Jaga Kesehatan Usia Muda

Senin, 06 Juli 2020 - 06:22 WIB
loading...
Jaga Kesehatan Usia...
Kini ada tren kenaikan penyakit tidak menular (PTM) di kalangan usia yang disebut-sebut sebagai puncak kebugaran tersebut. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Usia muda bisa hidup semaunya dan seenaknya. Anggapan tersebut harus segera dihilangkan. Pasalnya, kini ada tren kenaikan penyakit tidak menular (PTM) di kalangan usia yang disebut-sebut sebagai puncak kebugaran tersebut.

Artinya, kalangan muda kini harus membangun kesadaran bagaimana selalu menjaga kesehatan dengan mengubah gaya hidup lebih baik dan sehat. PTM bukan hanya berhenti pada kesehatan atau kematian, juga mengancam produktivitas.

Fakta sekaligus peringatan akan tren PTM disampaikan Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariane. Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, PTM bukan hanya terus meningkat, tapi juga telah bergeser dari kelompok lanjut usia ke kelompok produktif. Secara keseluruhan, berdasarkan data yang dirilis Badan Kesehatan Dunia atau WHO, PTM menjadi penyebab 73% kematian di Indonesia.

Sebelumnya,berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi berbagai PTM seperti kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, dan hipertensi mengalami kenaikan. Hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%, prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9%, penyakit ginjal kronis naik dari 2% menjadi 3,8%,dan prevalensi kanker naik dari 1,4% menjadi 1,8%. (Baca: Cegah Polirik Uang, Perlu Ada Lembaga Peradilan Khusus Pemilu)

“PTM sangat memprihatinkan karena kalau dulu anggapannya kan pada orang tua, sekarang trennya mulai naik pada usia 10 sampai 14 tahun,” papar Cut Putri dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Graha BNPB, Jakarta, kemarin.

Dia menyebut ancaman PTM bukan hanya berdampak serius pada kesehatan, tapi juga bagi sumber daya manusia dan perekonomian Indonesia ke depan. Dia menyebut pada 2030-2040 mendatang Indonesia akan menghadapi bonus demografi, yaitu populasi usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan kelompok usia nonproduktif.

Namun, apabila tren PTM usia muda naik, upaya Indonesia untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas menuju Indonesia maju pada 2045 mendatang sulit tercapai. “Kita kan sebentar lagi menghadapi bonus demografi yang kita harapkan pada usia-usia produktif yang tidak hanya cerdas secara akademis tapi juga sehat, karena sehat itu modal awal produktivitas,” kata Cut.

Mengapa tren PTM terus meningkat, terutama di kalangan usia muda? Cut mengungkapkan masih tingginya prevalensi PTM di Indonesia disebabkan gaya hidup yang tidak sehat. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 95,5% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5% masyarakat kurang aktivitas fisik, 29,3% masyarakat usia produktif merokok setiap hari, 31% mengalami obesitas sentral serta 21,8% terjadi obesitas pada dewasa.

“Perilaku kita di era teknologi sekarang ini ternyata tidak semakin baik. Mungkin momentum ini yang mengingatkan kita semua bahwa ketika imunitas tubuh kita turun, orang semakin banyak yang peduli untuk mengubah gaya hidup,” tutur Cut. (Baca juga: Jubir Covid-19 Ungkap Ada 552 Kasus Baru Covid di Jawa Timur)

Cut menekankan perubahan gaya hidup harus dilakukan sedini mungkin sebagai investasi kesehatan masa depan. Pun dengan pengendalian faktor risiko juga harus dilakukan sedini mungkin. Masyarakat harus memiliki kesadaran kesehatan agar tahu kondisi badannya, agar semakin mudah diobati sehingga tidak terlambat.

“Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan screening minimal 6 bulan sampai setahun sekali,” katanya.

Dia juga mengatakan bahwa di masa pandemi ini, Kementerian Kesehatan memberikan fleksibilitas kepada penyandang PTM dengan memberikan kemudahan untuk mendapatkan obat untuk jangka waktu dua bulan ke depan guna mengurangi mobilitas mereka ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Sebelumnya, Farrukh Qureshi dari WHO Indonesia mengungkapkan bahwa kasus PTM yang menerpa kalangan muda juga menjadi tren di negara berkembang. Penyebabnya, 80% faktor risiko disebabkan faktor gaya hidup seperti kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi sayur dan buah, obesitas, merokok, dan konsumsi alkohol. "Faktor risiko ini merupakan faktor-faktor yang dapat dicegah dengan mengupayakan gaya hidup sehat," dalam International Symposium on Health Research di Prime Plaza Sanur, Bali, 29 November 2019.

Dia memaparkan, setiap tahun ada empat puluh juta orang meninggal akibat penyakit tidak menular, 15% di antaranya meninggal di usia 30-70 tahun. Dengan demikian, artinya tiap dua detik seseorang mati prematur akibat PTM. Hampir dua pertiga dari total kematian akibat penyakit tidak menular terkait dengan konsumsi rokok, konsumsi alkohol yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang, dan polusi udara.

Adapun representatif Aliansi Penyakit Tidak Menular Indonesia Ibnu Haykal sebelumnya mengungkapkan, PTM juga menghambat pertumbuhan ekonomi di tingkat global dan nasional dengan mempengaruhi produktivitas pekerja secara negatif dan mengalihkan sumber daya dari tujuan produktif ke pengobatan penyakit. PTM diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi global kumulatif USD47 triliun pada 2030, atau sekitar 75% dari PDB global 2010. (Baca juga: Turki Sukses Uji Coba Rudal Maritim Buatan Sendiri)

“Kurang dari lima tahun lagi Indonesia akan terdampak ancaman global PTM, namun hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar mampu yang melindungi masyarakat dari PTM," keluhnya.

Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Vito Anggarino Damay, mengingatkan, PTM di usia muda menimbulkan beban keuangan berupa biaya rumah sakit dan biaya hidup. Dia menyebut, satu dari dua pasien kanker dinyatakan bangkrut. Kalau punya harta benda biasanya dijual.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini menyebut promotif-preventif harus menjadi tumpuan dalam program kesehatan nasional. Karena itu, pihaknya meminta agar Kemenkes melakukan evaluasi seberapa besar perhatian negara, dalam hal ini Kemenkes untuk mengalokasikan program ini. "Di awal-awal kami raker dengan Pak Menteri memberikan perhatian tentang dua hal ini. Kita sedang tagih nih, program-program yang suratnya promotif-preventif," katanya.

Dalam pandangan Ketua Umum PP Fatayat NU ini, biaya promosi preventif ini yang sangat kurang di Indonesia. Sebagian besar anggaran dipakai untuk kuratif. Dia menandaskan, dalam setiap rapat dengan Kemenkes, Komisi IX selalu mengingatkan pentingnya revitalisasi puskesmas sebagai unit kesehatan terdekat dengan masyarakat. "Bikin program yang membuat masyarakat enggak usah sakit. Itu konsentrasinya. Ya kalau sakit harus diobati, tapi gerakan masyarakat yang sehat itu penting," tutur politikus yang memiliki latar belakang pendidikan Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia ini.

Berisiko Tinggi Terinfeksi Covid-19

Cut Putri Ariene juga menyebutkan orang dengan PTM seperti hipertensi, jantung, kanker, diabetes, ginjal, PPOK, penyakit nafas lain, gangguan imunologi dll, turut mempermudah seseorang terpapar Covid-19, bahkan kondisinya akan semakin berat. “Orang-orang kelompok penyakit tidak menular adalah orang yang rentan terinfeksi (Covid-19). Ini sangat terkait dengan imunitas tubuh karena yang pasti kondisinya berbeda dengan orang normal,” katanya. (Lihat videonya: Nekat Tiktokan di Jembatan Suramadu, Tiga Emak-emak Harus Berurusan dengan Polisi)

Dalam kesempatan yang sama Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Eka Ginanjar menjelaskan, orang dengan PTM mudah tertular dan jika tertular kondisinya semakin buruk. “Contohnya hipertensi, pembuluh darahnya sudah tidak baik, kekuatan mukosa (lapisan tubuhnya) itu sudah tidak terlalu bagus lagi, jadi mudah tertular. Daya tahan tubuh bukan hanya imunitas, tapi daya tahan tubuh secara nonspesifik jadi kekuatan tubuh kita melawan virus itu,” tuturnya.

Eka pun berharap, di masa pandemi ini orang dengan PTM lebih menjaga kesehatan dan daya tahan tubuh dengan rutin cek kesehatan, menjaga indeks masa tubuh, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, dan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih bersih dan sehat.

Selain mencegah faktor risiko, Cut mengingatkan masyarakat untuk berperan aktif melakukan deteksi sedini mungkin. Deteksi dini penting untuk mengetahui status kesehatan seseorang sehingga bisa dilakukan pengobatan sedini mungkin. “Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat yang merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukanlah screening minimal enam bulan sampai setahun sekali, ” ungkapnya. (Binti Mufarida/Sri Noviarni/Abdul Rochim/Andi Hendra Mustaqim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1021 seconds (0.1#10.140)