Pembentukan Dewan Keamanan Nasional Dinilai Tak Mendesak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Centra Initiative Muhammad Hafiz menilai rencana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) tidak mendesak dan memiliki banyak permasalahan secara konstitusional yuridis, sosiologis, historis, maupun politis demokratis. Dia mengatakan, DKN justru tidak memiliki landasan yang kuat secara konstitusional.
Dia menuturkan, merujuk pada Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, seharusnya pemerintah membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN), bukan Dewan Keamanan Nasional. Dia melanjutkan, DPN ini yang diberikan fungsi untuk membantu Presiden dalam menyusun kebijakan pertahanan nasional.
“Hingga saat ini, pemerintah justru belum meninjau Wantannas agar sesuai dengan DPN yang dimaksud di dalam UU Pertahanan Negara. Tidak adanya amanat UU lebih tinggi ini kemudian membuat proses penyusunan RPerpres yang diajukan untuk membentuk DKN ini juga bermasalah,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/9/2022).
Apalagi, lanjut dia, dengan proses yang tertutup dan terburu-buru, pembentukan DKN ini justru tidak memenuhi unsur yuridis penyusunan peraturan perundang-undangan. “Sebaliknya, kecenderungan adanya kekeliruan dalam prosesnya justru memunculkan dampak serius pada menguatnya pendekatan represif negara terhadap situasi nasional,” imbuhnya.
Apalagi, sambung dia, wacana membentuk DKN telah pernah ditolak oleh DPR RI ketika RUU Keamanan Nasional gagal disahkan, sehingga jangan sampai RPerpres DKN ini menjadi jalan pintas yang tidak konstitusional yang diambil oleh pemerintah. Dia menambahkan, secara tugas dan fungsi sebagaimana disebutkan dalam RPerpres, DKN melalui Sekjen DKN memiliki fungsi pengendalian penanganan krisis nasional serta pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan penanganan krisis nasional.
Hal tersebut dinilai justru akan menimbulkan tumpang-tindih dengan kerja dan fungsi lembaga negara yang ada, yaitu Kemenko Polhukam yang selama ini melakukan koordinasi keamanan nasional. “Sementara dalam memberikan nasihat kepada Presiden juga telah ada Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhannas, Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres, serta Kantor Staf Presiden atau KSP. Bila DKN tetap dibentuk, akan memunculkan kekisruhan baru dalam tata kelola kelembagaan negara dan pemerintahan,” kata dia.
Lebih lanjut dia menuturkan, lembaga dengan karakter DKN yang diusulkan Wantannas ini telah ada dalam sejarah awal Indonesia, di masa Orde Baru dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), dan terbukti telah mencederai prinsip demokrasi dan negara hukum.
Sementara itu, kata dia, dengan kewenangan pengendalian keamanan itu maka Dewan Keamanan Nasional memiliki kewenangan yang sangat luas yang dapat mengontrol kondisi stabilitas keamanan. DKN diproyeksi untuk mengarah pada lembaga yang sebelumnya telah dimentahkan oleh bangsa ini.
“Apalagi, kecenderungan penyusunannya secara diam-diam semakin memperkuat kecurigaan adanya alasan tersembunyi di balik pembentukan DKN tersebut. Secara politis, pembentukan DKN bisa membenarkan pendekatan koersif atau pengendalian sosial dengan tindakan memaksa dan kekerasan atas nama keamanan,” ujarnya.
Dia menuturkan, merujuk pada Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, seharusnya pemerintah membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN), bukan Dewan Keamanan Nasional. Dia melanjutkan, DPN ini yang diberikan fungsi untuk membantu Presiden dalam menyusun kebijakan pertahanan nasional.
“Hingga saat ini, pemerintah justru belum meninjau Wantannas agar sesuai dengan DPN yang dimaksud di dalam UU Pertahanan Negara. Tidak adanya amanat UU lebih tinggi ini kemudian membuat proses penyusunan RPerpres yang diajukan untuk membentuk DKN ini juga bermasalah,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/9/2022).
Apalagi, lanjut dia, dengan proses yang tertutup dan terburu-buru, pembentukan DKN ini justru tidak memenuhi unsur yuridis penyusunan peraturan perundang-undangan. “Sebaliknya, kecenderungan adanya kekeliruan dalam prosesnya justru memunculkan dampak serius pada menguatnya pendekatan represif negara terhadap situasi nasional,” imbuhnya.
Apalagi, sambung dia, wacana membentuk DKN telah pernah ditolak oleh DPR RI ketika RUU Keamanan Nasional gagal disahkan, sehingga jangan sampai RPerpres DKN ini menjadi jalan pintas yang tidak konstitusional yang diambil oleh pemerintah. Dia menambahkan, secara tugas dan fungsi sebagaimana disebutkan dalam RPerpres, DKN melalui Sekjen DKN memiliki fungsi pengendalian penanganan krisis nasional serta pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan penanganan krisis nasional.
Hal tersebut dinilai justru akan menimbulkan tumpang-tindih dengan kerja dan fungsi lembaga negara yang ada, yaitu Kemenko Polhukam yang selama ini melakukan koordinasi keamanan nasional. “Sementara dalam memberikan nasihat kepada Presiden juga telah ada Lembaga Ketahanan Nasional atau Lemhannas, Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres, serta Kantor Staf Presiden atau KSP. Bila DKN tetap dibentuk, akan memunculkan kekisruhan baru dalam tata kelola kelembagaan negara dan pemerintahan,” kata dia.
Lebih lanjut dia menuturkan, lembaga dengan karakter DKN yang diusulkan Wantannas ini telah ada dalam sejarah awal Indonesia, di masa Orde Baru dengan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), dan terbukti telah mencederai prinsip demokrasi dan negara hukum.
Sementara itu, kata dia, dengan kewenangan pengendalian keamanan itu maka Dewan Keamanan Nasional memiliki kewenangan yang sangat luas yang dapat mengontrol kondisi stabilitas keamanan. DKN diproyeksi untuk mengarah pada lembaga yang sebelumnya telah dimentahkan oleh bangsa ini.
“Apalagi, kecenderungan penyusunannya secara diam-diam semakin memperkuat kecurigaan adanya alasan tersembunyi di balik pembentukan DKN tersebut. Secara politis, pembentukan DKN bisa membenarkan pendekatan koersif atau pengendalian sosial dengan tindakan memaksa dan kekerasan atas nama keamanan,” ujarnya.