakyat Indonesia diperdaya dengan mudahnya masuk ke Indonesia.
"Kejadian ini seharusnya mampu menggugah political will pemimpin kita, presiden kita, aparat penegak hukum kita. Logikanya kalau Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia, apabila ada political will dari pemimpin kita dan ada kesungguhan dari Kepolisian untuk memburu Djoko Tjandra, jejaknya tidak akan hilang dan mudah ditelusuri, apalagi saya dengar pengacara Djoko Tjandra mengaku pernah ketemu di Indonesia," katanya.
Selanjutnya, kata Didik, karena Djoko Tjandra sedang mengajukan upaya peninjauan kembali (PK), tanpa bermaksud untuk mengintervensi independensi hakim agung dalam memeriksa PK tersebut, ada bijaknya berbagai kejahatan termasuk kejahatan imigrasi Djoko Tjandra menjadi pertimbangan dalam memberikan keputusan.
Sekadar diketahui, Djoko Tjandra kabur sebelum dieksekusi hukuman dua tahun penjara pada 2009. Kini, Djoko Tjandra kembali menjadi sorotan karena berada di Indonesia pada 8 Juni 2020. Dia dikabarkan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pembuatan e-KTP buronan kasus pengalihan hak tagih Bank Bali itu hanya memakan waktu 1 jam 19 menit berdasarkan klaim Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. "Kabar yang sangat memprihatinkan, mengenaskan, memalukan, dan menambah potret buruk penegakan hukum, koordinasi dan sinergi lintas kementerian atau lembaga," tandas Didik Mukrianto kepada SINDOnews, Rabu (8/7/2020). (Baca juga: Kejar Djoko Tjandra, Mahfud MD Bakal Panggil Empat Institusi)
Didik mengatakan, tidak heran kalau ada anggapan bahwa sistem berbasis IT yang dibangun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) masih ramah terhadap kejahatan, atau setidak-tidaknya ada potensi Imigrasi kalah dengan penjahat. "Dan ini bukan kali ini saja, polemik kasus Harun Masiku yang menyangkut kinerja sistem yang dibangun Imigrasi juga menjadi potret buruk kinerja sistem di Imigrasi," tandasnya.
Didik menambahkan, dengan alasan apapun, harusnya Kemenkumham segera menyadari, mengevaluasi, dan menyempurnakan bangunan sistem keimigrasian baik yang berbasis sumber daya manusia dan perangkat teknologinya, termasuk melakukan audit teknologi agar tidak dimanipulasi. "Jangan sampai ada anggapan bahwa sistem IT yang dibangun Kemenkumham di Imigrasi untuk melindungi penjahat dan kejahatan," ujar Kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP Partai Demokrat ini.
Di samping itu, proses kilat pembuatan e-KTP Djoko Tjandra itu dianggap menjadi potret yang sangat buruk terkait dengan sinergi dan daya dukung Kemenkumham kepada penegak hukum Kejaksaan dalam memberantas kejahatan terhadap negara.
Dia mengatakan, setelah sekian lama Djoko Tjandra memperdaya negara, pemerintah, dan rakyat Indonesia dengan segala kejahatannya, kesekian kalinya negara, pemerintah dan rakyat Indonesia diperdaya dengan mudahnya masuk ke Indonesia.
"Kejadian ini seharusnya mampu menggugah political will pemimpin kita, presiden kita, aparat penegak hukum kita. Logikanya kalau Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia, apabila ada political will dari pemimpin kita dan ada kesungguhan dari Kepolisian untuk memburu Djoko Tjandra, jejaknya tidak akan hilang dan mudah ditelusuri, apalagi saya dengar pengacara Djoko Tjandra mengaku pernah ketemu di Indonesia," katanya.
Selanjutnya, kata Didik, karena Djoko Tjandra sedang mengajukan upaya peninjauan kembali (PK), tanpa bermaksud untuk mengintervensi independensi hakim agung dalam memeriksa PK tersebut, ada bijaknya berbagai kejahatan termasuk kejahatan imigrasi Djoko Tjandra menjadi pertimbangan dalam memberikan keputusan.
Sekadar diketahui, Djoko Tjandra kabur sebelum dieksekusi hukuman dua tahun penjara pada 2009. Kini, Djoko Tjandra kembali menjadi sorotan karena berada di Indonesia pada 8 Juni 2020. Dia dikabarkan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
(nbs)