Rejeki Tak Terduga Dari Hutan, Bisa Menghasilkan USD2 Miliar per Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seakan dapat rejeki nomplok, di saat pemerintah membutuhkan dana untuk mencegah penyebaran virus Covid 19 serta memulihkan kondisi ekonomi, Pemerintah Norwegia secara resmi memastikan akan membayar sejumlah dana sebesar USD 56 juta atau sekitar Rp 813,3 miliar. Dana itu merupakan pembayaran dari hasil kerjasama Indonesia Norwegia dalam bentuk REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
Kabar gembira ini disampaikan di laman resmi pemerintah Norwegia, Regheringen.no pada Jumat pekan lalu (3/7/2020). Kerjasama antara Indonesia-Norwegia dalam kerangka REDD+ ini dimulai 10 tahun yang lalu.
Secara sederhana, REDD+ merupakan kerjasama antara negara-negara berkembang dengan negara maju dalam hal pengurangan emisi karbon. Pada intinya dalam kerjasama ini negara maju memberikan insentif, membayar kepada negara berkembang, untuk mengurangi laju deforestasi, degradasi hutan, dan pembakaran lahan gambut yang dapat meningkatkan konsentrasi emisi gas rumah kaca.
Sebernarnya REDD+ menjadi bagian penting dari mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Mengingat pada COP 21 di Paris (Paris Agreement) tahun 2015, Indonesia telah berkomitmen dengan nationally determined contribution untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 % melalui upaya sendiri dan 41 % dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Nah, pada 2010 silam, Indonesia-Norwegia meneken Letter of intent (LoI) untuk bekerja sama dalam kerangka REDD+. LoI itu kemudian diimplementasikan oleh Indonesia diantaranya dalam bentuk moratorium izin baru di hutan primer dan gambut dan berbagai aksi untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Sebagai kompensasinya Norwegia membayar pengurangan emisi GRK yang berhasil dicapai Indonesia. Baca Juga: ekan Laju Deforestasi, Norwegia Siap Bayar Indonesia
Lalu dari mana datanganya angka USD 56 juta yang dibayarkan Norwegia ke Indonesia. Jumlah itu merupakan hasil dari penurunan emisi yang dicapai Indonesia pada 2016-2017, yakni sebesar 11,2 juta ton CO2eq. Sedangkan saat ini harga pasar karbon dunia mencapai 5 dollar AS, sekitar Rp 72.617 per ton.
Duta Besar RI untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, menyambut gembira atas pengumuman dari Pemerintah Norwegia terkait pembayaran REDD+. "Kami menyambut baik pengumuman pembayaran berbasis hasil yang telah disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia, Sveinung Rotevatn," ujar Todung.
Todung menjelaskan Indonesia diangap mitra penting oleh Norwegia dalam melawan perubahan iklm dan pengurangan GRK. Kemitraaan di bidang lingkungan ini pun telah menguntungkan kedua belah pihak. Norwegia sebagai negara maju telah menunjukkan komitmennya terhadap kelastarian lingkungan di dunia. Sementara untuk Indonesia telah membuahkan hasil yang positif bagi penurunan emisi gas rumah kaca.
Sementara Sveinung Rotevatn menyampaikan, Pemerintah Norwegia terus berkomitmen untuk melakukan pembayaran berbasis hasil atas penurunan emisi yang telah dicapai Indonesia pada tahun- tahun selanjutnya, sesuai komitmen yang disampaikan pada tahun 2010 yakni sebesar 6 miliar NOK.
Bisa Untuk Bayar Utang
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengungkapkan penurunan emisi GRK yang dicapai Indonesia pada periode 2016/2017, ternyata lebih tinggi dari laporan semula yang sebesar 4,8 juta ton setara karbondioksida pascaverifikasi oleh pihak Norwegia. Hasil penilaian inilah yang dipakai Norwegia sebagai dasar untuk pembayaran kinerja pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia tahun 2016/2017.
Dana tersebut diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BP-DLH). Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden No 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, Menteri Siti Nurbaya menjelaskan, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar dana ini nantinya digunakan untuk program pemulihan lingkungan berbasis masyarakat, yaitu dengan sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, seperti penanaman pohon dan upaya-upaya revitalisasi ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Setelah pembayaran tersebut, tahap berikutnya akan dilaksanakan pembayaran atas pengurangan emisi tahun 2017/2018 dan seterusnya. Komitmen dari Norwegia, Total pembayaran yang dijanjikan sebesar USD 1 miliar.
Komitmen dari Norwegia ini masih lebih kecil dibandingkan dengan potensi nilai perdagangan karbon yang dimiliki Indonesia. Berdasarkan kajian dari Universitas Padjajaran, potensi perdagangan karbon dalam kerangka REDD+ di dunia mencapai USD15 miilar. Indonesia berdasarkan luas hutan yang dimiliki, yakni seluas 125,9 juta Ha, memiliki potensi yang besar untuk menyerap emisi karbon di udara, sehingga emisi karbon di adara bisa berkurang drastis. Dari hutan seluas itu, diperkirakan oleh Unpad, Indonesia bisa memperoleh pendapatan hingga USD 2 miliar per tahun dalam pasar perdagangan karbon dunia.
Hutan Indonesia juga memiliki potensi besar untuk bisa mengurangi hutang luar negeri. Buktinya pada 2012 yang lalu, Taman Nasional Gunug Leuser mampu membayar utang negara kepada pemrintah Jerman sebesar Rp34 miliar. Pembayaran ini terkait kesepakatan Paris Club dan perjanjian pemerintah Indonesia dengan Jerman pada 2 Oktober 2002.
Utang negara kepada Jerman dialihkan untuk membiayai sembilan kegiatan yang disepakati dalam separate agreement yang ditandatangani pada 2 Mei 2007. Anaya digunakan untuk memperkuat pengembangan taman nasional dalam ekosistem yang rapuh. Skema pembiayaan ini dikenal juga dengan Debt for Nature Swap (DNS) III atau Green Program yang dilaksanakan selama periode 2007 hingga 2012. Melalui skema DNS ini hutan di Indonesia, menurut kajian Kementerian Kehutanan (2009) berpotensi bisa mengurangi hutang luar negeri, sebesar US$30 juta per tahun.
Selain dapat menutupi utang, kekayaan hutan dapat menghapus kemiskinan di Indonesia. Karena pohon yang ditanam merupakan deposito negara. Lahan kritis di Indonesia yang luasnya mencapai 14 juta Ha, sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan uang dengan skema REDD+ maupun DNS. Lumayan kan.
Kabar gembira ini disampaikan di laman resmi pemerintah Norwegia, Regheringen.no pada Jumat pekan lalu (3/7/2020). Kerjasama antara Indonesia-Norwegia dalam kerangka REDD+ ini dimulai 10 tahun yang lalu.
Secara sederhana, REDD+ merupakan kerjasama antara negara-negara berkembang dengan negara maju dalam hal pengurangan emisi karbon. Pada intinya dalam kerjasama ini negara maju memberikan insentif, membayar kepada negara berkembang, untuk mengurangi laju deforestasi, degradasi hutan, dan pembakaran lahan gambut yang dapat meningkatkan konsentrasi emisi gas rumah kaca.
Sebernarnya REDD+ menjadi bagian penting dari mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Mengingat pada COP 21 di Paris (Paris Agreement) tahun 2015, Indonesia telah berkomitmen dengan nationally determined contribution untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 % melalui upaya sendiri dan 41 % dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Nah, pada 2010 silam, Indonesia-Norwegia meneken Letter of intent (LoI) untuk bekerja sama dalam kerangka REDD+. LoI itu kemudian diimplementasikan oleh Indonesia diantaranya dalam bentuk moratorium izin baru di hutan primer dan gambut dan berbagai aksi untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Sebagai kompensasinya Norwegia membayar pengurangan emisi GRK yang berhasil dicapai Indonesia. Baca Juga: ekan Laju Deforestasi, Norwegia Siap Bayar Indonesia
Lalu dari mana datanganya angka USD 56 juta yang dibayarkan Norwegia ke Indonesia. Jumlah itu merupakan hasil dari penurunan emisi yang dicapai Indonesia pada 2016-2017, yakni sebesar 11,2 juta ton CO2eq. Sedangkan saat ini harga pasar karbon dunia mencapai 5 dollar AS, sekitar Rp 72.617 per ton.
Duta Besar RI untuk Norwegia Todung Mulya Lubis, menyambut gembira atas pengumuman dari Pemerintah Norwegia terkait pembayaran REDD+. "Kami menyambut baik pengumuman pembayaran berbasis hasil yang telah disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia, Sveinung Rotevatn," ujar Todung.
Todung menjelaskan Indonesia diangap mitra penting oleh Norwegia dalam melawan perubahan iklm dan pengurangan GRK. Kemitraaan di bidang lingkungan ini pun telah menguntungkan kedua belah pihak. Norwegia sebagai negara maju telah menunjukkan komitmennya terhadap kelastarian lingkungan di dunia. Sementara untuk Indonesia telah membuahkan hasil yang positif bagi penurunan emisi gas rumah kaca.
Sementara Sveinung Rotevatn menyampaikan, Pemerintah Norwegia terus berkomitmen untuk melakukan pembayaran berbasis hasil atas penurunan emisi yang telah dicapai Indonesia pada tahun- tahun selanjutnya, sesuai komitmen yang disampaikan pada tahun 2010 yakni sebesar 6 miliar NOK.
Bisa Untuk Bayar Utang
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengungkapkan penurunan emisi GRK yang dicapai Indonesia pada periode 2016/2017, ternyata lebih tinggi dari laporan semula yang sebesar 4,8 juta ton setara karbondioksida pascaverifikasi oleh pihak Norwegia. Hasil penilaian inilah yang dipakai Norwegia sebagai dasar untuk pembayaran kinerja pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia tahun 2016/2017.
Dana tersebut diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BP-DLH). Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden No 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, Menteri Siti Nurbaya menjelaskan, Presiden Joko Widodo memerintahkan agar dana ini nantinya digunakan untuk program pemulihan lingkungan berbasis masyarakat, yaitu dengan sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, seperti penanaman pohon dan upaya-upaya revitalisasi ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Setelah pembayaran tersebut, tahap berikutnya akan dilaksanakan pembayaran atas pengurangan emisi tahun 2017/2018 dan seterusnya. Komitmen dari Norwegia, Total pembayaran yang dijanjikan sebesar USD 1 miliar.
Komitmen dari Norwegia ini masih lebih kecil dibandingkan dengan potensi nilai perdagangan karbon yang dimiliki Indonesia. Berdasarkan kajian dari Universitas Padjajaran, potensi perdagangan karbon dalam kerangka REDD+ di dunia mencapai USD15 miilar. Indonesia berdasarkan luas hutan yang dimiliki, yakni seluas 125,9 juta Ha, memiliki potensi yang besar untuk menyerap emisi karbon di udara, sehingga emisi karbon di adara bisa berkurang drastis. Dari hutan seluas itu, diperkirakan oleh Unpad, Indonesia bisa memperoleh pendapatan hingga USD 2 miliar per tahun dalam pasar perdagangan karbon dunia.
Hutan Indonesia juga memiliki potensi besar untuk bisa mengurangi hutang luar negeri. Buktinya pada 2012 yang lalu, Taman Nasional Gunug Leuser mampu membayar utang negara kepada pemrintah Jerman sebesar Rp34 miliar. Pembayaran ini terkait kesepakatan Paris Club dan perjanjian pemerintah Indonesia dengan Jerman pada 2 Oktober 2002.
Utang negara kepada Jerman dialihkan untuk membiayai sembilan kegiatan yang disepakati dalam separate agreement yang ditandatangani pada 2 Mei 2007. Anaya digunakan untuk memperkuat pengembangan taman nasional dalam ekosistem yang rapuh. Skema pembiayaan ini dikenal juga dengan Debt for Nature Swap (DNS) III atau Green Program yang dilaksanakan selama periode 2007 hingga 2012. Melalui skema DNS ini hutan di Indonesia, menurut kajian Kementerian Kehutanan (2009) berpotensi bisa mengurangi hutang luar negeri, sebesar US$30 juta per tahun.
Selain dapat menutupi utang, kekayaan hutan dapat menghapus kemiskinan di Indonesia. Karena pohon yang ditanam merupakan deposito negara. Lahan kritis di Indonesia yang luasnya mencapai 14 juta Ha, sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan uang dengan skema REDD+ maupun DNS. Lumayan kan.
(eko)