Minat Baca Anak dan Konsep Hospital Literacy

Rabu, 07 September 2022 - 14:29 WIB
loading...
Minat Baca Anak dan Konsep Hospital Literacy
Kurniawan Taufiq Kadafi (Foto: Ist)
A A A
Kurniawan Taufiq Kadafi
Dosen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RSUD Dr Saiful Anwar Malang, Penggiat Hospital Literacy di Instalasi Rawat Inap Anak RSUD Dr Saiful Anwar Malang

PADA 1995 UNESCO menetapkan 23 April sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia. Penetapan tersebut bertujuan selain untuk menghormati buku dan para penulisnya, juga untuk membangkitkan minat baca seluruh masyarakat di dunia. Tentu membangkitkan minat baca tidak terlepas dengan dunia anak-anak. Karena bila minat baca tidak dipupuk sejak dini, kebiasaan membaca buku tidak akan pernah didapat ketika dewasa kelak.

Masalahnya, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Data dari UNESCO pada 2012 indeks minat baca di Indonesia baru 0,001, artinya dari 1.000 penduduk hanya 1 orang yang mempunyai minat baca yang baik.

Hal ini juga didukung data dari Program for International Student Assessment (PISA) pada 2015, minat baca pelajar Indonesia menempati urutan ke-64 dari 72 negara. Hal ini tentu membuat kita semua prihatin. Situasi ini dipersulit dengan adanya pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 memaksa sistem pembelajaran menggunakan sistem daring. Sistem baru membutuhkan adaptasi. Hal ini tentu merupakan kendala dalam mengontrol secara sistematis minat baca anak-anak Indonesia secara global.

Mengapa minat baca anak-anak Indonesia begitu rendah. Minat baca yang rendah sangat dipengaruhi oleh faktor keluarga. Pendidikan dan status ekonomi orang tua yang rendah menjadi faktor yang memengaruhi rendahnya minat baca anak. Buku bacaan nonpelajaran bukan merupakan kebutuhan yang mendapat prioritas utama pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah.

Faktor lain yang memengaruhi minat baca anak Indonesia adalah aspek sosiokultural. Masyarakat Indonesia secara kultural lebih menyukai budaya bercerita atau mendongeng dibanding dengan budaya membaca. Hal ini berkontribusi membentuk karakter anak juga mengikuti kultur yang ada, yaitu kultur mendongeng dan bercerita sehingga minat membaca menjadi berkurang.

Selain itu berdasarkan sebuah penelitian, anak Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas 91,58% lebih suka melihat televisi sedangkan 17,58% anak usia 10 tahun ke atas lebih suka membaca buku. Kemajuan teknologi seperti media digital juga menjadi salah satu faktor pengalih perhatian anak Indonesia. Anak-anak lebih suka menggunakan media sosial dibandingkan membaca buku. Sebagian besar hanya bisa bertahan kurang dari dua jam untuk membaca buku.

Bagaimana menyikapi hal tersebut? Sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan minat baca, terutama pada anak-anak Indonesia, melalui Permendikbud Nomor 23/2015. Langkah nyata dari penjabaran aturan tersebut adalah pengembangan potensi diri peserta didik secara utuh dengan cara membiasakan membaca buku nonpelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai.

Gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Langkah ini sangat bagus bila tercapai target yang diharapkan, namun untuk mewujudkannya tentu butuh strategi agar minat membaca bukan hanya bisa dikembangkan di sekolah, namun di seluruh tempat di mana anak berada.

Kadang tidak terpikirkan bahwa sebagian anak-anak Indonesia “tinggal” di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar untuk menjalankan rangkaian terapi. Terutama pada anak yang menderita penyakit-penyakit kronis. Pertanyaannya, apakah kita sudah memikirkan langkah nyata agar anak-anak yang sedang dirawat di rumah sakit tetap bisa merasa nyaman dan minat membacanya tetap terpelihara.

Logikanya mungkin belum, karena upaya menumbuhkan minat baca di sekolah saja masih belum bisa memberikan luaran yang maksimal, apalagi terpikir untuk mengembangkan minat baca anak-anak di luar lingkungan sekolah. Maka sudah saatnya kita mulai peduli pada keadaan ini.

Pada anak-anak yang menderita penyakit dan harus mendapatkan perawatan di rumah sakit selama ini fokusnya adalah pengobatan sehingga kadang kita tidak bisa memandang anak secara paripurna yang mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang, termasuk hak anak untuk mendapatkan pendidikan walaupun berada pada lingkungan di luar sekolah.

Bermula dari keprihatinan rendahnya minat baca anak-anak Indonesia dan keadaan anak-anak yang harus mendapatkan perawatan lama di rumah sakit maka memadukan kedua situasi tersebut merupakan langkah cerdas agar harkat pendidikan anak dan minat baca anak tetap terjaga.

Langkah nyata yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan gerakan literasi di dalam rumah sakit yang kita sebut sebagai konsep hospital literacy. Konsepnya mungkin mirip dengan GLS, namun dengan penyesuaian keadaan lingkungan rumah sakit. Bila konsep ini dikembangkan bukan tidak mungkin suatu saat akan ada sekolah di dalam rumah sakit. Konsep hospital literacy yang sudah dilakukan di RSUD Dr Saiful Anwar, Malang, cukup efektif membuat anak-anak merasakan kehidupan lain di rumah sakit selain kehidupan berhubungan dengan pengobatan.

Para dokter dan tenaga kesehatan bersama-sama menyiapkan buku-buku bacaan yang diletakkan di troli dan akan diedarkan ke masing-masing ruang perawatan setiap hari-hari tertentu. Selain itu di gazebo taman rumah sakit, sudut-sudut ruangan juga disiapkan rak-rak berisi buku dengan beraneka judul. Buku yang diedarkan dan yang diletakkan di rak-rak buku adalah buku bacaan anak.

Troli buku akan selalu ditunggu anak-anak bila hari perpustakaan keliling tiba. Begitu juga orang tua bisa meminjam buku dari rak-rak buku yang ada di gazebo taman atau sudut ruang rumah sakit kapan saja untuk dibawa ke kamar perawatan.

Bila menilik ke belakang mengapa terpikir adanya konsep hospital literacy. Hal tersebut bermula dengan kegelisahan dan kebosanan seorang pasien anak yang menderita gagal ginjal yang dirawat di ruang intensif. Ketika ditanya oleh dokter yang menanganinya pasien tersebut mengatakan bila jenuh berada pada ruang observasi. Lalu dokter tersebut membelikan majalah anak untuk pasien tersebut. Kebetulan pasien tersebut merasa senang sekali. Dari sinilah terpikirkan gagasan membuat perpustakaan keliling. Ide tersebut lalu di sampaikan kepada dokter yang lain dan hampir semuanya mendukung ide tersebut.

Pada saat pertama kali perpustakaan keliling berdiri, modal awalnya adalah dua troli dengan kurang lebih 50 buku sebagai koleksi perpustakaan. Karena dirasa kurang maka dibuka sumbangan terbuka untuk perpustakaan keliling. Gayung bersambut, tidak membutuhkan waktu lama, banyak donor menyumbangkan bukunya untuk perpustakaan keliling. Pada waktu yang hampir bersamaan, sebuah komunitas “Sahabat Anak Kanker” mulai aktif melakukan banyak kegiatan dan pendampingan untuk anak-anak kanker.

Hingga saat ini koleksi perpustakaan keliling dan perpustakaan yang ada di sudut-sudut ruangan rumah sakit sekitar 200–300 buku. Banyak sekali pasien yang merasakan manfaat akan buku-buku yang menjadi koleksi perpustakaan, pasien-pasien yang dirawat dalam waktu yang lama bahkan sudah hafal koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan. Mereka tidak jarang menanyakan kapan buku-buku baru datang. Beberapa pasien juga meminta ijin untuk membawa pulang buku-buku perpustakaan dan ketika kontrol atau menjalani terapi berikutnya buku-buku tersebut akan dibawa kembali.

Pengelola perpustakaan tentu mengizinkan bahkan sangat senang karena salah satu misi dari adanya perpustakaan di tengah-tengah ruang perawatan di rumah sakit tercapai, yaitu meningkatnya minat baca anak-anak. Hal ini merupakan salah satu langkah kecil yang bisa membawa dampak luar biasa terhadap minat baca anak Indonesia. Kita bisa membayangkan hari-hari anak yang menderita penyakit dan harus menghadapi jenuh. Konsep hospital literacy ini bisa mengobati anak-anak yang rindu akan sekolahnya.

Hal lain yang perlu dipikirkan dengan adanya hospital literacy adalah pencegahan infeksi yang ditularkan melalui media buku. Maka koordinasi dengan tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) rumah sakit sangat penting. Prosedur tetap cara mensterilkan buku dibutuhkan untuk mencegah mata rantai infeksi sesama pasien anak di rumah sakit.

Bila konsep hospital literacy ini dikembangkan di setiap rumah sakit, maka kinerja sekolah untuk meningkatkan minat baca anak-anak Indonesia menjadi lebih ringan. Minat baca anak-anak Indonesia pun kelak lebih baik.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2191 seconds (0.1#10.140)