Menata Juara, Merintis Masyarakat Bugar 2045
loading...
A
A
A
Suyadi Pawiro
Sekretaris Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga
DALAM dua tahun kepemimpinan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali, lahir fondasi kebijakan dan rancang bangun keolahragaan nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON).
Selain itu ada beberapa turunan peraturan menteri seperti Permenpora tentang Peta Jalan DBON, Permenpora tentang SDI. Tentu masih banyak tahapan kerja untuk diwujudkan menjadi karya nyata dalam bentuk prestasi dan masyarakat bugar serta sejahtera.
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sebagai dirigen, diharapkan mampu mengorkestrasi semua kementerian/lembaga bersama masyarakat sehingga seluruh gerak keolahragaan diarahkan menuju tujuan yang sama. Pembinaan prestasi dan kebugaran masing-masing perlu orkestra sendiri-sendiri walaupun dalam panggung besar keolahragaan, terdapat irisan dan konektivitas yang tidak bisa dipisahkan.
Juara adalah hasil akhir di mana proses untuk mencapainya mensyaratkan setidak-tidaknya 2 hal, yaitu (1) kolaborasi dengan pihak lain, dan (2) perlu proses jangka panjang. Di dalamnya tentu masih memerlukan berbagai elemen penting lain seperti pembinaan yang baik, pemanfaatan sport science, termasuk tahapan pembinaan yang bisa menggerakkan dari tingkat kabupaten/kota hingga nasional.
Pelibatan dan sharing of responsibility atau sebagaimana secara makro tergambar dalam DBON perlu dituangkan ke dalam kerangka kerja yang terintegrasi dengan tetap terorkestrasi dengan baik.
Proses pembinaan diawali dari talent identification, dilakukan di tingkat sekolah dasar (SD), kemudian hasilnya dibina melalui PPLP atau setidak-tidaknya kelas-kelas olahraga di tingkat kabupaten/kota untuk tingkat SMP. Dari beberapa PPLP atau kelas olahraga di tingkat kabupaten/kota, dilakukan seleksi untuk masuk ke jenjang SKO (SLTA) di tingkat provinsi.
Selain SKO, di tingkat provinsi, pemerintah melalui Kemenpora akan melakukan pembinaan atlet muda di 10 titik sentra pembinaan bersama dengan 10 perguruan tinggi olahraga.
Dari anak-anak terbaik di tingkat SKO dan 10 titik sentra pembinaan akan diseleksi melalui berbagai kompetisi menjadi atlet junior yang masuk di Youth Sport Center Cibubur yang akan segera dibangun. Atlet junior ini yang akan digembleng menjadi elite atlet nasional untuk dipersiapkan diri menuju berbagai kejuaraan internasional.
Demikian kira-kira alur dan tahapan pembinaan dari pusat hingga daerah. Namun perlu kami berikan catatan tebal bahwa identifikasi dan seleksi melalui antropometri bukanlah satu-satunya model seleksi yang bisa berlaku untuk semua cabang olahraga. Untuk beberapa cabang olahraga, angkat besi misalnya, boleh jadi bisa menggunakan rasio segmen-segmen tubuh.
Namun, sangat disadari, alur dan tahapan di atas di lapangan akan dihadapkan pada berbagai isu yang perlu dipetakan dan dipecahkan satu demi satu. Ada persoalan regulasi pusat daerah, provinsi kabupaten/kota khususnya dalam konteks kewenangan di bidang pendidikan.
Di sana ada irisan kewenangan antara Kemendikbud Ristek, Kemendagri, pemprov, dan tentu juga Kemenpora. Permenpora tentang Peta Jalan DBON diharapkan dapat menjadi tahapan awal dalam membuat orkestra pembinaan prestasi.
Kita tidak boleh beranggapan, dengan sudah adanya Perpres dan Permenpora tentang DBON jalan pembinaan akan mulus. Tapi sebaliknya, kita juga tidak harus skeptis karena pengalaman dan tantangan yang dihadapi selama ini menjadikan kita gamang dan berkecil hati. Kuncinya, berkolaborasi, niat baik bersinergi sebagaimana tema Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2022, “Bersama Cetak Juara".
Tentu saja diperlukan langkah kerja birokratis dan operasional yang masih akan banyak tantangan. Perlu dibangun sebuah lingkungan pembinaan yang berkesinambungan dan terintegrasi, sejak seleksi, promosi degradasi, sertifikasi pelatih, penerapan sport science hingga kompetisi yang terstandardisasi.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah seluruh proses ini memerlukan daya dorong, penggerak, bensin berupa anggaran. Tanpa itu maka seleksi, proses latihan hingga kompetisi tidak akan terjadi. Lagi-lagi diperlukan orkestrasi yang memadai.
Talent idenfitication calon atlet telah dimulai dengan mengidentifikasi aspek antropometri bagi anak-anak kelas 6 SD di berbagai sekolah, sebagai modalitas seorang atlet. Total diperoleh data lebih dari 48.000 anak yang secara antropometri memiliki potensi.
Sebagai contoh, terdapat anak kelas 6 SD dengan tinggi badan mencapai 185 cm, secara antropometri memiliki potensi. Namun tentu saja akan dilakukan identifikasi lanjutan untuk melihat potensi bakat keolahragaannya.
Makin banyak anak-anak yang memiliki talenta olahraga, yang bugar, makin banyak pilihan untuk memperoleh yang terbaik dengan potensi prestasi dunia. Di sinilah peran dan irisan antara olahraga pendidikan/pembudayaan olahraga terhadap olahraga prestasi.
Di sisi lain semakin banyak anak usia dini yang aktif berolahraga, yang bugar, akan semakin memberi keyakinan untuk terwujudnya masyarakat Indonesia bugar pada 2045. Dengan demikian biaya kesehatan dan anggaran kesehatan dapat semakin menurun dan produktivitas meningkat.
Upaya mencapai Visi Indonesia Bugar 2045 menghadapi tantangan yang tidak ringan. Data Sport Development Index (SDI) 2021 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat berolahraga cukup rendah, di angka 32,83%. Tingkat kebugaran berada lebih rendah lagi sebesar 26%. Angka partisipasi ini jauh di bawah negara-negara maju seperti Australia yang sudah mencapai 87% pada 2019 lalu.
Bahkan sesungguhnya angka partisipasi ini tidak beranjak dari satu dasawarsa yang lalu. Tampaknya perlu cara lain, strategi berbeda barangkali, untuk dapat mendorong partisipasi masyarakat berolahraga.
Analisis SDI tahun 2021 mengindikasikan bahwa terdapat dua faktor penting pendorong masyarakat berolahraga, yaitu (1) keberadaan sumber daya manusia (SDM) olahraga seperti pelatih atau guru, (2) ketersediaan ruang terbuka untuk berolahraga. Sementara itu data SDI tahun 2021 menunjukkan bahwa SDM olahraga merupakan dimensi paling rendah, yaitu 8%.
Sementara dimensi ruang terbuka berada di angka 50%, relatif baik. Ketiadaan atau keterbatasan penggerak, yakni guru atau pelatih olahraga, menjadi krusial untuk diberi perhatian khusus. Merekalah yang dapat mengajak berolahraga, mengajari anak-anak, memberikan bimbingan dan latihan, sehingga minat dan animo berolahraga bisa meningkat.
Perlu strategi dan kebijakan untuk menyediakan guru, penggerak atau pelatih olahraga di setiap desa, minimal satu desa satu SDM olahraga.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sekretaris Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga
DALAM dua tahun kepemimpinan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali, lahir fondasi kebijakan dan rancang bangun keolahragaan nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON).
Selain itu ada beberapa turunan peraturan menteri seperti Permenpora tentang Peta Jalan DBON, Permenpora tentang SDI. Tentu masih banyak tahapan kerja untuk diwujudkan menjadi karya nyata dalam bentuk prestasi dan masyarakat bugar serta sejahtera.
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sebagai dirigen, diharapkan mampu mengorkestrasi semua kementerian/lembaga bersama masyarakat sehingga seluruh gerak keolahragaan diarahkan menuju tujuan yang sama. Pembinaan prestasi dan kebugaran masing-masing perlu orkestra sendiri-sendiri walaupun dalam panggung besar keolahragaan, terdapat irisan dan konektivitas yang tidak bisa dipisahkan.
Juara adalah hasil akhir di mana proses untuk mencapainya mensyaratkan setidak-tidaknya 2 hal, yaitu (1) kolaborasi dengan pihak lain, dan (2) perlu proses jangka panjang. Di dalamnya tentu masih memerlukan berbagai elemen penting lain seperti pembinaan yang baik, pemanfaatan sport science, termasuk tahapan pembinaan yang bisa menggerakkan dari tingkat kabupaten/kota hingga nasional.
Pelibatan dan sharing of responsibility atau sebagaimana secara makro tergambar dalam DBON perlu dituangkan ke dalam kerangka kerja yang terintegrasi dengan tetap terorkestrasi dengan baik.
Proses pembinaan diawali dari talent identification, dilakukan di tingkat sekolah dasar (SD), kemudian hasilnya dibina melalui PPLP atau setidak-tidaknya kelas-kelas olahraga di tingkat kabupaten/kota untuk tingkat SMP. Dari beberapa PPLP atau kelas olahraga di tingkat kabupaten/kota, dilakukan seleksi untuk masuk ke jenjang SKO (SLTA) di tingkat provinsi.
Selain SKO, di tingkat provinsi, pemerintah melalui Kemenpora akan melakukan pembinaan atlet muda di 10 titik sentra pembinaan bersama dengan 10 perguruan tinggi olahraga.
Dari anak-anak terbaik di tingkat SKO dan 10 titik sentra pembinaan akan diseleksi melalui berbagai kompetisi menjadi atlet junior yang masuk di Youth Sport Center Cibubur yang akan segera dibangun. Atlet junior ini yang akan digembleng menjadi elite atlet nasional untuk dipersiapkan diri menuju berbagai kejuaraan internasional.
Demikian kira-kira alur dan tahapan pembinaan dari pusat hingga daerah. Namun perlu kami berikan catatan tebal bahwa identifikasi dan seleksi melalui antropometri bukanlah satu-satunya model seleksi yang bisa berlaku untuk semua cabang olahraga. Untuk beberapa cabang olahraga, angkat besi misalnya, boleh jadi bisa menggunakan rasio segmen-segmen tubuh.
Namun, sangat disadari, alur dan tahapan di atas di lapangan akan dihadapkan pada berbagai isu yang perlu dipetakan dan dipecahkan satu demi satu. Ada persoalan regulasi pusat daerah, provinsi kabupaten/kota khususnya dalam konteks kewenangan di bidang pendidikan.
Di sana ada irisan kewenangan antara Kemendikbud Ristek, Kemendagri, pemprov, dan tentu juga Kemenpora. Permenpora tentang Peta Jalan DBON diharapkan dapat menjadi tahapan awal dalam membuat orkestra pembinaan prestasi.
Kita tidak boleh beranggapan, dengan sudah adanya Perpres dan Permenpora tentang DBON jalan pembinaan akan mulus. Tapi sebaliknya, kita juga tidak harus skeptis karena pengalaman dan tantangan yang dihadapi selama ini menjadikan kita gamang dan berkecil hati. Kuncinya, berkolaborasi, niat baik bersinergi sebagaimana tema Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2022, “Bersama Cetak Juara".
Tentu saja diperlukan langkah kerja birokratis dan operasional yang masih akan banyak tantangan. Perlu dibangun sebuah lingkungan pembinaan yang berkesinambungan dan terintegrasi, sejak seleksi, promosi degradasi, sertifikasi pelatih, penerapan sport science hingga kompetisi yang terstandardisasi.
Hal yang juga tidak kalah penting adalah seluruh proses ini memerlukan daya dorong, penggerak, bensin berupa anggaran. Tanpa itu maka seleksi, proses latihan hingga kompetisi tidak akan terjadi. Lagi-lagi diperlukan orkestrasi yang memadai.
Talent idenfitication calon atlet telah dimulai dengan mengidentifikasi aspek antropometri bagi anak-anak kelas 6 SD di berbagai sekolah, sebagai modalitas seorang atlet. Total diperoleh data lebih dari 48.000 anak yang secara antropometri memiliki potensi.
Sebagai contoh, terdapat anak kelas 6 SD dengan tinggi badan mencapai 185 cm, secara antropometri memiliki potensi. Namun tentu saja akan dilakukan identifikasi lanjutan untuk melihat potensi bakat keolahragaannya.
Makin banyak anak-anak yang memiliki talenta olahraga, yang bugar, makin banyak pilihan untuk memperoleh yang terbaik dengan potensi prestasi dunia. Di sinilah peran dan irisan antara olahraga pendidikan/pembudayaan olahraga terhadap olahraga prestasi.
Di sisi lain semakin banyak anak usia dini yang aktif berolahraga, yang bugar, akan semakin memberi keyakinan untuk terwujudnya masyarakat Indonesia bugar pada 2045. Dengan demikian biaya kesehatan dan anggaran kesehatan dapat semakin menurun dan produktivitas meningkat.
Upaya mencapai Visi Indonesia Bugar 2045 menghadapi tantangan yang tidak ringan. Data Sport Development Index (SDI) 2021 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat berolahraga cukup rendah, di angka 32,83%. Tingkat kebugaran berada lebih rendah lagi sebesar 26%. Angka partisipasi ini jauh di bawah negara-negara maju seperti Australia yang sudah mencapai 87% pada 2019 lalu.
Bahkan sesungguhnya angka partisipasi ini tidak beranjak dari satu dasawarsa yang lalu. Tampaknya perlu cara lain, strategi berbeda barangkali, untuk dapat mendorong partisipasi masyarakat berolahraga.
Analisis SDI tahun 2021 mengindikasikan bahwa terdapat dua faktor penting pendorong masyarakat berolahraga, yaitu (1) keberadaan sumber daya manusia (SDM) olahraga seperti pelatih atau guru, (2) ketersediaan ruang terbuka untuk berolahraga. Sementara itu data SDI tahun 2021 menunjukkan bahwa SDM olahraga merupakan dimensi paling rendah, yaitu 8%.
Sementara dimensi ruang terbuka berada di angka 50%, relatif baik. Ketiadaan atau keterbatasan penggerak, yakni guru atau pelatih olahraga, menjadi krusial untuk diberi perhatian khusus. Merekalah yang dapat mengajak berolahraga, mengajari anak-anak, memberikan bimbingan dan latihan, sehingga minat dan animo berolahraga bisa meningkat.
Perlu strategi dan kebijakan untuk menyediakan guru, penggerak atau pelatih olahraga di setiap desa, minimal satu desa satu SDM olahraga.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)