Berpihak Kepada Petani

Sabtu, 24 September 2022 - 08:35 WIB
loading...
Berpihak Kepada Petani
Kuntoro Boga Andri. FOTO/Istimewa
A A A
Kuntoro Boga Andri
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian

Peringatan Hari Tani Nasional, 24 September 2022, di tengah krisis global dan ancaman krisis pangan dunia, patut menjadi momentum menggugah apresiasi dan keberpihakan kepada insan pertanian. Pertanian Indonesia terbukti mampu menjadi bantalan perekonomian negara di tengah krisis pandemi dan penyokong utama pangan di dalam negeri.

Peranan petani ke depan akan semakin penting dengan kebutuhan pangan yang juga meningkat. Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan menyebut ketahanan pangan ke depan akan terancam, seiring perubahan iklim dan krisis global akibat kondisi politik dunia terkini.

Di saat yang sama, pertumbuhan jumlah penduduk melaju begitu cepat. Benua Asia saja, diperkirakan menjadi rumah bagi 4,9 miliar orang pada 2030. Ini akan mengakibatkan peningkatan konsumsi pangan lebih dari dua kali lipat per kapita dalam satu dekade mendatang.

Presiden Joko Widodo berkali-kali meminta semua insan pertanian beserta seluruh pemangku kepentingan sektor ini untuk bekerja lebih baik dan inovatif. Meskipun para petani kita sebagai pelaku utama aktivitas pertanian telah membuktikan terus bergerak dan bekerja keras di lapangan di kala produksi dan distribusi pangan negara-negara lain terhambat.

Keberhasilan Indonesia menjaga swasembada beras tiga tahun terakhir, dibuktikan melalui sertifikat swasembada dari IRRI (International Rice Research Institute) dan apresiasi dari Food and Agriculture Organization (FAO) tidak boleh membuat kita terlena.

Tantangan dan krisis belum sepenuhnya usai. Dampak perubahan iklim dan kondisi perang Rusia dan Ukraina masih memengaruhi kondisi pangan global.

Pembelaan Kaum Tani
Hari Tani Nasional di Indonesia bermula dari ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA 1960) oleh Presiden Soekarno. Di dalamnya ditegaskan soal pelaksanaan land reform atau reformasi agraria sebagai bentuk pembelaan kepada petani dan buruh tani.

Land reform menitikberatkan pada penguatan dan perluasan kepemilikan tanah bagi seluruh rakyat, khususnya kaum tani. Reformasi agraria dilakukan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan kaum pedesaan.

Menelaah upaya negara lain memberi pembelaan kepada petani melalui “land reform” di Jepang dan Korea Selatan patut dijadikan pelajaran.

Jepang melakukan kebijakan Noochi Kaihoo (Emancipation of Farming Land) pada 1947-1949 untuk membangkitkan ekonomi dan kedaulatan pangan nasionalnya. Pada saat itu, Jepang mendistribusikan lebih dari 23.000 kilometer persegi lahan pertanian (38% dari lahan pertanian nasional) kepada petani miskin.

Selanjutnya di era 1950-an, pemerintah Jepang memperbaiki infrastruktur pertanian di antaranya bendungan, irigasi dan jalan usaha tani. Periode 1960 sampai 70-an, dilakukan upaya pemberdayaan koperasi pertanian “Nihon Nogyoo Kumiai” (Japan Agricultural Cooperative) hingga inisiasi penerapan inovasi dan teknologi terbaru untuk peningkatan produksi pertanian melalui koperasi.

Pembangunan pertanian di Negara Sakura didorong oleh penerapan teknologi dan inovasi pertanian. Sejak pertengahan tahun 60-an didirikan 13 lembaga penelitian pertanian, 255 lembaga penelitian di tingkat prefektur (provinsi), dan enam lembaga pengkajian nasional di berbagai penjuru negeri.

Subsidi pertanian melalui kredit pertanian, pengadaan alat, mesin serta input produksi juga diberikan. Pemerintah Jepang mengalokasikan anggaran 3-4% untuk subsidi di sektor pertanian. Jepang juga memproteksi komoditas pertanian dalam negeri untuk beras, daging, dan susu. Selebihnya dibebaskan pada mekanisme pasar. Kebijakan ini membawa petani Jepang sebagai petani yang paling sejahtera di dunia.

Di Korea Selatan (Korsel) selepas perang saudara di era 50-an, upaya dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan menurunkan angka kemiskinan. Pada 1960-an, 60% penduduk Korsel tinggal di perdesaan dan berprofesi sebagai petani. Gerakan Desa Baru (Saemaul Undong Movement/SU) dipimpin langsung oleh Presiden Park Chung-hee sejak awal 1970-an.

SU adalah bagian dari gerakan berbasis masyarakat. Kebijakan di negeri itu juga mendukung kemudahan finansial yang dilakukan dengan membentuk: (1) Farm Land Management Fund Law, dan (2) Farm Land Bank Law. Hasilnya gerakan ini membuat Korsel berhasil mencapai swasembada pertanian di akhir 1970-an.

Pemerintah Korsel sampai saat ini sangat melindungi petani mereka dengan mempertahankan subsidi pertanian dan tarif impor. Meskipun setelah era 1990-an basis kekuatan ekonomi Korsel bertumpu pada sektor industri, tetapi pemerintah tidak mencabut subsidi pertanian tersebut. Karena khawatir akan mengancam kesejahteraan petani, eksistensi sektor pertanian dan kedaulatan pangan.

Keberpihakan Kita
Di Indonesia, pada setiap masa, muncul pemimpin yang secara nyata berpihak kepada kaum tani. Di era kolonial, ideologi Marhaenisme dilahirkan oleh Soekarno sebagai bentuk keberpihakan kepada petani dan buruh tani. Bahkan tahun 1952 di Kampus IPB, Soekarno mengatakan, "Pertanian adalah soal hidup matinya sebuah bangsa."

Begitu pula Ulama Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Ashari menegaskan keberpihakannya kepada petani dengan mengutip tulisan Muntaha dari kitab Amalil Khuthaba, "Petani adalah benteng terakhir bagi pertahanan negeri".

Di era Orde Baru pembangunan infrastruktur pertanian menjadi prioritas pembangunan nasional. Sementara pada periode Presiden Joko Widodo (Jokowi), keberpihakan pemerintah ditunjukkan dengan menjalankan program strategis untuk mendongkrak produksi dan kesejahteraan petani dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan.

Program strategis tersebut dilakukan melalui transformasi pertanian kita menjadi modern dengan perubahan paradigma petani menjadi agripreneur. Dalam konsep ini, petani tidak lagi menjadi 'buruh', tetapi pemilik usaha tani.

Sebagai agripreneur, petani tidak hanya berkutat di bagian produksi, tetapi juga menguasai keseluruhan sistem agrobisnis dari hulu hingga hilir. Untuk melahirkan agripreneur, Kementerian Pertanian telah menargetkan pencetakan jutaan petani muda dan regenerasi petani.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi juga meminta masyarakat Indonesia menerapkan budaya tidak membuang makanan (food waste). Presiden mengharapkan masyarakat memperkuat budaya baru, yaitu menghargai setiap makanan yang sudah diambil.

Perlu diketahui, setiap tahun sampah makanan di Indonesia mencapai 1,3 juta ton atau 300 kg/orang. Jika dirupiahkan, total sampah makanan tersebut mencapai sekitar Rp27 triliun. Ironisnya, 19,6 juta penduduk Indonesia masih kekurangan gizi. Jika dikonsumsi, Rp27 triliun itu dapat memberi makan 28 juta orang/tahun. Jadi, food waste menjadi perbuatan mubazir.

Daniel Webster, seorang negarawan terkemuka Amerika Serikat mengatakan, “Janganlah kita lupa pertanian adalah pekerjaan manusia yang paling penting. Ketika pekerjaan pengolahan tanah dimulai, pertanian dimulai, seni dan kehidupan lain-lain mengikuti. Oleh karena itu, para petani adalah pendiri peradaban manusia.”

Maka, perayaan Hari Tani Nasional adalah upaya mengingat dan menjaga keberpihakan kepada petani yang sudah memenuhi keperluan pangan dan hasil pertanian lainnya. Seluruh stakeholder sektor pertanian diingatkan untuk terus perupaya dan bekerja untuk kesejahteraan petani.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2319 seconds (0.1#10.140)