Masa Depan Lingkungan di Tahun Politik
loading...
A
A
A
Rachmad K.Dwi Susilo
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam , Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, AlumniPublic Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang
KITA telah memasuki tahun politik yang ditandai kerja-kerja politik untuk persiapan pemilihan presiden, pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kota/kabupaten se-Indonesia. Substansinya, momen ini merupakan pengejaran kewenangan dan kekuasaan, maka masuk akal jika para petinggi partai terlihat sibuk memanaskan mesin politiknya.
Kerja sama, lobi dan negosiasi antarpartai politik dilakukan demi memenangkan calon pemimpin yang diproyeksi. Melalui berbagai cara, tokoh-tokoh politik menyadari figur siapakah yang layak dipilih atau sekadar menjadi lini ke dua atau dibawahnya. Beberapa sudah dideklarasikan sebagai calon presiden, namun ada pula tokoh yang masihwait and seeyang sama artinya membaca situasi dan selalu menjajaki kemungkinan koalisi pada pilpres 2024.
Baca Juga: koran-sindo.com
Suasana poltik tidak hanya terasa di level elite, arus bawah juga demikian. Geliat masyarakat bawah ramai mempersiapkan hajatan nasional ini. Sama sibuknya dengan elite nasional, elite-elite lokal mengintensifkan konsolidasi anterelite dengangrassrootdan rajin mengalkulasi menang kalah.
Kemudian yang tidak kalah penting yaitu "jualan" isu-isu yang mendulang simpati publik. Perilaku politik dihadapan publik itu penting, tetapi juga yang tidak kalah penting yakni memilih isu-isu populis, yaitu: program mercusuar, perbaikan kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan, transparansi dan bagi-bagi kekuasaan.
Sayangnya, isu lingkungan bukan termasuk isu populis tersebut. Kita bisa melihat performans dari para politisi baik tokoh-tokoh yang masuk dalam tiga besar survei calon presiden maupun petinggi partai politik, dimana tidak ada pernyataan mereka yang menyinggung isu-isu lingkungan. Belum terlihat keprihatinan pada krisis lingkungan, krisis energi dan bencana yang marak terjadi di semua elite bumi.
Para elite gagal memformulasikan isu lingkungan sebagai janji politik, padahal tidak sulit menyebut ekologi sebagai isu publik. Minggu ini kita lihat banjir yang menelan korban jiwa di Jakarta, Ketapang (Kalimantan Barat), Denpasar (Bali), 15 Kecamatan Aceh Utara dan 6 desa di Cilacap dan tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lain.
Pemanasan global dan krisis energi global juga melahirkan bencana-bencana baru. Sementara itu, banyak agenda-agenda lingkungan yang belum tuntas seperti konservasi, pencegahan eksploitasi sumber daya alam, mitigasi bencana dan ketahanan energi juga masih menunggu.
Memang, pemain politik adalah manusia cerdik, maka pasti semua parpol memiliki platform yang menyinggung lingkungan. Namun pada praktiknya sebatas janji dan retorika minus tindak lanjut kongkret. Tidak ada rasa bersalah dan evaluasi internal atas jatuhnya korban bencana alam sebagai akibat faktor politik berupa rusaknya tata kelola lingkungan (environmental governance).
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam , Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, AlumniPublic Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang
KITA telah memasuki tahun politik yang ditandai kerja-kerja politik untuk persiapan pemilihan presiden, pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kota/kabupaten se-Indonesia. Substansinya, momen ini merupakan pengejaran kewenangan dan kekuasaan, maka masuk akal jika para petinggi partai terlihat sibuk memanaskan mesin politiknya.
Kerja sama, lobi dan negosiasi antarpartai politik dilakukan demi memenangkan calon pemimpin yang diproyeksi. Melalui berbagai cara, tokoh-tokoh politik menyadari figur siapakah yang layak dipilih atau sekadar menjadi lini ke dua atau dibawahnya. Beberapa sudah dideklarasikan sebagai calon presiden, namun ada pula tokoh yang masihwait and seeyang sama artinya membaca situasi dan selalu menjajaki kemungkinan koalisi pada pilpres 2024.
Baca Juga: koran-sindo.com
Suasana poltik tidak hanya terasa di level elite, arus bawah juga demikian. Geliat masyarakat bawah ramai mempersiapkan hajatan nasional ini. Sama sibuknya dengan elite nasional, elite-elite lokal mengintensifkan konsolidasi anterelite dengangrassrootdan rajin mengalkulasi menang kalah.
Kemudian yang tidak kalah penting yaitu "jualan" isu-isu yang mendulang simpati publik. Perilaku politik dihadapan publik itu penting, tetapi juga yang tidak kalah penting yakni memilih isu-isu populis, yaitu: program mercusuar, perbaikan kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan, transparansi dan bagi-bagi kekuasaan.
Sayangnya, isu lingkungan bukan termasuk isu populis tersebut. Kita bisa melihat performans dari para politisi baik tokoh-tokoh yang masuk dalam tiga besar survei calon presiden maupun petinggi partai politik, dimana tidak ada pernyataan mereka yang menyinggung isu-isu lingkungan. Belum terlihat keprihatinan pada krisis lingkungan, krisis energi dan bencana yang marak terjadi di semua elite bumi.
Para elite gagal memformulasikan isu lingkungan sebagai janji politik, padahal tidak sulit menyebut ekologi sebagai isu publik. Minggu ini kita lihat banjir yang menelan korban jiwa di Jakarta, Ketapang (Kalimantan Barat), Denpasar (Bali), 15 Kecamatan Aceh Utara dan 6 desa di Cilacap dan tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lain.
Pemanasan global dan krisis energi global juga melahirkan bencana-bencana baru. Sementara itu, banyak agenda-agenda lingkungan yang belum tuntas seperti konservasi, pencegahan eksploitasi sumber daya alam, mitigasi bencana dan ketahanan energi juga masih menunggu.
Memang, pemain politik adalah manusia cerdik, maka pasti semua parpol memiliki platform yang menyinggung lingkungan. Namun pada praktiknya sebatas janji dan retorika minus tindak lanjut kongkret. Tidak ada rasa bersalah dan evaluasi internal atas jatuhnya korban bencana alam sebagai akibat faktor politik berupa rusaknya tata kelola lingkungan (environmental governance).