Melindungi Plasma Puspa dan Satwa untuk Pembangunan Ekonomi
loading...
A
A
A
Ahmad Baihaqi
Koordinator Edukasi, Fundraising & Outreach Belantara Foundation, Koordinator Bidang Kajian Ilmiah, IKA FABIONA, Alumni Fakultas Biologi dan Program Studi Biologi Sekolah Pascasarajana Universitas Nasional
SETIAP 5 November diperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Peringatan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta, kepedulian, perlindungan serta pelestarian puspa dan satwa nasional atau keanekaragaman hayati (kehati).
Satwa nasional terbagi menjadi tiga jenis yang mewakili satwa darat, air dan udara yaitu komodo (varanus komodoensis) sebagai satwa nasional, ikan siluk merah (Schleropages formosus) sebagai satwa pesona dan elang jawa (Nisaetus bartelsi) sebagai satwa langka. Sedangkan puspa nasional juga terbagi menjadi tiga jenis yaitu melati (Jasminum sambac) sebagai puspa bunga, anggrek bulan (Palaenopsis amabilis) sebagai puspa pesona dan padma raksasa (Rafflesia arnoldi) sebagai puspa langka.
Baca Juga: koran-sindo.com
Tema HCPSN tahun 2022 yaitu “Potensi Plasma Nutfah Puspa dan Satwa Indonesia bagi Pembangunan Ekonomi Nasional”. Tema ini mengingatkan kepada kita bahwa perlindungan plasma puspa dan satwa Indonesia harus dilakukan karena sebagai aset dasar negara bagi pembangunan ekonomi nasional demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Plasma nutfah merupakan substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau satwa serta jasad renik. Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.
Pada tataran global, laporan komprehensif bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) memaparkan status kehati bumi kini kian mengkhawatirkan.
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa saat ini, bumi telah kehilangan lebih dari 80% biomassa satwa menyusui disebabkan oleh kerusakan ekosistem alami yang mengalami kerusakan 100x lebih cepat dari yang terjadi selama 10 juta tahun terakhir. Tanpa kita sadari, penurunan biomassa yang sangat signifikan ini tentunya menimbulkan dampak dan kerugian yang sangat besar untuk seluruh makhluk hidup di bumi.
Menurut Dokumen Rencana Aksi dan Strategi Biodiversitas Indonesia 2015-2020 keunikan geologi dan ekosistem Indonesia menyebabkan tingginya endemisitas fauna, flora dan mikroba. Indonesia memiliki endemisitas jenis fauna tertinggi di dunia untuk beberapa taksa seperti burung, mamalia, reptil dan amfibi.
Fauna endemis Indonesia diperkirakan berjumlah masing-masing 270 jenis mamalia, 386 jenis burung, 328 jenis reptil dan 204 jenis amfibi. Contoh lain adalah distribusi lebah madu.
Lebah madu (apis) di dunia terdapat tujuh jenis, enam diantaranya terdapat di Indonesia kecuali jenis lebah madu Apis florea. Sedangkan tingkat endemisitas flora Indonesia tercatat antara 40-50% dari total jenis flora dari setiap pulau kecuali Pulau Sumatra yang endemisitasnya diperkirakan hanya 23%.
Di samping itu, hasil analisis biografi mamalia kecil yang dilakukan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saat ini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil ternyata memiliki tingkat endemisitas yang sangat tinggi seperti di Pulau Flores, Enggano, Mentawai dan lain-lain. Oleh karena itu, pendataan, identifkasi, pendokumentasian dan eksplorasi pulau-pulau kecil sangat penting karena temuan jenis baru terus meningkat.
Namun, keberadaan puspa dan satwa di ekosistem tidak luput dari ancaman kepunahan. Ancaman terbesar terhadap puspa dan satwa, terutama yang bersifat endemis disebabkan oleh hilangnya habitat.
Kehilangan habitat terutama disebabkan oleh kerusakan habitat, baik karena bencana alam, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan dan perubahan iklim, alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian, pertambangan, industri maupun permukiman dan perburuan puspa dan satwa yang didorong oleh perdagangan secara ilegal.
Keanekaragaman jenis puspa dan satwa serta jasa sistem ekologi memiliki peran penting karena dapat memberikan berbagai manfaat untuk mendukung kehidupan manusia, antara lain sebagai sumber bahan pangan, kesehatan, energi dan memberikan jasa ekosistem yang fungsinya sulit digantikan.
Nilai ekonomi jasa lingkungan ini bersifat estimasi karena sebagian besar nilainya tidak terefleksi ataupun terkuantifikasi secara memadai dalam pasar komersial.
Berdasarkan kategori manfaat, arti penting kehati dibagi menjadi nilai konsumsi, nilai produksi, nilai jasa lingkungan, nilai pilihan dan nilai eksistensi.
Nilai konsumsi merupakan manfaat langsung dari kehati, seperti pangan, sandang dan papan. Contohnya berbagai jenis tumbuhan liar di hutan, seperti pasak bumi (eurycoma longifolia) dan berbagai jenis tanaman obat budi daya seperti jahe (zingiber officinale) sebagai bahan obat tradisional. Nilai ekonomi produk jamu yang beredar di pasar berpotensi mencapai hingga Rp6 triliun.
Selain itu, nilai produksi adalah nilai pasar yang diperoleh dari pengolahan dan perdagangan kehati di pasar lokal, nasional maupun internasional. Misalnya potensi keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh Indonesia dari pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan terumbu karang untuk sektor perikanan, pariwisata, perlindungan pantai dan nilai estetika dapat mencapai setidaknya USD16 miliar/tahun.
Kemudian, kehati juga memberikan jasa lingkungan bagi manusia melalui adanya ekosistem dengan keunikan keanekaragaman di dalamnya. Seperti kemampuan penyimpanan karbon pada ekosistem padang lamun sebesar 830 ton/ha dan hutan di daratan mampu menyimpan karbon sebesar 300 ton/ha.
Nilai pilihan atau nilai potensi merupakan nilai kehati dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa depan. Contohnya beberapa kebun raya di Indonesia mempunyai koleksi 3.000 jenis tumbuhan asli Indonesia dan 50 jenis tumbuhan dalam koleksi tersebut dilaporkan telah memberikan kontribusi yang nyata untuk peningkatan nilai ekonomi, misalnya tebu dan kelapa.
Upaya Pelestarian
Semua pihak, khususnya di Indonesia, dapat berkontribusi dalam melestarikan dan memanfaatkan puspa dan satwa secara berkelanjutan.
Pertama, kontribusi sektor pemerintah yaitu dapat melakukan pengawasan untuk menekan dan mengendalikan laju perdagangan ilegal puspa dan satwa dilindungi melalui penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat terkait peran penting puspa dan satwa bagi ekosistem. Pemerintah juga dapat menindak tegas para pelaku perdagangan ilegal puspa dan satwa dilindungi sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku.
Kedua, kontribusi sektor universitas/akademisi antara lain dapat berupa menciptakan teknologi yang dapat memudahkan pendataan, identifikasi dan pendokumentasian jenis puspa dan satwa dilindungi.
Ketiga, kontribusi sektor lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau civil society yaitu sebagai kontrol, membantu dan mendampingi pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan dan hukum terkait perlindungan dan pelestarian puspa dan satwa yang dilindungi.
Keempat, kontribusi dari sektor perusahaan/swasta yaitu mengalokasikan dana corporate social responsibility (CSR) untuk program pelestarian puspa dan satwa dilindungi beserta habitatnya secara berkelanjutan.
Kelima, kontribusi sektor komunitas/penggiat yaitu melakukan edukasi dan penyadartahuan kepada masyarakat terutama generasi muda terkait aksi-aksi untuk melestarikan puspa dan sarwa dilindungi.
Keenam, kontribusi sektor media yaitu mengarusutamakan isu-isu terkait perlindungan dan pelestarian puspa dan satwa dilindungi.
Ketujuh, kontribusi masyarakat umum yaitu dapat melaporkan petugas yang berwenang, dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat atau Penegak Hukum Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kepolisian jika menemukan adanya perdagangan ilegal puspa dan satwa dilindungi, baik secara offline maupun online.
Koordinator Edukasi, Fundraising & Outreach Belantara Foundation, Koordinator Bidang Kajian Ilmiah, IKA FABIONA, Alumni Fakultas Biologi dan Program Studi Biologi Sekolah Pascasarajana Universitas Nasional
SETIAP 5 November diperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Peringatan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta, kepedulian, perlindungan serta pelestarian puspa dan satwa nasional atau keanekaragaman hayati (kehati).
Satwa nasional terbagi menjadi tiga jenis yang mewakili satwa darat, air dan udara yaitu komodo (varanus komodoensis) sebagai satwa nasional, ikan siluk merah (Schleropages formosus) sebagai satwa pesona dan elang jawa (Nisaetus bartelsi) sebagai satwa langka. Sedangkan puspa nasional juga terbagi menjadi tiga jenis yaitu melati (Jasminum sambac) sebagai puspa bunga, anggrek bulan (Palaenopsis amabilis) sebagai puspa pesona dan padma raksasa (Rafflesia arnoldi) sebagai puspa langka.
Baca Juga: koran-sindo.com
Tema HCPSN tahun 2022 yaitu “Potensi Plasma Nutfah Puspa dan Satwa Indonesia bagi Pembangunan Ekonomi Nasional”. Tema ini mengingatkan kepada kita bahwa perlindungan plasma puspa dan satwa Indonesia harus dilakukan karena sebagai aset dasar negara bagi pembangunan ekonomi nasional demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan.
Plasma nutfah merupakan substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau satwa serta jasad renik. Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.
Pada tataran global, laporan komprehensif bertajuk Global Assessment Report on Biodiversity and Ecosystem Services 2019 oleh IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) memaparkan status kehati bumi kini kian mengkhawatirkan.
Para ilmuwan mengungkapkan bahwa saat ini, bumi telah kehilangan lebih dari 80% biomassa satwa menyusui disebabkan oleh kerusakan ekosistem alami yang mengalami kerusakan 100x lebih cepat dari yang terjadi selama 10 juta tahun terakhir. Tanpa kita sadari, penurunan biomassa yang sangat signifikan ini tentunya menimbulkan dampak dan kerugian yang sangat besar untuk seluruh makhluk hidup di bumi.
Menurut Dokumen Rencana Aksi dan Strategi Biodiversitas Indonesia 2015-2020 keunikan geologi dan ekosistem Indonesia menyebabkan tingginya endemisitas fauna, flora dan mikroba. Indonesia memiliki endemisitas jenis fauna tertinggi di dunia untuk beberapa taksa seperti burung, mamalia, reptil dan amfibi.
Fauna endemis Indonesia diperkirakan berjumlah masing-masing 270 jenis mamalia, 386 jenis burung, 328 jenis reptil dan 204 jenis amfibi. Contoh lain adalah distribusi lebah madu.
Lebah madu (apis) di dunia terdapat tujuh jenis, enam diantaranya terdapat di Indonesia kecuali jenis lebah madu Apis florea. Sedangkan tingkat endemisitas flora Indonesia tercatat antara 40-50% dari total jenis flora dari setiap pulau kecuali Pulau Sumatra yang endemisitasnya diperkirakan hanya 23%.
Di samping itu, hasil analisis biografi mamalia kecil yang dilakukan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saat ini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa pulau-pulau kecil ternyata memiliki tingkat endemisitas yang sangat tinggi seperti di Pulau Flores, Enggano, Mentawai dan lain-lain. Oleh karena itu, pendataan, identifkasi, pendokumentasian dan eksplorasi pulau-pulau kecil sangat penting karena temuan jenis baru terus meningkat.
Namun, keberadaan puspa dan satwa di ekosistem tidak luput dari ancaman kepunahan. Ancaman terbesar terhadap puspa dan satwa, terutama yang bersifat endemis disebabkan oleh hilangnya habitat.
Kehilangan habitat terutama disebabkan oleh kerusakan habitat, baik karena bencana alam, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan dan perubahan iklim, alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian, pertambangan, industri maupun permukiman dan perburuan puspa dan satwa yang didorong oleh perdagangan secara ilegal.
Keanekaragaman jenis puspa dan satwa serta jasa sistem ekologi memiliki peran penting karena dapat memberikan berbagai manfaat untuk mendukung kehidupan manusia, antara lain sebagai sumber bahan pangan, kesehatan, energi dan memberikan jasa ekosistem yang fungsinya sulit digantikan.
Nilai ekonomi jasa lingkungan ini bersifat estimasi karena sebagian besar nilainya tidak terefleksi ataupun terkuantifikasi secara memadai dalam pasar komersial.
Berdasarkan kategori manfaat, arti penting kehati dibagi menjadi nilai konsumsi, nilai produksi, nilai jasa lingkungan, nilai pilihan dan nilai eksistensi.
Nilai konsumsi merupakan manfaat langsung dari kehati, seperti pangan, sandang dan papan. Contohnya berbagai jenis tumbuhan liar di hutan, seperti pasak bumi (eurycoma longifolia) dan berbagai jenis tanaman obat budi daya seperti jahe (zingiber officinale) sebagai bahan obat tradisional. Nilai ekonomi produk jamu yang beredar di pasar berpotensi mencapai hingga Rp6 triliun.
Selain itu, nilai produksi adalah nilai pasar yang diperoleh dari pengolahan dan perdagangan kehati di pasar lokal, nasional maupun internasional. Misalnya potensi keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh Indonesia dari pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan terumbu karang untuk sektor perikanan, pariwisata, perlindungan pantai dan nilai estetika dapat mencapai setidaknya USD16 miliar/tahun.
Kemudian, kehati juga memberikan jasa lingkungan bagi manusia melalui adanya ekosistem dengan keunikan keanekaragaman di dalamnya. Seperti kemampuan penyimpanan karbon pada ekosistem padang lamun sebesar 830 ton/ha dan hutan di daratan mampu menyimpan karbon sebesar 300 ton/ha.
Nilai pilihan atau nilai potensi merupakan nilai kehati dalam memberikan keuntungan bagi masyarakat di masa depan. Contohnya beberapa kebun raya di Indonesia mempunyai koleksi 3.000 jenis tumbuhan asli Indonesia dan 50 jenis tumbuhan dalam koleksi tersebut dilaporkan telah memberikan kontribusi yang nyata untuk peningkatan nilai ekonomi, misalnya tebu dan kelapa.
Upaya Pelestarian
Semua pihak, khususnya di Indonesia, dapat berkontribusi dalam melestarikan dan memanfaatkan puspa dan satwa secara berkelanjutan.
Pertama, kontribusi sektor pemerintah yaitu dapat melakukan pengawasan untuk menekan dan mengendalikan laju perdagangan ilegal puspa dan satwa dilindungi melalui penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat terkait peran penting puspa dan satwa bagi ekosistem. Pemerintah juga dapat menindak tegas para pelaku perdagangan ilegal puspa dan satwa dilindungi sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku.
Kedua, kontribusi sektor universitas/akademisi antara lain dapat berupa menciptakan teknologi yang dapat memudahkan pendataan, identifikasi dan pendokumentasian jenis puspa dan satwa dilindungi.
Ketiga, kontribusi sektor lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau civil society yaitu sebagai kontrol, membantu dan mendampingi pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan dan hukum terkait perlindungan dan pelestarian puspa dan satwa yang dilindungi.
Keempat, kontribusi dari sektor perusahaan/swasta yaitu mengalokasikan dana corporate social responsibility (CSR) untuk program pelestarian puspa dan satwa dilindungi beserta habitatnya secara berkelanjutan.
Kelima, kontribusi sektor komunitas/penggiat yaitu melakukan edukasi dan penyadartahuan kepada masyarakat terutama generasi muda terkait aksi-aksi untuk melestarikan puspa dan sarwa dilindungi.
Keenam, kontribusi sektor media yaitu mengarusutamakan isu-isu terkait perlindungan dan pelestarian puspa dan satwa dilindungi.
Ketujuh, kontribusi masyarakat umum yaitu dapat melaporkan petugas yang berwenang, dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat atau Penegak Hukum Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kepolisian jika menemukan adanya perdagangan ilegal puspa dan satwa dilindungi, baik secara offline maupun online.
(bmm)