Menumbuhkan Kesetiakawanan Kesehatan
loading...
A
A
A
Zaenal Abidin
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, Periode 2012-2015
SEJAK berabad-abad lalu Kepulauan Nusantara dikenal sebagai negeri makmur yang amat subur. Karena kemakmuran dan kesuburannya menjadikannya sebagai magnet bagi bangsa Eropa dan Timur Asing untuk datang berdagang hasil bumi.
Di sisi lain, rakyat Indonesia pun terkenal ramah dan terbuka. Suatu keinginan untuk menghadirkan diri bersama warga masyarakat lain, yang juga sering dikenal kekeluargaan. Dalam suasana kekeluargaan inilah kemudian muncul semangat saling membantu dalam bentuk kesetiakawanan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Namun demikian, suatu ketika, yakni pada Maret 2008, sebuah kejadian tragis membuat kita merasa terpukul. Sebuah keluarga mengalami kekurangan makanan hingga ibu dan seorang anaknya meninggal dunia diduga karena kelaparan.
Tragis karena kejadian itu terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, wilayah yang dikenal lumbung beras nasional, masyarakatnya memegang teguh budaya malu/harga diri dan martabat/empati, serta dikenal dengan filosofi siri na pacce. Ibu yang tengah hamil 7 bulan itu bernama Daeng Basse (27) dan anaknya Fahril (4).
Sementara, anaknya Salma (9) dan Aco (3) saat itu sempat dirawat di rumah sakit. Suaminya yang tukang becak pun sedang dalam keadaan kritis di rumah sakit.
Hingga kini masalah gizi memang masih merupakan masalah kesehatan yang cukup serius. Artikel KORAN SINDO (14/2/2020) melansir, bahwa saat ini Indonesia masih menghadapi masalah malnutrisi dan triple burden yang mencakup kurang gizi, kekurangan zat mikro, dan obesitas. Triple burden of malnutrition merupakan salah satu permasalahan kesehatan global, termasuk Indonesia dan mengancam kualitas generasi masa depan.
Gizi buruk berdampak pada tiga kondisi yaitu stunting (tubuh pendek), wasting (tubuh kurus), dan obesitas. Belum lagi sebagian masyarakat Indonesia ditengarai mengalami kelaparan tersembunyi (hidden hunger).
Kenaikan harga dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) belakangan ini pun dapat berdampak pada semakin bertambahnya beban masyarakat, terutama kalangan bawah. Pengalaman masa lampau, kenaikan BBM hampir dipastikan berdampak kepada kenaikan harga bahan pokok yang kemudian diikuti kebutuhan lain, termasuk transportasi. Keadaan ini menjadi semakin kompleks karena masyarakat Indonesia belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19.
Daya Beli dan HAM untuk Sehat
Perekonomian rakyat belum pulih betul setelah diterpa Covid 19. Hal ini berarti kehidupan masyarakat masih sulit. Mereka belum memiliki kemampuan yang baik untuk memilih dan membeli zat gizi yang dibutuhkannya. Menyebabkan makin sulit beranjak dari triple burden of malnutrition. Semoga saja kasus kematian bayi atau balita seperti tahun 2008 silam tidak berulang.
Fenomena di atas seharusnya membukakan mata kita bahwa sesungguhnya hak atas hidup manusia tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights), termasuk ketika negara dalam keadaan darurat ekonomi sekali pun. Karena itu kematian bayi di balik sejumlah kasus gizi buruk dan stunting akibat kekurangan pangan merupakan pertanda lemahnya pelayanan publik suatu negara.
Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik secara jelas menegaskan: ”Setiap orang dilekati hak atas hidup. Hak atas hidup harus dilindungi oleh hukum. Tiada seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang dirampas hidupnya. Hak hidup memiliki dimensi yang sangat luas, tidak boleh hanya direduksi pada permasalahan perlindungan atas hak politik dari tindakan pembunuhan sewenang-wenang”.
Lebih lanjut, adanya hak atas kesehatan, yang selain mencakup pelayanan kesehatan yang layak, juga termasuk mengenai akses terhadap ketersediaan pangan yang aman, nutrisi dan perumahan, air minum yang sehat, sanitasi yang layak, dan lingkungan yang layak sebagai hak kesehatan yang mendasar. Apabila hal ini tidak terpenuhi maka dapat berindikasi terjadinya pelanggaran atas standar pemenuhan hak atas kesehatan.
Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai instrumen hukum HAM juga secara spesifik menjamin hak asasi anak (international bill of child rights), yang telah menjadi bagian hukum positif negara RI. Jaminan hak asasi setiap anak tersebut meliputi: 1) Hak yang melekat atas kehidupan dan negara harus menjamin sampai pada jangkauan semaksimal mungkin ketahanan dan perkembangan anak (Pasal 6). 2) Hak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi melalui jaminan: (a) penyediaan bantuan kesehatan yang diperlukan dan perawatan kesehatan untuk semua anak dengan penekanan pada perawatan kesehatan primer, (b) memerangi penyakit dan kurang gizi, dan (c) penyediaan pangan bergizi yang memadai dan air minum bersih. 3) Hak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (Pasal 27).
Persoalan kemudian karena HAM atas sehat ini sangat bergantung kepada daya beli masyarakat. Selama ini masalah kesehatan masyarakat akibat penyakit atau kemiskinan, mungkin masih bisa ditanggulangi oleh pemerintah dari dana APBN atau APBD. Atau melalui program JKN selama sakitnya masuk di dalam skema JKN. Namun, sebanyak apa pun dana yang disediakan sepanjang daya beli masyarakat tidak membaik, tetap saja tidak mencukupi. Apalagi bila harga bahan pokok naik. Di sisi lain kita pun belum memikirkan upaya pendanaan artenatif untuk menopangnya.
Kesetiakawanan Kesehatan sebagai Nilai dan Gerakan
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menopang pendanaan masyarakat adalah menumbuhkan kesetiakawanan kesehatan. Dapat dimulai dari kalangan pengusaha, masyarakat umum, organisasi masyarakat (ormas), dan organisasi profesi. Indonesia mempunyai banyak ormas dan organisasi profesi. Mereka itu dapat melakukannya sebagai rangkaian peringatan hari lahirnya.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri, sejak 2008 telah menetapkan 20 Mei yang bertepatan Hari Kebangkitan Nasional sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI). Rangkaian HBDI ini berlangsung sampai puncaknya pada hari lahir IDI, 24 Oktober. HBDI ini diisi dengan berbagai kegiatan yang sekaligus berfungsi sebagai kesetiakawakan kesehatan. Untuk tahun ini misalnya, ada sebagian IDI Cabang yang menggerakkan anggotanya untuk menjadi orang tua asuh bagi anak stunting di daerahnya.
Kesetiakawanan kesehatan adalah suatu nilai yang harus terus ditumbuhkan guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya saling berbagi dan mengasihi tanpa membedakan ras, suku, agama, dan identitas lainnya. Nilai adalah sesuatu yang bersifat ruhani, yang memberikan makna kepada seseorang dan karena itu akan memotivasinya untuk mewujudkan dalam tindakan nyata.
Kesetiakawanan kesehatan sebagai suatu nilai sejak dulu telah jumpai di setiap kelompok-kelompok masyarakat Indonesia dan telah dijadikan sebagai nilai-nilai luhur, yang sering dikenal sebagai kearifan lokal. Sebut saja tradisi jimpitan beras atau yang lainnya untuk membantu yang kekurangan pangan.
Walau demikian sangat disadari bahwa nilai yang bersifat ruhani dan sosial di atas bisa saja mengalami penggerusan akibat budaya kapitalisme merangsek ke dalam dunia kehidupan, termasuk profesi. Sebutlah misalnya nuansa kapitalisme berbiaya mahal yang belakangan ini merambah dunia pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang boleh jadi pun telah merasuki profesi lain.
Nuansa kapitalisme ini berpotensi mengubah wajah praktik pengamalan suatu profesi menjadi upaya pengembalian investasi, yang kemudian berujung tumbuhnya budaya individualisme.
Karena itu diperlukan gerakan penyadaran guna mengembalikan sifat ruhani dan sosial itu secara berkesinambungan. Penyadaran yang sekaligus menjadi modal utama untuk menghimpun potensi dalam menanggulangi masalah kesehatan.
Kita perlu kembali merajut, menumbuhkan, serta mengembangkan kearifan warga bangsa ini menjadi sebuah gerakan kesetiakawanan kesehatan. Gerakan untuk mencegah masyarakat yang sehat agar tidak jatuh sakit atau alami gizi buruk/stunting dan merawat yang sakit agar tidak semakin bertambah sakit dan lekas sembuh (sehat).
Sebagai gerakan moral, tentu yang terlibat di dalamnya bukan hanya individu-individu di dalam masyarakat tersebut, tetapi juga ditopang oleh organisasi profesi, perguruan tinggi, NGO, pers, dan dunia usaha. Keterlibatan berbagai pihak dalam gerakan kesetiakawanan kesehatan akan menciptakan lingkungan sosial yang sehat. Terjadi keseimbangan dan keserasian yang harmonis antara masyarakat.
Di sini ukurannya bukan terletak pada berapa banyak bantuan yang dapat diberikan, melainkan seberapa besar semangat kebersamaan itu dapat dibangun. Gerakan kesetiakawanan kesehatan adalah salah satu bentuk keikutsertaan kelompok masyarakat dalam penanggulangan masalah kesehatan di Indonesia. Wallahu a'lam bishawab.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, Periode 2012-2015
SEJAK berabad-abad lalu Kepulauan Nusantara dikenal sebagai negeri makmur yang amat subur. Karena kemakmuran dan kesuburannya menjadikannya sebagai magnet bagi bangsa Eropa dan Timur Asing untuk datang berdagang hasil bumi.
Di sisi lain, rakyat Indonesia pun terkenal ramah dan terbuka. Suatu keinginan untuk menghadirkan diri bersama warga masyarakat lain, yang juga sering dikenal kekeluargaan. Dalam suasana kekeluargaan inilah kemudian muncul semangat saling membantu dalam bentuk kesetiakawanan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Namun demikian, suatu ketika, yakni pada Maret 2008, sebuah kejadian tragis membuat kita merasa terpukul. Sebuah keluarga mengalami kekurangan makanan hingga ibu dan seorang anaknya meninggal dunia diduga karena kelaparan.
Tragis karena kejadian itu terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, wilayah yang dikenal lumbung beras nasional, masyarakatnya memegang teguh budaya malu/harga diri dan martabat/empati, serta dikenal dengan filosofi siri na pacce. Ibu yang tengah hamil 7 bulan itu bernama Daeng Basse (27) dan anaknya Fahril (4).
Sementara, anaknya Salma (9) dan Aco (3) saat itu sempat dirawat di rumah sakit. Suaminya yang tukang becak pun sedang dalam keadaan kritis di rumah sakit.
Hingga kini masalah gizi memang masih merupakan masalah kesehatan yang cukup serius. Artikel KORAN SINDO (14/2/2020) melansir, bahwa saat ini Indonesia masih menghadapi masalah malnutrisi dan triple burden yang mencakup kurang gizi, kekurangan zat mikro, dan obesitas. Triple burden of malnutrition merupakan salah satu permasalahan kesehatan global, termasuk Indonesia dan mengancam kualitas generasi masa depan.
Gizi buruk berdampak pada tiga kondisi yaitu stunting (tubuh pendek), wasting (tubuh kurus), dan obesitas. Belum lagi sebagian masyarakat Indonesia ditengarai mengalami kelaparan tersembunyi (hidden hunger).
Kenaikan harga dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) belakangan ini pun dapat berdampak pada semakin bertambahnya beban masyarakat, terutama kalangan bawah. Pengalaman masa lampau, kenaikan BBM hampir dipastikan berdampak kepada kenaikan harga bahan pokok yang kemudian diikuti kebutuhan lain, termasuk transportasi. Keadaan ini menjadi semakin kompleks karena masyarakat Indonesia belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19.
Daya Beli dan HAM untuk Sehat
Perekonomian rakyat belum pulih betul setelah diterpa Covid 19. Hal ini berarti kehidupan masyarakat masih sulit. Mereka belum memiliki kemampuan yang baik untuk memilih dan membeli zat gizi yang dibutuhkannya. Menyebabkan makin sulit beranjak dari triple burden of malnutrition. Semoga saja kasus kematian bayi atau balita seperti tahun 2008 silam tidak berulang.
Fenomena di atas seharusnya membukakan mata kita bahwa sesungguhnya hak atas hidup manusia tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights), termasuk ketika negara dalam keadaan darurat ekonomi sekali pun. Karena itu kematian bayi di balik sejumlah kasus gizi buruk dan stunting akibat kekurangan pangan merupakan pertanda lemahnya pelayanan publik suatu negara.
Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik secara jelas menegaskan: ”Setiap orang dilekati hak atas hidup. Hak atas hidup harus dilindungi oleh hukum. Tiada seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang dirampas hidupnya. Hak hidup memiliki dimensi yang sangat luas, tidak boleh hanya direduksi pada permasalahan perlindungan atas hak politik dari tindakan pembunuhan sewenang-wenang”.
Lebih lanjut, adanya hak atas kesehatan, yang selain mencakup pelayanan kesehatan yang layak, juga termasuk mengenai akses terhadap ketersediaan pangan yang aman, nutrisi dan perumahan, air minum yang sehat, sanitasi yang layak, dan lingkungan yang layak sebagai hak kesehatan yang mendasar. Apabila hal ini tidak terpenuhi maka dapat berindikasi terjadinya pelanggaran atas standar pemenuhan hak atas kesehatan.
Konvensi Hak Anak (KHA) sebagai instrumen hukum HAM juga secara spesifik menjamin hak asasi anak (international bill of child rights), yang telah menjadi bagian hukum positif negara RI. Jaminan hak asasi setiap anak tersebut meliputi: 1) Hak yang melekat atas kehidupan dan negara harus menjamin sampai pada jangkauan semaksimal mungkin ketahanan dan perkembangan anak (Pasal 6). 2) Hak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi melalui jaminan: (a) penyediaan bantuan kesehatan yang diperlukan dan perawatan kesehatan untuk semua anak dengan penekanan pada perawatan kesehatan primer, (b) memerangi penyakit dan kurang gizi, dan (c) penyediaan pangan bergizi yang memadai dan air minum bersih. 3) Hak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (Pasal 27).
Persoalan kemudian karena HAM atas sehat ini sangat bergantung kepada daya beli masyarakat. Selama ini masalah kesehatan masyarakat akibat penyakit atau kemiskinan, mungkin masih bisa ditanggulangi oleh pemerintah dari dana APBN atau APBD. Atau melalui program JKN selama sakitnya masuk di dalam skema JKN. Namun, sebanyak apa pun dana yang disediakan sepanjang daya beli masyarakat tidak membaik, tetap saja tidak mencukupi. Apalagi bila harga bahan pokok naik. Di sisi lain kita pun belum memikirkan upaya pendanaan artenatif untuk menopangnya.
Kesetiakawanan Kesehatan sebagai Nilai dan Gerakan
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menopang pendanaan masyarakat adalah menumbuhkan kesetiakawanan kesehatan. Dapat dimulai dari kalangan pengusaha, masyarakat umum, organisasi masyarakat (ormas), dan organisasi profesi. Indonesia mempunyai banyak ormas dan organisasi profesi. Mereka itu dapat melakukannya sebagai rangkaian peringatan hari lahirnya.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri, sejak 2008 telah menetapkan 20 Mei yang bertepatan Hari Kebangkitan Nasional sebagai Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI). Rangkaian HBDI ini berlangsung sampai puncaknya pada hari lahir IDI, 24 Oktober. HBDI ini diisi dengan berbagai kegiatan yang sekaligus berfungsi sebagai kesetiakawakan kesehatan. Untuk tahun ini misalnya, ada sebagian IDI Cabang yang menggerakkan anggotanya untuk menjadi orang tua asuh bagi anak stunting di daerahnya.
Kesetiakawanan kesehatan adalah suatu nilai yang harus terus ditumbuhkan guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya saling berbagi dan mengasihi tanpa membedakan ras, suku, agama, dan identitas lainnya. Nilai adalah sesuatu yang bersifat ruhani, yang memberikan makna kepada seseorang dan karena itu akan memotivasinya untuk mewujudkan dalam tindakan nyata.
Kesetiakawanan kesehatan sebagai suatu nilai sejak dulu telah jumpai di setiap kelompok-kelompok masyarakat Indonesia dan telah dijadikan sebagai nilai-nilai luhur, yang sering dikenal sebagai kearifan lokal. Sebut saja tradisi jimpitan beras atau yang lainnya untuk membantu yang kekurangan pangan.
Walau demikian sangat disadari bahwa nilai yang bersifat ruhani dan sosial di atas bisa saja mengalami penggerusan akibat budaya kapitalisme merangsek ke dalam dunia kehidupan, termasuk profesi. Sebutlah misalnya nuansa kapitalisme berbiaya mahal yang belakangan ini merambah dunia pendidikan dokter dan dokter spesialis, yang boleh jadi pun telah merasuki profesi lain.
Nuansa kapitalisme ini berpotensi mengubah wajah praktik pengamalan suatu profesi menjadi upaya pengembalian investasi, yang kemudian berujung tumbuhnya budaya individualisme.
Karena itu diperlukan gerakan penyadaran guna mengembalikan sifat ruhani dan sosial itu secara berkesinambungan. Penyadaran yang sekaligus menjadi modal utama untuk menghimpun potensi dalam menanggulangi masalah kesehatan.
Kita perlu kembali merajut, menumbuhkan, serta mengembangkan kearifan warga bangsa ini menjadi sebuah gerakan kesetiakawanan kesehatan. Gerakan untuk mencegah masyarakat yang sehat agar tidak jatuh sakit atau alami gizi buruk/stunting dan merawat yang sakit agar tidak semakin bertambah sakit dan lekas sembuh (sehat).
Sebagai gerakan moral, tentu yang terlibat di dalamnya bukan hanya individu-individu di dalam masyarakat tersebut, tetapi juga ditopang oleh organisasi profesi, perguruan tinggi, NGO, pers, dan dunia usaha. Keterlibatan berbagai pihak dalam gerakan kesetiakawanan kesehatan akan menciptakan lingkungan sosial yang sehat. Terjadi keseimbangan dan keserasian yang harmonis antara masyarakat.
Di sini ukurannya bukan terletak pada berapa banyak bantuan yang dapat diberikan, melainkan seberapa besar semangat kebersamaan itu dapat dibangun. Gerakan kesetiakawanan kesehatan adalah salah satu bentuk keikutsertaan kelompok masyarakat dalam penanggulangan masalah kesehatan di Indonesia. Wallahu a'lam bishawab.
(bmm)