Amanat Konstitusi yang Terlupakan Dalam RUU Sisdiknas
loading...
A
A
A
Sementara itu, pasal 100 dalam RUU Sisdiknas ini yang menyatakan bahwa evaluasi Sistem Pendidikan Nasional dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah patut dan layak ditinjau ulang.
Bagaimana mungkin pemerintah akan mengevaluasi dirinya sendiri bagaikan jeruk makan jeruk? Sebaiknya ada lembaga mandiri yang melakukan evaluasi ini. Bagaimana dengan mutu pendidikan Indonesia? Ternyata kemampuan literasi, numerasi, dan sains anak Indonesia masih sangat rendah baik dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) , AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia), maupun AKM (Asesmen Kompetensi Minimum). Bahkan data dari Bank Dunia dan beberapa lembaga kajian lainnya menunjukkan bahwa kualitas sekolah di Indonesia buka semakin baik malahan semakin rendah.
Di antara kami-kami para aktivis pendidikan bahkan sampai ada gurauan bahwa tingkat numerasi Indonesia begitu rendah sampai-sampai Pancasila yang silanya ada lima tapi profilnya ada enam (profil pelajar Pancasila).
Rendahnya hasil belajar ini berdampak ke banyak hal misalnya intoleransi karena seperti disampaikan dalam kajian OECD tahun 2021, ternyata bangsa Indonesia paling tidak mampu membedakan antara fakta dan opini. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memenuhi kewajiban konstitusinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu pemerintah wajib meningkatkan kinerjanya dalam bidang pendidikan secara signifikan.
Peningkatan hasil Sistem Pendidikan Nasional dapat dimulai dengan memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.
Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, dipasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah diserahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah, bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Logikanya, jika masuknya dengan cara “nyogok” pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?
Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi.
Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan “Sistem Persekolahan Nasional”. Dalam semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya ada upaya yang terstruktur, sistematis, dan massif tentang bagaimana membuat para orang tua lebih percaya diri dan memiliki kompetensi untuk mendidik anak-anaknya di rumah.
Bagaimana mungkin pemerintah akan mengevaluasi dirinya sendiri bagaikan jeruk makan jeruk? Sebaiknya ada lembaga mandiri yang melakukan evaluasi ini. Bagaimana dengan mutu pendidikan Indonesia? Ternyata kemampuan literasi, numerasi, dan sains anak Indonesia masih sangat rendah baik dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) , AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia), maupun AKM (Asesmen Kompetensi Minimum). Bahkan data dari Bank Dunia dan beberapa lembaga kajian lainnya menunjukkan bahwa kualitas sekolah di Indonesia buka semakin baik malahan semakin rendah.
Di antara kami-kami para aktivis pendidikan bahkan sampai ada gurauan bahwa tingkat numerasi Indonesia begitu rendah sampai-sampai Pancasila yang silanya ada lima tapi profilnya ada enam (profil pelajar Pancasila).
Rendahnya hasil belajar ini berdampak ke banyak hal misalnya intoleransi karena seperti disampaikan dalam kajian OECD tahun 2021, ternyata bangsa Indonesia paling tidak mampu membedakan antara fakta dan opini. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memenuhi kewajiban konstitusinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu pemerintah wajib meningkatkan kinerjanya dalam bidang pendidikan secara signifikan.
Peningkatan hasil Sistem Pendidikan Nasional dapat dimulai dengan memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.
Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, dipasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah diserahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah, bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Logikanya, jika masuknya dengan cara “nyogok” pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?
Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi.
Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan “Sistem Persekolahan Nasional”. Dalam semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, seharusnya ada upaya yang terstruktur, sistematis, dan massif tentang bagaimana membuat para orang tua lebih percaya diri dan memiliki kompetensi untuk mendidik anak-anaknya di rumah.