Bacakan Eksepsi, Pengacara Arif Rachman Arifin Sebut Dakwaan Jaksa Prematur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tim kuasa hukum AKBP Arif Rachman Arifin membacakan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2022). Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum AKBP Arif Rachman Arifin meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) membatalkan dakwaan JPU terhadap kliennya.
"Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima dan menyatakan surat dakwaan prematur untuk diajukan karena tindakan yang dilakukan Arif Rachman masih dalam ruang lingkup administrasi negara, sehingga harus dilakukan pemeriksaan dan penyelesaian di ruang lingkup administrasi terlebih dahulu," ujar tim kuasa hukum Arif Rachman Arifin, Juanedi Saibih saat membacakan eksepsi di PN Jaksel, Jumat (28/10/2022).
Dia mengatakan, tindakan yang dilakukan Arif Rachman sejatinya harus diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Junaedi, tindakan yang dilakukan kliennya sebagaimana dakwaan penuntut umum murni atas perintah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Arif Rachman pada 13 Juli 2022 turut menyaksikan rekaman CCTV pos keamanan Kompleks Polri Duren Tiga di kediaman Ridwan Soplanit, Kasat Reskrim Polres Jaksel. Bersama mereka ada juga Kompol Baiquni Wibowo dan Chuck Putranto.
Menurut Junaedi, tindakan Arif Rahman menyaksikan CCTV itu sudah benar berdasarkan peraturan administrasi dan sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengamanan Internal di Lingkungan Polri. Dalam Pasal 16 Perkap itu disebutkan bahwa pengamanan bahan keterangan meliputi menghimpun dan melakukan pendataan terhadap setiap baha keterangan yang masuk dan keluar, serta melakukan pendataan, analisa, dan evaluasi terhadap penggunaan bahan keterangan.
Selain itu, menurut Junaedi, apa yang dilakukan Arif Rachman berdasarkan perintah Ferdy Sambo. "Bahwa tindakan menonton salinan rekaman CCTV tersebut didasarkan perintah dari Irjen Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam Polri sehingga tindakan Arif Rachman tersebut telah berkesesuaian dengan peraturan administrasi," kata Junaedi.
Apalagi, Junaedi menyebut, dalam Pasal 11 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 disebutkan bahwa setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai bawahan dilarang untuk melawan atau menentang atasan, dan menyampaikan laporan yang tidak benar kepada atasan. Termasuk juga saat mengetahui Brigadir J masih hidup dalam salinan rekaman, tindakan Arif Rachman yang menelpon Brigjen Hendra Kurniawan sudah sesuai dengan peraturan administrasi.
Begitu juga saat menerima perintah dari Ferdy Sambo untuk memerintahkan Baiquni Wibowo menghapus salinan rekaman CCTV. “Dalam Pasal 16 huruf d Perkap Nomor 13/2006 juga menyebutkan bahwa pengamanan bahan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 meliputi penghapusan dan pemusnahan bahan keterangan, lagipula file yang dihapus bukan file asli melainkan copy atau salinan rekaman,” tambah kuasa hukum Arif Rachman.
Tak hanya itu, menurut Junaedi, tindakan kliennya yang mematahkan laptop Baiquni Wibowo di dalam mobil yang terparkir di depan Masjid Mabes Polri dilakukan atas perintah Ferdy Sambo. Apalagi, menurut Juanedi, dalam bagian D tentang Tata Kerja, Lampiran VII Perkap Nomor 6 Tahun 2017 disebutkan bahwa pimpinan unit kerja di lingkungan Dipropam Polri wajib untuk menjabarkan dan menindaklanjuti setiap kebijakan pimpinan.
Atas dasar uraian tersebut, Junaedi menyebut tindakan Arif Rachman sudah sesuai dengan apa yang diperintahkan atasan yang saat itu masih berwenang dan masih dalam lingkup tugasnya. Tindakan Arif Rachman juga diklaim sesuai dengan peraturan administrasi dan perintah atasan yang sah dan saat itu masih berwenang.
"Sehingga apabila terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang onrechtmatige oversheidsdaad atau perbuatan yang bersifat melawan hukum dalam segenap tindakan tersebut maka seharusnya diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara sebelum dilakukan pemeriksaan pidana perkara a quo, perlu diidentifikasi sebelum dinyatakan bahwa memang tindakan yang dilakukan dikualifisir sebagai tindakan pidana. Penerapan proses hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium bukan ditempatkan diawal prosedur,” kata Junaedi.
Maka dari itu, menurut Junaedi, dakwaan JPU terhadap kliennya prematur karena penyalahgunaan wewenang atau dugaan perbuatan bersifat melawan hukum Arif Rachman harus terlebih dahulu melalui proses identifikasi pada Peradilan Tata Usaha Negara.
"Mohon perhatian Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang mengadili perkara, bahwa selain hal tersebut pemeriksaan perkara a quo yang dilaksanakan tanpa didahului oleh pengujian terhadap tindakan terdakwa Arif Rachman melalui PTUN mengakibatkan surat dakwaan a quo beralasan hukum untuk dinyatakan tidak dapat diterima karena melanggar asas presumptio iustae causa karena suatu tindakan administrasi pejabat dianggap benar dan tidak mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum sepanjang tidak ada atau belum diputuskan sebaliknya oleh PTUN," pungkas Junaedi.
"Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima dan menyatakan surat dakwaan prematur untuk diajukan karena tindakan yang dilakukan Arif Rachman masih dalam ruang lingkup administrasi negara, sehingga harus dilakukan pemeriksaan dan penyelesaian di ruang lingkup administrasi terlebih dahulu," ujar tim kuasa hukum Arif Rachman Arifin, Juanedi Saibih saat membacakan eksepsi di PN Jaksel, Jumat (28/10/2022).
Dia mengatakan, tindakan yang dilakukan Arif Rachman sejatinya harus diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut Junaedi, tindakan yang dilakukan kliennya sebagaimana dakwaan penuntut umum murni atas perintah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa Arif Rachman pada 13 Juli 2022 turut menyaksikan rekaman CCTV pos keamanan Kompleks Polri Duren Tiga di kediaman Ridwan Soplanit, Kasat Reskrim Polres Jaksel. Bersama mereka ada juga Kompol Baiquni Wibowo dan Chuck Putranto.
Menurut Junaedi, tindakan Arif Rahman menyaksikan CCTV itu sudah benar berdasarkan peraturan administrasi dan sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengamanan Internal di Lingkungan Polri. Dalam Pasal 16 Perkap itu disebutkan bahwa pengamanan bahan keterangan meliputi menghimpun dan melakukan pendataan terhadap setiap baha keterangan yang masuk dan keluar, serta melakukan pendataan, analisa, dan evaluasi terhadap penggunaan bahan keterangan.
Selain itu, menurut Junaedi, apa yang dilakukan Arif Rachman berdasarkan perintah Ferdy Sambo. "Bahwa tindakan menonton salinan rekaman CCTV tersebut didasarkan perintah dari Irjen Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam Polri sehingga tindakan Arif Rachman tersebut telah berkesesuaian dengan peraturan administrasi," kata Junaedi.
Apalagi, Junaedi menyebut, dalam Pasal 11 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 disebutkan bahwa setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai bawahan dilarang untuk melawan atau menentang atasan, dan menyampaikan laporan yang tidak benar kepada atasan. Termasuk juga saat mengetahui Brigadir J masih hidup dalam salinan rekaman, tindakan Arif Rachman yang menelpon Brigjen Hendra Kurniawan sudah sesuai dengan peraturan administrasi.
Begitu juga saat menerima perintah dari Ferdy Sambo untuk memerintahkan Baiquni Wibowo menghapus salinan rekaman CCTV. “Dalam Pasal 16 huruf d Perkap Nomor 13/2006 juga menyebutkan bahwa pengamanan bahan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 meliputi penghapusan dan pemusnahan bahan keterangan, lagipula file yang dihapus bukan file asli melainkan copy atau salinan rekaman,” tambah kuasa hukum Arif Rachman.
Tak hanya itu, menurut Junaedi, tindakan kliennya yang mematahkan laptop Baiquni Wibowo di dalam mobil yang terparkir di depan Masjid Mabes Polri dilakukan atas perintah Ferdy Sambo. Apalagi, menurut Juanedi, dalam bagian D tentang Tata Kerja, Lampiran VII Perkap Nomor 6 Tahun 2017 disebutkan bahwa pimpinan unit kerja di lingkungan Dipropam Polri wajib untuk menjabarkan dan menindaklanjuti setiap kebijakan pimpinan.
Atas dasar uraian tersebut, Junaedi menyebut tindakan Arif Rachman sudah sesuai dengan apa yang diperintahkan atasan yang saat itu masih berwenang dan masih dalam lingkup tugasnya. Tindakan Arif Rachman juga diklaim sesuai dengan peraturan administrasi dan perintah atasan yang sah dan saat itu masih berwenang.
"Sehingga apabila terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang onrechtmatige oversheidsdaad atau perbuatan yang bersifat melawan hukum dalam segenap tindakan tersebut maka seharusnya diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara sebelum dilakukan pemeriksaan pidana perkara a quo, perlu diidentifikasi sebelum dinyatakan bahwa memang tindakan yang dilakukan dikualifisir sebagai tindakan pidana. Penerapan proses hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium bukan ditempatkan diawal prosedur,” kata Junaedi.
Maka dari itu, menurut Junaedi, dakwaan JPU terhadap kliennya prematur karena penyalahgunaan wewenang atau dugaan perbuatan bersifat melawan hukum Arif Rachman harus terlebih dahulu melalui proses identifikasi pada Peradilan Tata Usaha Negara.
"Mohon perhatian Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang mengadili perkara, bahwa selain hal tersebut pemeriksaan perkara a quo yang dilaksanakan tanpa didahului oleh pengujian terhadap tindakan terdakwa Arif Rachman melalui PTUN mengakibatkan surat dakwaan a quo beralasan hukum untuk dinyatakan tidak dapat diterima karena melanggar asas presumptio iustae causa karena suatu tindakan administrasi pejabat dianggap benar dan tidak mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum sepanjang tidak ada atau belum diputuskan sebaliknya oleh PTUN," pungkas Junaedi.
(rca)