Firasat Akhir Hayat, Jenderal Paling Dihormati Ini Keliling TMP Kalibata Sebelum Wafat

Sabtu, 17 September 2022 - 08:17 WIB
loading...
Firasat Akhir Hayat,...
Mantan Panglima TNI Jenderal M Jusuf sebelum wafat meminta Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin mengantarkannya keliling Taman Makam Pahlawan Kalibata. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Suatu hari di bulan September 2003, telepon genggam Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin berdering. Sang ajudan pembawa ponsel itu buru-buru menyerahkan kepada Sjafrie yang kala itu baru saja turun dari pesawat Hercules C-130 milik TNI AU usai mendampingi Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto kunjungan ke Aceh.

“Pak, ini Jenderal Jusuf mau bicara,” kata ajudan, sebagaimana diceritakan Atmadji Sumarkidjo dalam buku Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit dikutip Sabtu (17/9/2022). Seakan tak percaya, Sjafrie segera membalas. “Halo,” kata jenderal Kopassus lulusan Akademi Militer 1974 ini.

Sayangnya, suara di seberang tidak jelas. Sjafrie pun mengembalikan telepon kepada stafnya. Tapi beberapa menit kemudian, staf tersebut kembali menghampiri Sjafrie. Sama seperti pertama, dia memberitahukan Jenderal Jusuf menghubungi. Namun, lagi-lagi suara jawaban di ujung telepon tidak jelas.

Tak lama, telepon genggam itu kembali berbunyi. Staf kembali menyerahkan kepada Sjafrie. Awalnya, jenderal bintang dua itu agak ragu. Dia sempat berpikir apakah ada orang yang bergurai mengaku-aku sebagai Jenderal Jusuf. Namun keraguannya seketika hilang saat suara di seberang sana terdengar jelas. “Halo, Generaal Sjafrie.”

Kali ini, Sjafrie terkejut. Jika ada orang yang menyapanya dengan ucapan generaal atau jenderal dalam Bahasa Belanda, tentu bukan sosok sembarangan. Terlebih Sjafrie juga ingat betul pemilik suara itu. Dia pun buru-buru menjawab. “Siap, Pak,” ucapnya.

Jenderal Jusuf ternyata meminta Sjafrie datang ke rumahnya. Sesungguhnya Sjafrie saat itu juga menjawab siap datang, tetapi Jusuf justru memintanya tidak buru-buru. Pada waktu yang ditentukan, Sjafrie sowan di kediaman mantan Panglima TNI itu di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.

Setelah bicara beberapa hal, Jenderal Jusuf tiba-tiba meminta Sjafrie mengantarkannya ke Kalibata. “Ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Pak?” tanya Sjafrie, heran. Jusuf mengiyakan. Jadi lah pagi itu kedua tentara asal Sulawesi Selatan tersebut bergerak ke TMP Kalibata. Seperti biasa, Jusuf yang telah purnawirawan itu ditemani oleh seorang sopir.

Tiba di TMP Kalibata, Sjafrie menanyakan lokasi mana yang akan didatangi terlebih dahulu. “Ke kuburan bapakmu dulu,” tutur Jusuf. Untuk diketahui, mendiang ayah Sjafrie Sjamsoeddin merupakan perwira di Kodam Hasanuddin. Dengan kata lain, ayah Sjafrie pernah menjadi anggota Jusuf semasa menjabat Pangdam Hasanuddin. Di nisan itu, jenderal berdarah Bugis berdoa selama beberapa menit.

Setelah rampung, Sjafrie kembali menanyakan ziarah selanjutnya. “Ke tempat Yani,” ucap Jusuf, singkat. Yang dimaksud tentu saja Letjen TNI Ahmad Yani. Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat (kini KSAD) itu gugur dalam tragedi penculikan G30/September yang didalangi PKI.

Dari nisan Yani, Jusuf mengarah ke peristirahatan terakhir mantan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Tengah Suparjo Roestam. Ketika Suparjo wafat, Jusuf turut menghadiri pemakaman sahabatnya itu.

Dari situ, dia melangkah ke makam Umar Wirahadikusumah. Pagi beranjak siang, matahari mulai menyengat. Namun, tulis Atmadji, Jusuf masih enggan beranjak. “Tolong ke tempatnya Panggabean,” tutur dia.

Sjafrie terlihat ragu. Bukan apa-apa, makam mendiang Jenderal TNI Maraden Panggabean berada di sisi lain. Sekadar diketahui, kompleks makam non-muslim berada di bagian kiri pintu gerbang. Menuju tempat itu lumayan jauh. Sjafrie khawatir Jusuf kelelahan mengingat kondisi fisiknya yang tak lagi sekuat dulu. Namun Jusuf bergeming.

“Ya, kita ke sana,” ucapnya. Praktis, selama dua jam Jusuf berkeliling mengunjungi para sahabatnya yang telah dulu menghadap Yang Maha Kuasa. Dia bahkan seolah tak memedulikan kondisinya yang saat itu mulai sakit-sakitan.

Atmadji menggambarkan ziarah itu semacam firasat. “Apakah dia sudah mengetahui hidupnya tak lama lagi? Atau dia memersiapkan diri untuk suatu perjalanan yang kekal baginya?" tanya dia.

Wafat di Makassar
Mendung duka datang menggelayut pada 8 September 2004. Jusuf meninggal dengan tenang di rumahnya, Jalan Sungai Tangka, Makassar. Pemakaman yang dilakukan sehari berikutnya atau 9 September 2004 menjadi lautan belasungkawa. Ribuan orang mulai masyarakat biasa hingga tokoh nasional mendatangi rumah duka. Isak tangis mewarnai hari kelam itu.

Dari Jakarta Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto datang. Begitu juga tiga kepala staf angkatan. Sebelum upacara pemakaman, jenazah Jusuf dibaringkan 20 menit di Masjid Raya Al Markaz Al Islami yang didirikannya. Ribuan orang datang untuk ikut menyolati.

Andai saja di hari itu tidak terjadi ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Pusat, niscaya seluruh pemberitaan akan tertuju atas meninggalnya salah satu jenderal paling dihormati prajurit tersebut. Jusuf dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panekukang. Sosok sederhana itu dikebumikan dengan cara sederhana pula.

Lahir dari keluarga bangsawan Bugis, Jusuf melalui banyak perjalanan sejarah. Mula-mulai dia bergabung dengan Devosi Rakyat Indonesia dari Sulawesi (KRIS) ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Bersama rekan-rekannya mereka kemudian berlayar ke Jawa. Jusuf awalnya masuk Angkatan Laut dan pernah menjadi ajudan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar di Yogyakarta.

Pada 1949 dia masuk Angkatan Darat di bagian Polisi Militer. Setahun berikutnya dia menjadi ajudan Kolonel Alex Kawilarang, Pangdam Siliwangi yang juga tokoh di balik pembentukan pasukan elite Kesko III TT. Pasukan ini kelak berubah menjadi RPKAD, Kopassandha dan akhirnya Kopassus hingga kini. Karier Jusuf terus melesat hingga dia dipercaya memegang tongkat komando tertinggi di kampung halamannya, yakni menjadi Pangdam Hasanuddin.

Perjalanan waktu mengantar karier Jusuf ‘berakhir’ di militer. Selepas Pangdam itu, dia ditarik Presiden Soekarno masuk kabinet sebagai menteri. Meski demikian dia masih berstatus tentara aktif. Ketika Soeharto menjadi Presiden, Jusuf masih dipertahankan dalam kabinet. Namun suatu hal tak terduga. Pada 29 Maret 1978 dia dipercaya menjadi Panglima ABRI/Menhankam. Jusuf menggantikan Jenderal Maraden Panggabean.

Dalam karier militernya sebagai Pangab, Jusuf dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan prajurit. Dia kerap blusukan ke barak-barak dan asrama untuk menyapa para anggota ABRI. Tak heran, dia begitu dikenang. Begitu tingginya kesan baik itu sehingga Jusuf lekat dengan julukan ‘Panglima Para Prajurit’ atau ‘Bapak Para Prajurit’.

Salah satu tokoh yang memiliki kenangan mendalam tersebut yakni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. ”Saya sangat terkesan dengan Jenderal Jusuf. Hidupnya sangat sederhana. Beliau ini adalah prajurit, jenderal dan seorang panglima yang tidak ingin menyusahkan bekas anak buahnya yang sedang aktif dengan meminta berbagai fasilitas. Beliau ingin mandiri, berdiri di atas kaki sendiri,” ujar Prabowo dalam bukunya Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman LetjenTNI (Purn) Prabowo Subianto.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2140 seconds (0.1#10.140)