Tragedi Bangsa: Watak Kekerasan dan Nir-Teladan

Jum'at, 07 Oktober 2022 - 18:28 WIB
loading...
Tragedi Bangsa: Watak...
Tragedi Kanjuruhan diharapkan menjadi yang terakhir di sepak bola tanah air. Ilustrasi/WAWAN BASTIAN
A A A
Bambang Asrini Widjanarko
Pemerhati isu-isu sosial, seni dan budaya, alumnus FISIP Universitas Jember

Beberapa bulan terakhir kita dipaksa menelan tragedi-komedi dari watak kekerasan yang gamblang. Sebuah kesedihan massal diramu kelucuan-kelucuan sebagai babak finalnya. Absurditas narasi komikal dipertontonkan, sebab publik—terutama netizen yang kritis sudah mafhum, setiap peristiwa memilukan yang seharusnya mengusik rasa keadilan tak pernah benar-benar tuntas di negeri ini. Dagelan-dagelan yang menggurat di dada terasa semakin perih.

Secara fisik, lakon-lakon tragik diawali Juli 2022 dengan kisah pembunuhan terencana pada ajudan Jenderal Polisi yang proses hukumnya berlarut-larut layaknya drama serial-Drakor. Disusul polemik hasil reportase "sebuah kekerasan-politik" oleh majalah berita nasional yang mendedah pembunuhan karakter seorang Gubernur lewat legitimasi lembaga antirasuah.

Yang tak kalah memiriskan hati adalah martabat kita sebagai bangsa di mata dunia—dengan berita-berita di media global yang menggegerkan tentang Indonesia. Fenomena kesembronoan komunal yang berbuah kekerasan berakibat korban jiwa 180 orang, 32 di antaranya masih anak-anak, belum lagi korban luka dan trauma. Lebih dari seratus jiwa, versi pemerintah 131 jiwa, melayang sia sia akibat salah urus dari pengelolaan pertandingan sepak bola lokal. Stadion Kanjuruhan , Malang seminggu ini merintih dan menangis tak henti, menunggu siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas tragedi tersebut?

Ribuan tahun lalu kitab-kitab sakral peradaban memanggungkan kekerasan bermuka multiparas, sebagai contoh kisah penjagalan antara Kain dan Habel menggambarkan watak manusia yang menyukai kekerasan, menisbikan sang liyan. Dari dunia fiksi, drama The Merchant of Venice-nya Shakespeare dengan kronik mutilasi tubuh manusia sampai kisah tragik Sampek-Eng Tay dengan racun mematikan menjadi cerminan sisi gelap watak purba manusia.

Kita juga belajar dari dramawan Plautus dalam prolognya yang tenar, Amphytryon. Plautus memperolok kita, nasib di dunia terombang-ambing oleh kekerasan simbolik yang diperankan aktor-aktor, yang rumit merepresentasi narasi tragik-komedi dalam bentuknya yang muram. Sebuah lakon drama berkisah tentang nasib buruk yang menimpa tiba-tiba, bencana yang tidak terelakkan atau direncanakan secara licik dan halus?

Mitos lokal di masyarakat Bali juga memperkaya, bagaimana kekerasan pernah menjadi panglima pun sebuah pelajaran berharga. Semisal Jenderal perang Kebo Iwa yang gugur dalam strategi ekspansionis Majapahit dipimpin Maha Patih Gajah Mada. Pembunuhan antar "para jenderal kuno" yang berselimur politik kolonialisasi; mengatasnamakan keyakinan-keyakinan serta identitas lama yang terikat dengan khasanah lama kultur Jawa di Bali hasil migrasi imperium Kadiri (Jawa Timur) menjadi alasan pembenaran kekerasan. Kebo Iwa bisa mewakilkan sosok aktor dongeng tragedi-komedi, mati sebagai pahlawan dalam kisah, namun dapat disangkal jika perpektif lain mengemuka, yakni kekuasaan yang serakah dari imperium Majapahit.

Nir-Teladan Pimpinan
Dramawan Plautus pula yang memercayai keyakinan karakter Homo homini lupus, sebuah frasa bahasa latin yang bemakna bahwa manusia dikutuk menjadi serigala bagi sesamanya yang diperlawanankan dengan tesis filsuf Thomas Hobbes.

Hobbes menimbang dan masih optimistis adanya keseimbangan dalam jiwa manusia yang berkonsep Homo Homini Socius dengan janji manusia adalah “kerabat suci” bagi sesama. Kedua konsep raga-psikis Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius sedang saling berkecamuk di ingatan bangsa, tentunya benar-benar sedang diuji di Indonesia hari-hari ini.

Sebagaimana yang disampaikan Hobbes dengan narasi Homo Homini Socius di karyanya de Cive, para Nabi dan orang-orang suci juga memercayai bahwa jiwa manusia adalah lontaran atau percikan sakral dari sang pencipta-Nya, yang dengan kasih dan sayang memeluk dan mengayomi saudara-saudaranya.

Jika kita mawas diri atas semua tragedi itu, kondisi krisis teladan atau tunatuntunan dari para pemimpin negeri sedang terjadi. Secara visual, kita dipertontonkan dengan ragam arsitektural bangunan-bangunan yang religius, berwibawa, berparas terbuka berpihak pada yang lemah dan egaliter. Tapi, dalam ruang-ruang batin kolektif kita sebagai bangsa sejatinya hampa, nirpengetahuan yang mencerahkan, terbungkam secara nalar dan etika oleh atribut-atribut di permukaan wujud fisik.

Ing Ngarso Sung Tulodo, dari ajaran Ki Hajar Dewantara tentang kepemimpinan yang memberi suri teladan di depan sudah jarang kita jumpai dalam praktik, sebab arogansi dan kesewenang-wenangan malah mengemuka, mumpung masih menjabat atau Adigang-adigung. Nilai-nilai kepemimpinan yang menyebadan dalam kultur Sunda misalnya, selain Jawa yang berpedoman pada kebenaran, berkerja sesuai dengan tugasnya, melakukan kebajikan, dan memelihara kesejahteraan jarang dipertontonkan oleh para pejabat.

Sikap-sikap keseharian para pemimpin juga jauh dari kata-kata bijak Teu adigung kamagungan (tidak sombong), Titih-rintih, tara kajurug ku nafsu (tertib, tidak pernah terdorong nafsu), atau Sacangreud pageuh, sagolek pangkek, henteu ganti pileumpangeun (kukuh pendirian) dan Leber wawanen peneh (keberanian yang diimbangi dengan kepandaian). Selain, ini yang penting karakter tentang Loba socana rimbil cepilna (pandai membaca keadaan dan mendengar keluh kesah rakyatnya). Orang Sunda juga memberi nasihat tentang pemimpin yang Kudu jadi gunung pananggeuhan (harus menjadi andalan bagi rakyat).

Tentang karakter pemimpin yang adil dalam perspektif kultur lokalitas yang lain, budaya Minang sangat menjunjung keyakinan bahwa pemimpin haruslah adil dan menjalankan aturan hukum yang ada. Sebagaimana dalam petatah-petitih orang Minang bahwa Manimbang samo barek (menimbang sama berat), Maukua samo panjang (mengukur sama panjang) dan Mambilai samo laweh (membelah sama besar/luas) dan Baragiah samo banyak (membagi sama banyak).

Penulis kemudian menjadi bimbang, jika masa depan, terutama tahun-tahun politik yang gaduh menyongsong 2024 kondisi dan situasi akan menjadi lebih memilukan. Kekerasan verbal, simbolik pun fisik tentu sedang mengintip di muka pintu-pintu kesadaran kita. Maka, forum Rektor se-Daerah Istimewa Jogjakarta/ DIY beberapa saat lalu terngiang kembali dan patut direnungkan.

Seruan moral oleh para pemimpin perguruan tinggi itu antara lain mengajak seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pemilu sebagai media pendidikan politik, membangun moralitas bangsa. Mereka menyeru atas jaminan agar Pemilu berjalan secara partisipatif bagi seluruh Bangsa Indonesia dan mengajak menghindari jebakan penyalahgunaan identitas dengan politisasi agama, etnis, dan ras, yang berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan tak berkesudahan.

Penulis menjadi teringat yang diajarkan Ki Hajar Dewantara bahwa para pemimpin seharusnya menjadi tauladan dan panutan seperti yang dijadikan salah satu sandaran Universitas di ujung Timur Pulau Jawa, yakni Universitas Jember dalam semboyan lamanya: Karya Rinaras Ambhuka Budi, Gerbang Mangesti Aruming Bawana. Yang secara maknawi, berarti para calon pemimpin, seharusnya belajar sejak muda berkarya selaras membuka budi pekerti, yakni nalar dan moral untuk mengungkap kebenaran dan berkontribusi konkret bagi semesta dan sesama manusia.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1136 seconds (0.1#10.140)