Masa Depan Lingkungan di Tahun Politik

Rabu, 12 Oktober 2022 - 14:01 WIB
loading...
Masa Depan Lingkungan di Tahun Politik
Rachmad K Dwi Susilo (Foto; Ist)
A A A
Rachmad K.Dwi Susilo
Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan dan Sumber Daya Alam , Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, AlumniPublic Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang

KITA telah memasuki tahun politik yang ditandai kerja-kerja politik untuk persiapan pemilihan presiden, pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kota/kabupaten se-Indonesia. Substansinya, momen ini merupakan pengejaran kewenangan dan kekuasaan, maka masuk akal jika para petinggi partai terlihat sibuk memanaskan mesin politiknya.

Kerja sama, lobi dan negosiasi antarpartai politik dilakukan demi memenangkan calon pemimpin yang diproyeksi. Melalui berbagai cara, tokoh-tokoh politik menyadari figur siapakah yang layak dipilih atau sekadar menjadi lini ke dua atau dibawahnya. Beberapa sudah dideklarasikan sebagai calon presiden, namun ada pula tokoh yang masihwait and seeyang sama artinya membaca situasi dan selalu menjajaki kemungkinan koalisi pada pilpres 2024.

Baca Juga: koran-sindo.com

Suasana poltik tidak hanya terasa di level elite, arus bawah juga demikian. Geliat masyarakat bawah ramai mempersiapkan hajatan nasional ini. Sama sibuknya dengan elite nasional, elite-elite lokal mengintensifkan konsolidasi anterelite dengangrassrootdan rajin mengalkulasi menang kalah.

Kemudian yang tidak kalah penting yaitu "jualan" isu-isu yang mendulang simpati publik. Perilaku politik dihadapan publik itu penting, tetapi juga yang tidak kalah penting yakni memilih isu-isu populis, yaitu: program mercusuar, perbaikan kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan, transparansi dan bagi-bagi kekuasaan.

Sayangnya, isu lingkungan bukan termasuk isu populis tersebut. Kita bisa melihat performans dari para politisi baik tokoh-tokoh yang masuk dalam tiga besar survei calon presiden maupun petinggi partai politik, dimana tidak ada pernyataan mereka yang menyinggung isu-isu lingkungan. Belum terlihat keprihatinan pada krisis lingkungan, krisis energi dan bencana yang marak terjadi di semua elite bumi.

Para elite gagal memformulasikan isu lingkungan sebagai janji politik, padahal tidak sulit menyebut ekologi sebagai isu publik. Minggu ini kita lihat banjir yang menelan korban jiwa di Jakarta, Ketapang (Kalimantan Barat), Denpasar (Bali), 15 Kecamatan Aceh Utara dan 6 desa di Cilacap dan tidak menutup kemungkinan daerah-daerah lain.

Pemanasan global dan krisis energi global juga melahirkan bencana-bencana baru. Sementara itu, banyak agenda-agenda lingkungan yang belum tuntas seperti konservasi, pencegahan eksploitasi sumber daya alam, mitigasi bencana dan ketahanan energi juga masih menunggu.

Memang, pemain politik adalah manusia cerdik, maka pasti semua parpol memiliki platform yang menyinggung lingkungan. Namun pada praktiknya sebatas janji dan retorika minus tindak lanjut kongkret. Tidak ada rasa bersalah dan evaluasi internal atas jatuhnya korban bencana alam sebagai akibat faktor politik berupa rusaknya tata kelola lingkungan (environmental governance).

Lingkungan Terabaikan
Lingkungan terabaikan dalam kompetisi politik dipengaruhi oleh pengetahuan pragmatis masyarakat dan elit tentang politik dan lingkungan itu sendiri. Isu lingkungan masih diabaikan karena mereka tahu bahwa kecemasan rata-rata masyarakat pada kondisi lingkungan ataueco-anxietybisa dikatakan rendah.

Salah satu penyebabnya, mistifikasi masih menjadi corak berfikir yang menjustifikasi, alam dan lingkungan dalam kondisi "aman". Tidak heran, bagi masyarakat kebanyakan isu lingkungan masih dipandang "mewah", jangka panjang dan sulit diukur dengan indikator jangka pendek.

Selain itu, kalaupun dipersoalkan, isu lingkungan masuk pada perdebatan multidimensi. Untuk menjelaskan penyebab dan dampak lingkungan tidak hanya satu perspektif yang muncul. Bisa jadi tidak sama pengetahuan masyarakat lokal, pemerintah dan organisasi masyarakat.

Maka, tidak heran jika wacana untuk memperjuangkan lingkungan kurang dipilih. Kondisi serba "relatif" ini sebagai salah satu penyebab isu ekologi jarang diperjuangkan sebagai isu publik yang akhirnya elite politik tidak mengangkatnya sebagai janji politik.

Faktor lain yang membuat tidak populernya isu lingkungan juga dipengaruhi pengetahuan politik elite yang masih menganggap tujuan politik yakni pengejaran kekuasaan, atau dalam studi Ilmu Politik kerap disingkat siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana(who gets what, when, how), H. Lasswell, 1936).

Memang di tangan politisi peduli lingkungan, kekuasaaan bisa diarahkan untuk kerja-kerja ekologis. Melalui otoritasnya, kepala daerah bisa membuat program konservasi sebagai program unggulan kota. Misalnya, seorang legislatif juga bisa memperkarakan investor perusak hutan. Tetapi sejatinya bukan itu yang menarik, akumulasi kekayaan golongan atau kelompok tertentu jauh lebih menggoda.

Tidak heran jika politik lebih menonjol sebagai strategi dan pemenangan, isu lingkungan pun bukan sebagai tujuan, tetapi sekedar pemanis dan justifikasi moral. Apapun isu akan diangkat asal menjanjikan kemenangan.

Misalnya, tata kelola lingkungan bukan sebagai penyebab bencana karena pengetahuan masyarakat masih melihat bencana sebagai peristiwa mistis yang dikaitkan dengan kekuatan adikodrati, maka penanggulangan tidak perlu intervensi politis. Kesesatan berfikir ini kerap ditutupi retorika yang menyimpulkan lingkungan sebagai isu “di luar” publik.

Belum lagi jika besentuhan dengan isu struktural lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam yang sering diwarnai pro dan kontra. Isu ini sulit menarik simpatik semua kelompok. Relasi ekonomi dan politik membentuk isu tersebut.

Perizinan untuk eksploitasi dan konflik sumber daya alam tidak disukai rata-rata orang yang cenderung mengedepankan keharmonisan dan menjauhi konflik. Sekalipun kondisi ini manipulatif tetapi isu-isu substantif lingkungan seperti pengembalian RTH dan advokasi pembangunan yang tidak ramah lingkungan menjadi kurang populer.

Menuju Politik Lingkungan
Sekalipun ada pesimisme, ada baiknya kita tetap memperjuangkan masuknya isu lingkungan dalam jagat politik kita. Kita membutuhkan figur tertentu, maka salah satu strategi yakni mengorbitkan figur yang sukses mengangkat isu lingkungan dalam dunia politik.

Terpilihnya Anthony Albanese sebagai Perdana Menteri Australia menginspirasi kita bahwa isu lingkungan seperti mitigasi dan perubahan iklim bukan isu tidak laku. Kegelisahan kolektif masyarakat pada krisis iklim global telah melahirkan pemimpin-pemimpin ekologis.

Kita juga bisa belajar pada cerita-cerita sukses pada keberhasilan gugatan Walhi Sumatera Selatan di PTUN Palembang dan gugatan warga korban banjirKali Mampangkepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, Februari 2022. Kedua gugatan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa cara-cara politik bisa digunakan untuk memperjuangkan konservasi lingkungan dan hak-hak korban demi hak lingkungan yang baik dan sehat.

Hanya yang perlu diperhatikan bahwa sebagai agenda politik, lingkungan tidak otomatis masuk dalam praktik politik, karena itu dibutuhkan strategi-strategi dalam memenangkannya. Carl Death, dalamCritical Environmental Politics(2013) menyatakan politik sebagai apakah aturan permain, siapa yang menyusunnya dan mengapa? Siapa yang menang dan kalah dalam permainan itu (what are the rules of the game, and who sets them and why ? Who are the winners and losers in the game).

Disinilah, perjuangan politik bergantung kepada kelompok-kelompok peduli lingkungan itu sendiri. Dan demi keberhasilan ini, penulis mengusulkan dua strategi yaitu agensi dan kelembagaan. DalamThe Constitution of Society: Outline of the The Theory of Structuration(1996), Giddens menjelaskan agensi sebagai sebuah kemampuan agen dalam memanfaatkan aturan (rule) dan sumber daya (resources).

Basis agensi yakni perubahanmindsetbahwa politik sejatinya instrumen atau alat untuk mencapai kesejahteraan universal tidak hanya untuk manusia, tetapi juga alam semesta.

Agensi memiliki kreativitas untuk memilih isu-isu lingkungan realistis yang mungkin tidak radikal seperti penegakkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, peningkatan partisipasi semua lini pada konservasi lingkungan melalui kegiatan-kegiatan sederhana terukur seperti penanaman pohon, pengorganisasian bank sampah, pengembangan ekowisata, konservasi pohon mangrove,urban farmingdan isu-isu transisi energi. Isu-isu moderat semacam ini bisa dimaksimalkan untuk kampanye politik.

Sedangkan strategi kelembagaan yaitu memasukan isu lingkungan pada pada kebijakan publik yang diputuskan oleh negara. Ketika masuk kebijakan berarti harus mengikat pada setiap pelaksana kebijakan. Sama dengan proses formulasi isu-isu publik lain, butuh tekanan (pressure) pembuat regulasi agar semua partai politik "wajib" melaksanakan program konservasi lingkungan.

Aktor gerakan, konservasi dan peduli lingkungan menekan pengambil kebijakan untuk memasukan lingkungan dalam regulasi partai politik dan kontestasi hajatan politik lokal dan makronasional. Dengan demikian perilaku ekologi tidak perlu menunggu kesadaran individual, tetapi mandat konstitusi atau kebijakan.

Akhirnya, upaya politik peduli lingkungan tidak mungkin terbentuk hanya dalam setahun atau dua tahun saja, tetapi terus, harus dan selalu diperjuangkan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1472 seconds (0.1#10.140)