Di Balik Konflik Jenderal M Yusuf Versus LB Moerdani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemilu pertama tahun 1971 dimenangkan oleh Partai Golkar dengan mengalahkan 9 partai lainnya. Seperti pada Pemilu 1971, Pemilu 1977 kembali dimenangkan Golkar. Untuk memuluskan kemenangan Golkar ini, partai politik dipaksa fusi pada Januari 1973 menjadi hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menyatukan partai-partai Islam.
Sementara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk menyatukan partai-partai beraliran nasionalis dan Kristen/Katolik. Soeharto dipilih kembali menjadi Presiden RI pada 1978 dan Jenderal M Yusuf diangkat menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal Maraden Panggabean.
Sementara itu Ketua G-I Hankam/Asintel ABRI kala itu yang dijabat Letjen Leonardus Benyamin Moerdani atau LB Benny Moerdani, diisukan melaporkan kepopuleran Jenderal M Yusuf kepada Soeharto.
Ini kemudian memunculkan ketidaksenangan Soeharto terhadap Jenderal Yusuf. Benny Moedani juga melaporkan tindak tanduk Jenderal M Yusuf kepada Soeharto, yang menyebutkan bahwa Yusuf menggalang kekuatan internal untuk menjadi Presiden RI.
Selama masa jabatan Jenderal M Yusuf memang banyak beredar isu. Misalnya, untuk mencari popularitas di kalangan para perwira, M Yusuf memberikan kenaikan pangkat langsung di lapangan bagi perwira yang berprestasi, seperti di Timor Timur dan Irian Jaya (Papua).
Isu lain menyebutkan bahwa semua komandan setingkat Letkol dapat langsung masuk ke Sekolah Staf dan Komando (Sesko).
Puncak konflik antara Jenderal M Yusuf dengan Letjen Benny Moerdani terjadi ketika pada 30 Maret 1981, Jenderal M Yusuf melakukan Commanders Call ABRI di Ambon. Dalam acara tersebut, Letjen Benny Moerdani tidak ikut ke Ambon.
Bertepatan dengan acara tersebut, terjadi peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla di Bangkok. Sementara Letjen Benny Moerdani langsung mengatasi pembajakan ini sendiri tanpa kendali Jenderal M Yusuf.
Menurut kalangan internal ABRI, Letjen Benny Moerdani sebagai Asinel dan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) sengaja menggalang kekuatan ekstrim Islam untuk melakukan aksi pembajakan.
Dalam drama pembajakan ini, Benny menumpas sendiri para pembajak dengan bantuan pasukan Kopassus yang direkrut mendadak. Tudingan ini terjadi karena sebagai Asintel Hankam, Letjen Benny Moerdani tidak ikut ke Ambon pada Commanders Call.
Keberhasilan operasi Woyla ini menjadikan Benny Moerdani dianggap berjasa oleh Soeharto karena ia berhasil menjaga nama baik bangsa Indonesia di mata internasional. Atas jasa-jasanya, Letjen Benny Moerdani diangkat menjadi Panglima ABRI pada 1983, melampaui para seniornya seperti Letjen Himawan Sutanto (Kepala Staf Operasi Panglima ABRI) yang membawahi Letjen Benny Moerdani. Akibatnya terjadi ketegangan dan kecemburuan para senior lulusan Akademi Militer.
Sebagai Panglima ABRI, Jenderal Moerdani sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Hankam Negara tidak merangkap Menhankam. Menhankam dijabat oleh Jenderal Poniman, mantan KSAD.
Sementara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk menyatukan partai-partai beraliran nasionalis dan Kristen/Katolik. Soeharto dipilih kembali menjadi Presiden RI pada 1978 dan Jenderal M Yusuf diangkat menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal Maraden Panggabean.
Sementara itu Ketua G-I Hankam/Asintel ABRI kala itu yang dijabat Letjen Leonardus Benyamin Moerdani atau LB Benny Moerdani, diisukan melaporkan kepopuleran Jenderal M Yusuf kepada Soeharto.
Ini kemudian memunculkan ketidaksenangan Soeharto terhadap Jenderal Yusuf. Benny Moedani juga melaporkan tindak tanduk Jenderal M Yusuf kepada Soeharto, yang menyebutkan bahwa Yusuf menggalang kekuatan internal untuk menjadi Presiden RI.
Selama masa jabatan Jenderal M Yusuf memang banyak beredar isu. Misalnya, untuk mencari popularitas di kalangan para perwira, M Yusuf memberikan kenaikan pangkat langsung di lapangan bagi perwira yang berprestasi, seperti di Timor Timur dan Irian Jaya (Papua).
Isu lain menyebutkan bahwa semua komandan setingkat Letkol dapat langsung masuk ke Sekolah Staf dan Komando (Sesko).
Puncak konflik antara Jenderal M Yusuf dengan Letjen Benny Moerdani terjadi ketika pada 30 Maret 1981, Jenderal M Yusuf melakukan Commanders Call ABRI di Ambon. Dalam acara tersebut, Letjen Benny Moerdani tidak ikut ke Ambon.
Bertepatan dengan acara tersebut, terjadi peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla di Bangkok. Sementara Letjen Benny Moerdani langsung mengatasi pembajakan ini sendiri tanpa kendali Jenderal M Yusuf.
Menurut kalangan internal ABRI, Letjen Benny Moerdani sebagai Asinel dan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) sengaja menggalang kekuatan ekstrim Islam untuk melakukan aksi pembajakan.
Dalam drama pembajakan ini, Benny menumpas sendiri para pembajak dengan bantuan pasukan Kopassus yang direkrut mendadak. Tudingan ini terjadi karena sebagai Asintel Hankam, Letjen Benny Moerdani tidak ikut ke Ambon pada Commanders Call.
Keberhasilan operasi Woyla ini menjadikan Benny Moerdani dianggap berjasa oleh Soeharto karena ia berhasil menjaga nama baik bangsa Indonesia di mata internasional. Atas jasa-jasanya, Letjen Benny Moerdani diangkat menjadi Panglima ABRI pada 1983, melampaui para seniornya seperti Letjen Himawan Sutanto (Kepala Staf Operasi Panglima ABRI) yang membawahi Letjen Benny Moerdani. Akibatnya terjadi ketegangan dan kecemburuan para senior lulusan Akademi Militer.
Sebagai Panglima ABRI, Jenderal Moerdani sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Hankam Negara tidak merangkap Menhankam. Menhankam dijabat oleh Jenderal Poniman, mantan KSAD.
(maf)