Amanat Konstitusi yang Terlupakan Dalam RUU Sisdiknas

Kamis, 08 September 2022 - 12:19 WIB
loading...
Amanat Konstitusi yang Terlupakan Dalam RUU Sisdiknas
Indra Charismiadji (Foto: indracharismiadji.com)
A A A
Indra Charismiadji
Wakil Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia Bidang Pendidikan

DORONGAN dari berbagai pihak untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Perubahan 2022 seharusnya tidak dipandang sebagai bentuk antiperubahan atau perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Hal ini justru merupakan hal yang patut disyukuri karena ini bukti meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.

Walaupun naskah akademik dan draft RUU Sisdiknas tentunya disusun oleh para pakar dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), merupakan langkah yang bijaksana jika pemerintah mau terbuka terhadap saran-saran dan pandangan para tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, praktisi pendidikan, pemerhati pendidikan, dan para pemangku kepentingan bidang pendidikan.

Sistem Pendidikan Nasional akan menjadi lebih kaya, lebih berwarna, lebih lengkap, dan mewakili kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Keterlibatan publik yang bermakna akan membuat undang-undang yang menentukan masa depan bangsa ini akan dimiliki, dilaksanakan, dan dikawal bersama. Ini yang disebut gotong-royong atau persatuan Indonesia.

Setelah mencermatinya secara saksama, ternyata ada hal-hal fundamental yang seharusnya dijabarkan dalam draf Undang-Undang Sisdiknas ini sebagai turunan Undang-Undang Dasar 1945, namun sayangnya hal itu belum tampak. Sebagai bentuk partisipasi publik dalam menyusun UU Sisdiknas, berikut ini beberapa catatan yang secara khusus mengangkat amanat konstitusi yang tampaknya belum tersampaikan.

Pembukaan UUD 1945
Di dalam Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit diamanatkan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah diamanatkan oleh konstitusi untuk memikul tanggung jawab memberikan pelayanan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia yang bermutu dan mencerdaskan secara nyata.

Untuk itu jangan sampai tanggung jawab ini tersamarkan menjadi tanggung jawab warga negara, atau pihak swasta, atau pihak lain, atau bahkan dibuat seakan menjadi tanggung jawab bersama. Secara tegas, selama konstitusi tidak diubah maka tanggung jawab pendidikan berada di pundak pemerintah. Warga negara cukup mendukung dan turut mensukseskan program-program pendidikan. Untuk itu, pasal-pasal dalam draf batang tubuh UU Sisdiknas yang mengaburkan peran pokok pemerintah seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat 13, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 14, dan 16 harus ditata ulang dan dibuat lebih lugas agar tidak terjadi miskonsepsi dalam implementasinya.

Pola pikir tentang wajib belajar merupakan suatu bentuk kewajiban orang tua untuk menyekolahkan anaknya harus diluruskan menjadi pemerintah berkewajiban memberikan akses yang terbuka bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu dan mencerdaskan. Pendidikan merupakan bentuk hak asasi manusia (The Right to Education, UNESCO, 2019, p.23).

Dengan demikin perlu dibentuk lembaga-lembaga mandiri yang mewakili masyarakat untuk melakukan pengawasan dan atau kerja sama dengan pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan. Sangat disayangkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah yang ada dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 hilang dalam draf UU Sisdiknas ini tanpa ada penjelasan ataupun kajian yang komprehensif tertuang dalam naskah akademik.

Semakin banyak mata mengawasi implementasi program-program pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah pastinya akan semakin baik. Dan, jika lembaga-lembaga tersebut belum optimal kinerjanya, tidak perlu dihapuskan melainkan dioptimalkan melalui hasil evaluasi yang objektif.

Sementara itu, pasal 100 dalam RUU Sisdiknas ini yang menyatakan bahwa evaluasi Sistem Pendidikan Nasional dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah patut dan layak ditinjau ulang.

Bagaimana mungkin pemerintah akan mengevaluasi dirinya sendiri bagaikan jeruk makan jeruk? Sebaiknya ada lembaga mandiri yang melakukan evaluasi ini. Bagaimana dengan mutu pendidikan Indonesia? Ternyata kemampuan literasi, numerasi, dan sains anak Indonesia masih sangat rendah baik dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) , AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia), maupun AKM (Asesmen Kompetensi Minimum). Bahkan data dari Bank Dunia dan beberapa lembaga kajian lainnya menunjukkan bahwa kualitas sekolah di Indonesia buka semakin baik malahan semakin rendah.

Di antara kami-kami para aktivis pendidikan bahkan sampai ada gurauan bahwa tingkat numerasi Indonesia begitu rendah sampai-sampai Pancasila yang silanya ada lima tapi profilnya ada enam (profil pelajar Pancasila).

Rendahnya hasil belajar ini berdampak ke banyak hal misalnya intoleransi karena seperti disampaikan dalam kajian OECD tahun 2021, ternyata bangsa Indonesia paling tidak mampu membedakan antara fakta dan opini. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memenuhi kewajiban konstitusinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu pemerintah wajib meningkatkan kinerjanya dalam bidang pendidikan secara signifikan.

Peningkatan hasil Sistem Pendidikan Nasional dapat dimulai dengan memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.

Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, dipasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah diserahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah, bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung.

Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Logikanya, jika masuknya dengan cara “nyogok” pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?

Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi.

Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan “Sistem Persekolahan Nasional”. Dalam semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya ada upaya yang terstruktur, sistematis, dan massif tentang bagaimana membuat para orang tua lebih percaya diri dan memiliki kompetensi untuk mendidik anak-anaknya di rumah.

Sosialiasi, pendampingan, iklan layanan masyarakat, film, dialog, dan lain sebagainya yang mendorong terciptanya rumah sebagai sentra pendidikan yang tidak berhubungan dengan pelajaran di sekolah, tapi lebih ke belajar tentang kehidupan seperti membaca bersama, diskusi, dan lain-lain.

Pendidikan di rumah adalah pendidikan yang pertama dan utama bagi perkembangan anak.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1212 seconds (0.1#10.140)