Bersahabat dengan Alam demi Green Economy, Kapan?
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Alam diciptakan Tuhan sebagai sahabat manusia. Alam senantiasa ikhlas memberi berbagai hal yang dibutuhkan manusia untuk kehidupannya. Dipersilakan manusia mengambil dan memanfaatkannya, secara proporsional, secukupnya, jangan serakah.
Di alam ini tersedia sumber daya melimpah. Jika suatu negeri mampu memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pertumbuhan perekonomian, dipastikan negeri tersebut akan maju, makmur, bebas dari kemiskinan. Pola pikir demikian ini telah menginspirasi para ekononom dunia, tentang perlunya konsepgreen economy(ekonomi hijau).
Konsepgreen economy, dimunculkan kali pertama oleh sekelompok ekonom lingkungan terkemuka kepada Pemerintah Inggris pada 1989.Green economyadalah sistem kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) barang dan jasa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, tanpa menyisakan dampak negatif terhadap alam, tanpa mengakibatkan kelangkaan ekologis.
Pemerintah Indonesia pada 2010 mendefinisikan ekonomi hijau sebagai paradigma pembangunan, berpusat pada pendekatan efisiensi sumber daya, dengan penekanan kuat pada internalisasi biaya dari penipisan sumber daya alam dan degradasi lingkungan.
Pada rentang lebih luas, ekonomi hijau dikonsepsikan sebagai sistem upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, serta penjaminan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Hakikatnya, seluruh aktivitas perekonomian disinergiskan dengan daya dukung lingkungan atau ekologi.
Programgreen growth(pertumbuhan ekonomi hijau), merupakan kebijakan bauran antara substansi, kelembagaan, dan pembiayaan ekonomi. Program ini, telah dituangkan dalam RPJMN 2020-2024.
Melalui program ini tercakup upaya-upaya pengintegrasian sektor industri ekonomi, dengan penggunaan sumber daya alam, pengurangan polusi, dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Pertumbuhan hijausebagai proses ekonomi dikatakan berhasil apabila kehidupan masyarakatnya menjadi lebih makmur, lebih sejahtera, dibandingkan sebelumnya.
Layak diingat bahwa walaupun tanpa penyebutan secara eksplisit sebagaigreen economy, sebenarnya program demikian sudah diamanatkan kepada Pemerintah Indonesia sejak 1960-an, sebagaimana tertuang di dalam UU Nomor 5/1960 (UUPA). Pemerintah diwajibkan mendesain usaha-usaha dalam lapangan agraria, diatur sedemikian rupa sehingga dapat meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat.
Perlu ada jaminan bagi setiap warga negara Indonesia, derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 13 ayat 1). Diwajibkan pula agar ada pencegahan terhadap usaha-usaha suatu organisasi-organisasi dan perseorangan, yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat 2).
Selain itu, diamanatkan agar dibuatagrarian planning, dari tingkat pusat (nasional) hingga daerah-daerah (provinsi, kabupaten/kota). Dalamagrarian planning, diatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, serta ruang angkasa, secara menyeluruh dan terpadu.
Agrarian planning—sebagai dokumen—difungsikan untuk sarana perwujudan sosialisme Indonesia. Tercakup di dalamnya ketersediaan tanah-tanah untuk keperluan negara, keperluan peribadatan, keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan, keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan (Pasal 14).
Pada ranah lebih luas, ”memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya, serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah” (Pasal 15).
Amanat-amanat di atas sebenarnya telah diupayakan ditunaikan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah dan didukung masyarakat. Misal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan kegiatan “The 9th Indonesia Climate Change Forum & Expo 2019”, 5-7 September 2019 di Medan. Kegiatan ini—dan kegiatan lain yang serupa—juga perlu diselenggarakan kementerian lain, dan dikonkretkan sebagai langkah perwujudangreen economy.
Seluruhnya merupakan wahana bagi pelaku ekonomi, generasi muda, dan pemerhati lingkungan, untuk peningkatan kesadaran kolektif, penguatan kolaborasi, dan komitmen, mengenai rencana aksi, aktualisasi gaya hidup ekologis, serta kepedulian terhadap perubahan iklim dan emisi karbon.
Sungguh menarik dan patut diapresiasi, organisasi keagamaan Muhammadiyah secara kreatif menyelenggarakan lima program unggulan pelestarian lingkungan. Pertama, gerakan audit lingkungan mandiri. Audit dilakukan terhadap bangunan gedung, utamanya gedung-gedung milik Muhammadiyah.
Dalam program ini diindentifikasi mana saja gedung-gedung terkategori kuning, merah, atau hijau. Cakupan audit meliputi penggunaan air, pengelolaan sampah, pemanfaatan energi, penghawaan, dan penyinaran energi.
Kedua, pendidikan lingkungan dan gerakan sekolah hijau. Masyarakat dididik agar sadar tentang arti penting menjaga bantaran sungai, merestorasi, dan mengonservasi sungai sehingga tewujud lingkungan bersih, indah, rapi, dan sehat. Ketiga, program sedekah sampah. Program ini digulirkan agar masyarakat mampu memilih, memilah, dan mengolah sampah. Sedekah sampah ditujukan untuk mengurangi jumlah sampah plastik, yang selama ini jadi persoalan besar.
Keempat, pelatihan pengelolaan limbah rumah sakit dan labolatorium. Kepada masyarakat diberikan edukasi dan bantuan perbaikan pengelolaan limbah. Limbah berbahaya dan beracun, menjadi perhatian utama karena selama ini penanganannya sering sembrono sehingga mengancam kehidupan manusia. Kelima, desa mandiri energi. Di berbagai desa, warganya diajari memanfaatkan biogas dalam kehidupan sehari-hari. Seperti untuk bahan bakar kompor dan penerangan.
Alangkah elegan bila pemerintah, para pelaku ekonomi, dan organisasi kemasyarakatan lain bergegas mengaktualisasikan gerakan ekonomi berbasis lingkungan. Kiranya masyarakat patut mengerti, bahwa ada sisi-sisi lain sebagai situasi kelam, yakni keberantakan programgreen economy. Mengapa terjadi? Karena program-program ekonomi konvensional (kapitalis) lebih diunggulkan oleh pemerintah.
Dalam ideologi kapitalisme, pelaku-pelaku ekonomi diizinkan mengeksploitasi sumber daya alam semena-mena. Pertumbuhan ekonomi, berorientasi kepada pemaksimalan keuntungan finansial semata. Kepedulian dan tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan menjadi terabaikan. Lihatlah, peningkatan emisi gas rumah kaca, susutnya areal hutan, kebakaran lahan, terjadi tanah longsor, banjir, serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati. Ketimpangan sosial pun semakin lebar.
Keberpihakan terhadap ekonomi kapitalistik,dan penganaktirian terhadapgreen economymerupakan bukti nyata bahwa persahabatan terhadap alam masih sebatas angan-angan. Alih-alih bersahabat, justru alam dikorbankan. Akibatnya,green economyyang digadang-gadang mampu menjadi penawar panasnya kehidupan di muka bumi, menjadi sulit dimanifestasikan sebagai budaya perekonomian berkarakter humanis dan ekologis.Wallahu a’lam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Alam diciptakan Tuhan sebagai sahabat manusia. Alam senantiasa ikhlas memberi berbagai hal yang dibutuhkan manusia untuk kehidupannya. Dipersilakan manusia mengambil dan memanfaatkannya, secara proporsional, secukupnya, jangan serakah.
Di alam ini tersedia sumber daya melimpah. Jika suatu negeri mampu memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pertumbuhan perekonomian, dipastikan negeri tersebut akan maju, makmur, bebas dari kemiskinan. Pola pikir demikian ini telah menginspirasi para ekononom dunia, tentang perlunya konsepgreen economy(ekonomi hijau).
Konsepgreen economy, dimunculkan kali pertama oleh sekelompok ekonom lingkungan terkemuka kepada Pemerintah Inggris pada 1989.Green economyadalah sistem kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) barang dan jasa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, tanpa menyisakan dampak negatif terhadap alam, tanpa mengakibatkan kelangkaan ekologis.
Pemerintah Indonesia pada 2010 mendefinisikan ekonomi hijau sebagai paradigma pembangunan, berpusat pada pendekatan efisiensi sumber daya, dengan penekanan kuat pada internalisasi biaya dari penipisan sumber daya alam dan degradasi lingkungan.
Pada rentang lebih luas, ekonomi hijau dikonsepsikan sebagai sistem upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, serta penjaminan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Hakikatnya, seluruh aktivitas perekonomian disinergiskan dengan daya dukung lingkungan atau ekologi.
Programgreen growth(pertumbuhan ekonomi hijau), merupakan kebijakan bauran antara substansi, kelembagaan, dan pembiayaan ekonomi. Program ini, telah dituangkan dalam RPJMN 2020-2024.
Melalui program ini tercakup upaya-upaya pengintegrasian sektor industri ekonomi, dengan penggunaan sumber daya alam, pengurangan polusi, dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Pertumbuhan hijausebagai proses ekonomi dikatakan berhasil apabila kehidupan masyarakatnya menjadi lebih makmur, lebih sejahtera, dibandingkan sebelumnya.
Layak diingat bahwa walaupun tanpa penyebutan secara eksplisit sebagaigreen economy, sebenarnya program demikian sudah diamanatkan kepada Pemerintah Indonesia sejak 1960-an, sebagaimana tertuang di dalam UU Nomor 5/1960 (UUPA). Pemerintah diwajibkan mendesain usaha-usaha dalam lapangan agraria, diatur sedemikian rupa sehingga dapat meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat.
Perlu ada jaminan bagi setiap warga negara Indonesia, derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya (Pasal 13 ayat 1). Diwajibkan pula agar ada pencegahan terhadap usaha-usaha suatu organisasi-organisasi dan perseorangan, yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat 2).
Selain itu, diamanatkan agar dibuatagrarian planning, dari tingkat pusat (nasional) hingga daerah-daerah (provinsi, kabupaten/kota). Dalamagrarian planning, diatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, serta ruang angkasa, secara menyeluruh dan terpadu.
Agrarian planning—sebagai dokumen—difungsikan untuk sarana perwujudan sosialisme Indonesia. Tercakup di dalamnya ketersediaan tanah-tanah untuk keperluan negara, keperluan peribadatan, keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan, keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan (Pasal 14).
Pada ranah lebih luas, ”memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya, serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah” (Pasal 15).
Amanat-amanat di atas sebenarnya telah diupayakan ditunaikan dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah dan didukung masyarakat. Misal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan kegiatan “The 9th Indonesia Climate Change Forum & Expo 2019”, 5-7 September 2019 di Medan. Kegiatan ini—dan kegiatan lain yang serupa—juga perlu diselenggarakan kementerian lain, dan dikonkretkan sebagai langkah perwujudangreen economy.
Seluruhnya merupakan wahana bagi pelaku ekonomi, generasi muda, dan pemerhati lingkungan, untuk peningkatan kesadaran kolektif, penguatan kolaborasi, dan komitmen, mengenai rencana aksi, aktualisasi gaya hidup ekologis, serta kepedulian terhadap perubahan iklim dan emisi karbon.
Sungguh menarik dan patut diapresiasi, organisasi keagamaan Muhammadiyah secara kreatif menyelenggarakan lima program unggulan pelestarian lingkungan. Pertama, gerakan audit lingkungan mandiri. Audit dilakukan terhadap bangunan gedung, utamanya gedung-gedung milik Muhammadiyah.
Dalam program ini diindentifikasi mana saja gedung-gedung terkategori kuning, merah, atau hijau. Cakupan audit meliputi penggunaan air, pengelolaan sampah, pemanfaatan energi, penghawaan, dan penyinaran energi.
Kedua, pendidikan lingkungan dan gerakan sekolah hijau. Masyarakat dididik agar sadar tentang arti penting menjaga bantaran sungai, merestorasi, dan mengonservasi sungai sehingga tewujud lingkungan bersih, indah, rapi, dan sehat. Ketiga, program sedekah sampah. Program ini digulirkan agar masyarakat mampu memilih, memilah, dan mengolah sampah. Sedekah sampah ditujukan untuk mengurangi jumlah sampah plastik, yang selama ini jadi persoalan besar.
Keempat, pelatihan pengelolaan limbah rumah sakit dan labolatorium. Kepada masyarakat diberikan edukasi dan bantuan perbaikan pengelolaan limbah. Limbah berbahaya dan beracun, menjadi perhatian utama karena selama ini penanganannya sering sembrono sehingga mengancam kehidupan manusia. Kelima, desa mandiri energi. Di berbagai desa, warganya diajari memanfaatkan biogas dalam kehidupan sehari-hari. Seperti untuk bahan bakar kompor dan penerangan.
Alangkah elegan bila pemerintah, para pelaku ekonomi, dan organisasi kemasyarakatan lain bergegas mengaktualisasikan gerakan ekonomi berbasis lingkungan. Kiranya masyarakat patut mengerti, bahwa ada sisi-sisi lain sebagai situasi kelam, yakni keberantakan programgreen economy. Mengapa terjadi? Karena program-program ekonomi konvensional (kapitalis) lebih diunggulkan oleh pemerintah.
Dalam ideologi kapitalisme, pelaku-pelaku ekonomi diizinkan mengeksploitasi sumber daya alam semena-mena. Pertumbuhan ekonomi, berorientasi kepada pemaksimalan keuntungan finansial semata. Kepedulian dan tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan menjadi terabaikan. Lihatlah, peningkatan emisi gas rumah kaca, susutnya areal hutan, kebakaran lahan, terjadi tanah longsor, banjir, serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati. Ketimpangan sosial pun semakin lebar.
Keberpihakan terhadap ekonomi kapitalistik,dan penganaktirian terhadapgreen economymerupakan bukti nyata bahwa persahabatan terhadap alam masih sebatas angan-angan. Alih-alih bersahabat, justru alam dikorbankan. Akibatnya,green economyyang digadang-gadang mampu menjadi penawar panasnya kehidupan di muka bumi, menjadi sulit dimanifestasikan sebagai budaya perekonomian berkarakter humanis dan ekologis.Wallahu a’lam.
(ynt)