Dampak Perubahan Iklim Makin Terasa, Krisis Pangan Mengancam
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dampak perubahan iklim semakin dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Dua dari contoh bencana iklim adalah tenggelamnya desa karena banjir, serta makin sulitnya nelayan melaut.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanudin, di Demak, Jawa Tengah, 4 desa sudah tenggelam. Salah satunya Desa Bendono. Sedangkan nelayan, sepanjang 2010-2019, jumlahnya makin sedikit karena banyak yang tewas saat melaut. Jumlah nelayan berkurang 330.000. Pada 2010 jumlahnya sebanyak 2,16 juta nelayan. Namun pada 2019 tinggal 1,83 juta orang.
Parid menjelaskan, nelayan terdampak langsung oleh iklim, sebab mereka melaut berdasar kondisi cuaca. Krisis iklim membuat mereka semakin sulit memprediksi cuaca. Akibatnya, waktu melaut pun sangat terbatas. Dalam setahun, mereka hanya melaut selama 180 hari.
"Pada masa yang akan datang kita akan mengalami krisis pangan laut," ujar Parid dalam acara Bedah Dokumen dan Diskusi: Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia di Jakarta, Senin (3/10/2022).
Parid mengatakan, jika kondisi ini dibiarkan, lebih dari 12.000 desa pesisir, dan lebih dari 86 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam. Imbasnya, banyak masyarakat pesisir yang akan menjadi pengungsi karena bencana iklim (climate refugee). "Lebih jauh, generasi yang hidup pada tahun 2050 akan menghadapi kenaikan air laut dan terancam krisis pangan," katanya.
Dalam acara ini, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menyampaikan kuliah umum yang menyoroti perjuangan memasukkan elemen keadilan iklim dalam dokumen-dokumen internasional. Menurut Torry, gerakan keadilan iklim ditandai beberapa milestone penting. Pada 1990, sebuah laporan berjudul "Green House Gangsters vs Climate Justice" yang diterbitkan Corps Watch, di San Francisco, menegaskan, dampak lingkungan yang ditimbulkan perusahaan minyak terbukti jauh lebih berat menimpa kelompok miskin. Laporan ini menandai dimulainya gerakan yang menyoroti perlunya perspektif keadilan dan keberpihakan bagi kelompok rentan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Tonggak penting lain, Torry menjelaskan, adalah Durban Group on Climate Justice, yang dibentuk pada 2004. Gelombang gugatan masyarakat Nigeria terhadap perusahaan minyak Shell, pada 2000-2020, juga menjadi milestone yang menguatkan dorongan wacana keadilan iklim. "Climate Justice Now!" yang dideklarasikan Civil Society Forum di Denpasar, Bali, di tengah perhelatan COP13 pada tahun 2007, juga menjadi tonggak penting gerakan keadilan iklim.
Baca juga: Laut Topang Kehidupan 60% Penduduk RI, Masyarakat hingga Perusahaan Diajak Lindungi Alam
Yang juga tak kalah penting adalah pidato ensiklik, surat kepada umat manusia, Paus Franciscus I bertajuk "Laudato Si-Care for Our Common Home", pada 2015. Dalam pidato ini, Paus menggarisbawahi problem yang dihadapi umat manusia, yakni polusi, perubahan iklim, kelangkaan air, hilangnya biodiversitas, dan ketimpangan global. Laudato Si yang fenomenal ini juga menyoroti betapa penggunaan teknologi, sebagai alat untuk memanipulasi alam, telah memisahkan manusia dari lingkungan dan mengedepankan kepentingan ekonomi.
Menurut Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanudin, di Demak, Jawa Tengah, 4 desa sudah tenggelam. Salah satunya Desa Bendono. Sedangkan nelayan, sepanjang 2010-2019, jumlahnya makin sedikit karena banyak yang tewas saat melaut. Jumlah nelayan berkurang 330.000. Pada 2010 jumlahnya sebanyak 2,16 juta nelayan. Namun pada 2019 tinggal 1,83 juta orang.
Parid menjelaskan, nelayan terdampak langsung oleh iklim, sebab mereka melaut berdasar kondisi cuaca. Krisis iklim membuat mereka semakin sulit memprediksi cuaca. Akibatnya, waktu melaut pun sangat terbatas. Dalam setahun, mereka hanya melaut selama 180 hari.
"Pada masa yang akan datang kita akan mengalami krisis pangan laut," ujar Parid dalam acara Bedah Dokumen dan Diskusi: Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia di Jakarta, Senin (3/10/2022).
Parid mengatakan, jika kondisi ini dibiarkan, lebih dari 12.000 desa pesisir, dan lebih dari 86 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam. Imbasnya, banyak masyarakat pesisir yang akan menjadi pengungsi karena bencana iklim (climate refugee). "Lebih jauh, generasi yang hidup pada tahun 2050 akan menghadapi kenaikan air laut dan terancam krisis pangan," katanya.
Dalam acara ini, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menyampaikan kuliah umum yang menyoroti perjuangan memasukkan elemen keadilan iklim dalam dokumen-dokumen internasional. Menurut Torry, gerakan keadilan iklim ditandai beberapa milestone penting. Pada 1990, sebuah laporan berjudul "Green House Gangsters vs Climate Justice" yang diterbitkan Corps Watch, di San Francisco, menegaskan, dampak lingkungan yang ditimbulkan perusahaan minyak terbukti jauh lebih berat menimpa kelompok miskin. Laporan ini menandai dimulainya gerakan yang menyoroti perlunya perspektif keadilan dan keberpihakan bagi kelompok rentan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Tonggak penting lain, Torry menjelaskan, adalah Durban Group on Climate Justice, yang dibentuk pada 2004. Gelombang gugatan masyarakat Nigeria terhadap perusahaan minyak Shell, pada 2000-2020, juga menjadi milestone yang menguatkan dorongan wacana keadilan iklim. "Climate Justice Now!" yang dideklarasikan Civil Society Forum di Denpasar, Bali, di tengah perhelatan COP13 pada tahun 2007, juga menjadi tonggak penting gerakan keadilan iklim.
Baca juga: Laut Topang Kehidupan 60% Penduduk RI, Masyarakat hingga Perusahaan Diajak Lindungi Alam
Yang juga tak kalah penting adalah pidato ensiklik, surat kepada umat manusia, Paus Franciscus I bertajuk "Laudato Si-Care for Our Common Home", pada 2015. Dalam pidato ini, Paus menggarisbawahi problem yang dihadapi umat manusia, yakni polusi, perubahan iklim, kelangkaan air, hilangnya biodiversitas, dan ketimpangan global. Laudato Si yang fenomenal ini juga menyoroti betapa penggunaan teknologi, sebagai alat untuk memanipulasi alam, telah memisahkan manusia dari lingkungan dan mengedepankan kepentingan ekonomi.