Ahli Masalah PBNU dan Gus Yahya: Seputar R20 yang Disalahpahami
loading...
A
A
A
Ishaq Zubaedi Raqib
Jurnalis Senior dan Ketua LTN--Lembaga Infokom dan Publikasi PBNU
DALAM setahun terakhir, paling kurang, ada pihak yang mendadak jadi sangat "ahli" mengenai masalah-masalah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) masa khidmah 2022-2027. Teristimewa penguasaan "ilmunya" atas hal-hal yang terkait Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf. Figur dan langkah Gus Yahya--sapaan KH Yahya Staquf, ditelisik dan diberi beragam perspektif melampaui batas "normal" yang jamak diketahui masyarakat.
Ketika menyatakan siap maju dalam Muktamar NU pada akhir Desember 2021 lalu di Bandar Lampung lalu, Gus Yahya dihadang dengan sejumlah isu. Salah satunya dia dianggap tidak bisa memenuhi kualifikasi karena tidak berangkat dari organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU. Dianggap anak terbuang dan karenanya tidak berhak memperoleh kesempatan maju dalam kontestasi di Muktamar. Tapi, Gus Yahya tetap melenggang dan terbukti menang.
***
Tiga dekade silam, orang mengenal nama Hans Bague (HB) Jassin. Atau yang lebih junior, Pamusuk Eneste. Keduanya disebut kritikus karena penguasaan mereka atas leksikon tokoh-tokon sastra nasional. Dari Pamusuk, orang-orang bisa mengenal, Utuy Tatang Sontani, misalnya. Atau nama Pramoedya Ananta Toer. Atau Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail. Atau generasi di bawahnya seperti cerpenis Korrie Layun Rampai.
Penulis mengenal dua nama ini sejak kelas 2 tsanawiyah di pondok. Kritikus macam Pamusuk Eneste, sudah lama tidak terdeteksi analisis dan karyanya. Digantikan oleh pegiat survei politik seperti Denny JA, Saiful Mujani, Hanta Yudha, Yunarto Wijaya atau Hasanuddin Ali. Nah, yang belakangan adalah kritikus soal PBNU dan Gus Yahya. Demikian luas coverage "ilmunya" soal PBNU hingga nyaris setiap niat baik, program dan agenda, diberi catatan, kritik, bahkan kecaman.
Soal R20
Bahkan dalam sehari dua, kritiknya deras mengalir. Seperti air bah yang tiada pilih-pilih sasaran. Diterjang. Tidak tampak dari perspektif yang dibuat bertujuan untuk mendapat feedback positif demi pengayaan apalagi untuk memberi perspektif. Sudut pandang yang digunakan, sering berangkat dari kaca mata politik. Tepatnya politik praktis dan politik kekuasaan. Dari sejumlah kritiknya, belum ditemui adanya diskursus yang memancing terjadinya dialektika. Termasuk masalah R20.
Ketika menggagas penyelenggaraan forum para agamawan di Bali dan Yogyakarta itu, Gus Yahya dalam sekian tahun menemui banyak tokoh. Dalam dan luar negeri. Dari Eropa ke Amerika Serikat. Dari Asia Timur hingga negara-negara Gurun Sahara. Dari tokoh garis keras seperti David Saperstein hingga cendekiawan moderat seperti Ahmet T Kuru. Dari Partai Demokrat dan Republik di AS hingga Rabithah Alam Islami di KSA.
Dari rihlahnya itu, Gus Yahya sampai pada sejumlah postulat mengenai pentingnya segera dibangun pola pikir baru untuk mendapatkan cara-cara paling mendekati kebutuhan esesial manusia di abad ini. Sudut pandang yang digunakan, antara lain, adalah sejarah peperangan di masa Khilafah Umawiyah, Abasiyah, dan Utsmaniyah. Perang Eropa, Perang Dunia Pertama, dan Kedua. Hingga perang modern seperti Rusia melawan Ukraina.
Pada perang-perang tersebut, di manakah gerangan para agamawan berada? Atas dasar kepentingan politik dan kekuasaan, sejumlah agamawan berdiri bersama para penguasa. Lewat sejumlah ortodoksi yang ditafsir dari firman Tuhan, para oligarkh dan penguasa memetik rente politik. Semua upaya mempertahankan posisi politik dan kekuasaan, memperoleh justifikasi teologis. Banyak ulama fikih lahir di zaman perang, di era kekhilafahan itu.
Jurnalis Senior dan Ketua LTN--Lembaga Infokom dan Publikasi PBNU
DALAM setahun terakhir, paling kurang, ada pihak yang mendadak jadi sangat "ahli" mengenai masalah-masalah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) masa khidmah 2022-2027. Teristimewa penguasaan "ilmunya" atas hal-hal yang terkait Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf. Figur dan langkah Gus Yahya--sapaan KH Yahya Staquf, ditelisik dan diberi beragam perspektif melampaui batas "normal" yang jamak diketahui masyarakat.
Ketika menyatakan siap maju dalam Muktamar NU pada akhir Desember 2021 lalu di Bandar Lampung lalu, Gus Yahya dihadang dengan sejumlah isu. Salah satunya dia dianggap tidak bisa memenuhi kualifikasi karena tidak berangkat dari organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU. Dianggap anak terbuang dan karenanya tidak berhak memperoleh kesempatan maju dalam kontestasi di Muktamar. Tapi, Gus Yahya tetap melenggang dan terbukti menang.
***
Tiga dekade silam, orang mengenal nama Hans Bague (HB) Jassin. Atau yang lebih junior, Pamusuk Eneste. Keduanya disebut kritikus karena penguasaan mereka atas leksikon tokoh-tokon sastra nasional. Dari Pamusuk, orang-orang bisa mengenal, Utuy Tatang Sontani, misalnya. Atau nama Pramoedya Ananta Toer. Atau Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail. Atau generasi di bawahnya seperti cerpenis Korrie Layun Rampai.
Penulis mengenal dua nama ini sejak kelas 2 tsanawiyah di pondok. Kritikus macam Pamusuk Eneste, sudah lama tidak terdeteksi analisis dan karyanya. Digantikan oleh pegiat survei politik seperti Denny JA, Saiful Mujani, Hanta Yudha, Yunarto Wijaya atau Hasanuddin Ali. Nah, yang belakangan adalah kritikus soal PBNU dan Gus Yahya. Demikian luas coverage "ilmunya" soal PBNU hingga nyaris setiap niat baik, program dan agenda, diberi catatan, kritik, bahkan kecaman.
Soal R20
Bahkan dalam sehari dua, kritiknya deras mengalir. Seperti air bah yang tiada pilih-pilih sasaran. Diterjang. Tidak tampak dari perspektif yang dibuat bertujuan untuk mendapat feedback positif demi pengayaan apalagi untuk memberi perspektif. Sudut pandang yang digunakan, sering berangkat dari kaca mata politik. Tepatnya politik praktis dan politik kekuasaan. Dari sejumlah kritiknya, belum ditemui adanya diskursus yang memancing terjadinya dialektika. Termasuk masalah R20.
Ketika menggagas penyelenggaraan forum para agamawan di Bali dan Yogyakarta itu, Gus Yahya dalam sekian tahun menemui banyak tokoh. Dalam dan luar negeri. Dari Eropa ke Amerika Serikat. Dari Asia Timur hingga negara-negara Gurun Sahara. Dari tokoh garis keras seperti David Saperstein hingga cendekiawan moderat seperti Ahmet T Kuru. Dari Partai Demokrat dan Republik di AS hingga Rabithah Alam Islami di KSA.
Dari rihlahnya itu, Gus Yahya sampai pada sejumlah postulat mengenai pentingnya segera dibangun pola pikir baru untuk mendapatkan cara-cara paling mendekati kebutuhan esesial manusia di abad ini. Sudut pandang yang digunakan, antara lain, adalah sejarah peperangan di masa Khilafah Umawiyah, Abasiyah, dan Utsmaniyah. Perang Eropa, Perang Dunia Pertama, dan Kedua. Hingga perang modern seperti Rusia melawan Ukraina.
Pada perang-perang tersebut, di manakah gerangan para agamawan berada? Atas dasar kepentingan politik dan kekuasaan, sejumlah agamawan berdiri bersama para penguasa. Lewat sejumlah ortodoksi yang ditafsir dari firman Tuhan, para oligarkh dan penguasa memetik rente politik. Semua upaya mempertahankan posisi politik dan kekuasaan, memperoleh justifikasi teologis. Banyak ulama fikih lahir di zaman perang, di era kekhilafahan itu.