Melahirkan Generasi Pahlawan Lingkungan
loading...
A
A
A
Menjadi pahlawan lingkungan tidak selalu harus menjadi aktivis seperti dalam banyak padangan orang, yakni orang yang mencurahkan waktu dan energinya terlibat dalam satu gerakan atau organisasi lingkungan. Menjadi pahlawan lingkungan juga bisa dilakukan oleh setiap individu dengan cara meminimalkan produksi sampah di tingkat diri pribadi masing-masing.
Gaya hidup less plastic kini banyak dikampanyekan oleh aktivis peduli lingkungan hidup, tak terkecuali kami yang tergabung dalam relawan Gerakan Selayar Bebas Sampah Plastik. Ini sebuah social movement yang kami gagas di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, di mana penulis menjadi pendiri gerakan.
Dalam perjalanan gerakan kami, semua individu terutama relawan didorong untuk menganut gaya hidup tanpa plastik dengan memakai tumbler, mengganti kantong plastik dengan material ramah lingkungan, tidak memakai produk plastik sekali pakai seperti sedotan dan styrofoam, serta menahan diri untuk mengonsumsi produk yang kemudian akan menghasilkan residu.
Selanjutnya berupaya semaksimal mungkin untuk tidak mengirim sampah ke TPA. Sampah sebisa mungkin diolah menjadi kompos atau ecobrick di tengah kondisi belum adanya pengelolaan sampah yang ideal dihampir seluruh TPA di Indonesia.
Value ini menjadi syarat mutlak untuk para relawan kami di Selayar Bebas Sampah Plastik. Gaya hidup tersebut merupakan “jalan sunyi” di tengah situasi di mana hampir semua kita terlanjur ada dalam zona nyaman memakai dan membeli produk plastik yang sebetulnya akan berujung pada kian massifnya sampah plastik yang dibuang ke lingkungan.
Sudah bukan waktunya menyerahkan bulat-bulat penanganan dan upaya mengatasi sampah plastik kepada pemangku kepentingan, meskipun upaya membangun kesadaran tadi, pun otoritasnya tetap ada pada pemerintah di berbagai tingkatan, dengan cara membuat berbagai regulasi, program, dan sistem yang terintegrasi.
Upaya membangun kesadaran idealnya dititikberatkan kepada anak muda. Dari serangkaian program Selayar Bebas Sampah Plastik, 80% sasarannya adalah anak muda dan remaja. Mengapa? Terlepas dari status yang melekat pada anak muda sebagai agen perubahan, disadari atau tidak, anak muda juga akan menjadi “korban” dari kondisi yang sedang berlangsung.
Ellen MacArthur Foundation yang berkedudukan di Inggris, mengeluarkan laporan pada World Economic Forum pada 2015 lalu bahwa jika konsumsi plastik kita tidak berubah, maka jumlah plastik di laut akan lebih banyak dibandingkan dengan populasi ikan pada 2050 mendatang.
Belum lagi ancaman lain seperti pemanasan global, abrasi karena kenaikan debit air laut, tercemarnya udara oleh mikroplastik akibat sampah yang tidak terkelolah dan kemudian hancur membentuk partikel-partikel kecil.
Artinya anak muda berpotensi mendapatkan kondisi bumi yang semakin tidak layak di masa mendatang. Pesan ini yang terus kami kirimkan sehingga dalam proses mencari jatidiri, dengan penuh kesadaran anak muda mampu mengambil posisi penting sebagai pahlawan masa kini.
Gaya hidup less plastic kini banyak dikampanyekan oleh aktivis peduli lingkungan hidup, tak terkecuali kami yang tergabung dalam relawan Gerakan Selayar Bebas Sampah Plastik. Ini sebuah social movement yang kami gagas di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, di mana penulis menjadi pendiri gerakan.
Dalam perjalanan gerakan kami, semua individu terutama relawan didorong untuk menganut gaya hidup tanpa plastik dengan memakai tumbler, mengganti kantong plastik dengan material ramah lingkungan, tidak memakai produk plastik sekali pakai seperti sedotan dan styrofoam, serta menahan diri untuk mengonsumsi produk yang kemudian akan menghasilkan residu.
Selanjutnya berupaya semaksimal mungkin untuk tidak mengirim sampah ke TPA. Sampah sebisa mungkin diolah menjadi kompos atau ecobrick di tengah kondisi belum adanya pengelolaan sampah yang ideal dihampir seluruh TPA di Indonesia.
Value ini menjadi syarat mutlak untuk para relawan kami di Selayar Bebas Sampah Plastik. Gaya hidup tersebut merupakan “jalan sunyi” di tengah situasi di mana hampir semua kita terlanjur ada dalam zona nyaman memakai dan membeli produk plastik yang sebetulnya akan berujung pada kian massifnya sampah plastik yang dibuang ke lingkungan.
Sudah bukan waktunya menyerahkan bulat-bulat penanganan dan upaya mengatasi sampah plastik kepada pemangku kepentingan, meskipun upaya membangun kesadaran tadi, pun otoritasnya tetap ada pada pemerintah di berbagai tingkatan, dengan cara membuat berbagai regulasi, program, dan sistem yang terintegrasi.
Upaya membangun kesadaran idealnya dititikberatkan kepada anak muda. Dari serangkaian program Selayar Bebas Sampah Plastik, 80% sasarannya adalah anak muda dan remaja. Mengapa? Terlepas dari status yang melekat pada anak muda sebagai agen perubahan, disadari atau tidak, anak muda juga akan menjadi “korban” dari kondisi yang sedang berlangsung.
Ellen MacArthur Foundation yang berkedudukan di Inggris, mengeluarkan laporan pada World Economic Forum pada 2015 lalu bahwa jika konsumsi plastik kita tidak berubah, maka jumlah plastik di laut akan lebih banyak dibandingkan dengan populasi ikan pada 2050 mendatang.
Belum lagi ancaman lain seperti pemanasan global, abrasi karena kenaikan debit air laut, tercemarnya udara oleh mikroplastik akibat sampah yang tidak terkelolah dan kemudian hancur membentuk partikel-partikel kecil.
Artinya anak muda berpotensi mendapatkan kondisi bumi yang semakin tidak layak di masa mendatang. Pesan ini yang terus kami kirimkan sehingga dalam proses mencari jatidiri, dengan penuh kesadaran anak muda mampu mengambil posisi penting sebagai pahlawan masa kini.